15 Januari 1949 masih dalam suasana perjuangan mempertahankan
kemerdekaan Indonesia terjadi suatu tragedy yang menyedihkan yang dialami oleh
pejuang kemerdekaan Indonesia. Di sebuah desa kecil Situjuh Batur kecamatan Situjuah Limo Nagari
15 km dari Payakumbuh Sumatra Barat Para petinggi Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang
seusai rapat, pada subuh hari disergap pasukan Belanda sehingga mengakibatkan
69 Pejuang gugur.
Dapatkan Rp.800 Juta,-
dengan modal hanya 25 ribu rupiqh Dari Bisnis Iklan
Silahkanklik :https://muslimpromo.com/?ref=8099
Silahkanklik :https://muslimpromo.com/?ref=8099
Diantara
yng gugur itu terdapat tokoh-tokoh penting PDRI seperti, Chatib Sulaiman ketua
Markas pertahanan Rakyat Daerah( MPRD), Arisun St. Alamsyah Bupati 50 Kota,
Komandan milter dar Painan Letkol Munir Latif, Mayor Zainudin, Kapten Tantowi,
Letnan Alizar.
Tragedi
memilukan yang terjadi di Sumatra Barat ini tidak terlepas dari peristiwa
diserbunya Yogyakarta ibu kota Republik Indonesia ketika itu oleh Belanda
tanggal 19 Desember 1948. Dalam peristiwa itu Presiden Republik Indonesia Bung
Karno dan wakilnya Mohammad Hata serta beberapa mentri lainnya ditawan oleh
Belanda. Namun beberapa saat sebelum ditawan dalm sidang cabinet di istana
Kepresidenan, Presiden memberi mandat kepada Mr Syafrudin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia.
Menindak
lanjuti mandat tersebut maka pada tanggal 22 Desember 1948 di deklarasikanlah Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia dari sebuah desa Halaban yang berjarak sekitar 15
kilometer dari Payahkumbuh. Pemerintahan baru ini tidak memakai istilah
presiden untuk pucuk pimpinan. Tapi pimpinan tertingginya adalah ketua yang
dijabat sendiri oleh Mr. Syafrudin
Prawiranegara.
Mulai
sejak itu Belanda menggempur Bukittinggi dan Payahkumbuh habis-habisan dari
darat dan udara. Untuk mengatasi serangan Belanda ini para petinggi militer
PDRI mengadakan rapat di desa Situjuh Batur. Desa ini dipilih karena ketika itu
daerah itu masuk daerah terpencil yang tidak mudah didatanga serdadu Belanda.
Rapat
berlansung hingga dinihari. Selesai rapat para pejuang saling berangkulan edan
bersalaman. Beberapa orang ada yang
lansung meninggalkan lokasi dan sebagian besar beristirahat di tempat yang sudah disediakan. Ketika
istirahat inilah tanpa mereka duga terjadi penyergapan oleh pasukan Belanda
yang menimbulkan tragedy yang menyedihkan itu.
Saya
datang ke desa Situju Batur tempat terjadinya kisah memilukan itu pada akhir
tahun 2015. Enam puluh enam tahun setelah kejadian. Jalan kesana sudah diaspal,
namun tidak terlalu lebar sehingga untuk berselisih mobil roda empat kita perlu
berhenti. Kami masuk dari Bukittinggi arah ke Payahkumbuh dan belok kekanan.
Mengharukan menemukan kuburan para syuhada yang sudah berjuang untuk
kemerdekaan yang kita nikmati sekarang ini.
Rumah
tempat pejuang menginap masih ada. Pada pondok tempat mereka rapat dibuat
seperti prasasti dari batu yang mengukir nama-nama mereka yang gugur. Dan tidak
jauh dari lokasi kejadian dibangun sebuah tugu perjuangan. Namun ada sebersit
pertanyaan muncul di kepala saya.
Ketika
itu tahun 1949 belum ada jalan kesana yang bisa dilewati mobil. Yang ada hanya
jalan setapak. Kondisi dari jalan lintas kesana tentu masih hutan lebat, Jarak
antara jalan lintas dan desa tempat kejadian sekitar 7 kilometer. Tentara
Belanda datang kesana tentu berjalan kaki. Kalau berjalan kaki di jalan aspal
mungkin membutuhkan waktu paling cepat satu jam. Kalau di semak belukar tentu
lebih lam lagi. Tentara sebanyak itu berjalan,kaki kenapa tidak ada satu orang pun yang tahu.
Kenapa tidak ada regu-regu pengintai atau sniper untuk mencegah mereka, setidak
dapat dideteksi secara dini sehingga pejuang-pejuang yang beristirahat bisa menyelamatkan
diri.
Gunung Sago yang berdiri kukuh mengawal desa
Situjuh Batur berdiri kokoh membisu seperti halnya pusara para pejuang yang
menjadi saksi bisu peristiwa yang menyedihkan itu. Seharusnya para pemimpin
Indonesia baik nasional dan local dibawa ketempat kejadian seperti ini agar
mereka mengetahui betapa beratnya perjuangan rakyat untuk mengejar cita-cita
kemerdekaan Indonesia yang adil dan makmur.
Catatan:
- Bahan dilengkapi dari: Fajar Rillah
Veski “ Tambiluak Tentang PDRI dan
Peristiwa Situjuh” Citra Budaya Indonesia Padang dan Luhak Limapuluh Press
Club.
- Dua buah gambar diambil dari google
Tidak ada komentar:
Posting Komentar