Kapan
saja kita berbicara tentang proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia,
ada satu nama yang selalu disebut. Dia
adalah seorang petinggi meliter Jepang
yang memfasilitasi penulisan naskah proklamasi di rumahnyadan menjamin keamanan
peminpin republic ketika acara proklamasi berlansung. Dia adalah Maeda Tadashi
penguasa perang pemerintah Jepang di Jakarta tahun 1945 tersebut. Meskipun
bantuannya itu akhirnya membuat hidupnya menderita di kemudian hari.
Dikutip
dari Indo ,CropCircles.com,penguasa Jepang erpangkat laksamana muda, Maeda
Tadashi yang lahir 3 Maret 1898 adalah tokoh militer tertinggi Jepang yang
mendukung kemerdekaan Indonesia yang menjabat sebagai Kepala Kantor Penghubung
Angkatan Laut dan Angkatan Darat Jepang. Peran terpentingnya ketika
mempersilakan dan menjamin keamanan para pemimpin Indonesia merumuskan teks
proklamasi di rumahnya pada tanggal 16 Agustus 1945.
Adalah
Yoshizumi dan Nishijima yang mempengaruhi Laksamana Maeda untuk menggunakan
tempatnya untuk menyusun naskah proklamasi oleh Soekarno, Mohammad Hatta, dan
Achmad Soebardjo ditambah Mohamad Ibnu Sayuti atau yang lebih dikenal sebagai
Sayuti Melik selaku juru ketik.
Cerita
kedekatan Laksamana Maeda dengan Indonesia sejatinya terjadi jauh sebelum malam
jelang kemerdekaan itu. Maeda yang lahir di Kagoshima, Kyushu, Jepang, pernah
menjadi atase militer Jepang di Den Haag, Belanda, dan Jerman pada masa sebelum
perang atau sekitar 1930-an.
Dalam diri
Maeda muncul simpati terhadap gerakan kemerdekaan Indonesia sejak dia bertugas
di Belanda.
Saat itu,
Maeda kerap berhubungan dengan sejumlah tokoh pelajar dan mahasiswa Indonesia,
seperti Nazir Pamuntjak, Ahmad Subardjo, Mohammad Hatta, dan AA
Maramis. Setelah bertugas di Den Haag dan Berlin, Maeda dipanggil pulang
ke Jepang dan menerima tugas baru di Indonesia pada 1942.
Saat
berdinas di Jakarta inilah Maeda mendirikan sekolah atau institut politik yang
diberi nama Asrama Indonesia Merdeka pada Oktober 1944 bagi para pemuda
terpilih. Hampir semua figur nasionalis menjadi pengajar di sekolah ini.
Seperti
Soekarno yang mengajarkan politik, Hatta mengajarkan ekonomi, Sanoesi Pane
mengajarkan Sejarah Indonesia, Sjahrir mengajarkan sosialisme, Iwa Kusuma
Sumantri mengajarkan hukum pidana, dan Ahmad Subardjo mengajarkan hukum
internasional.
Pada hari
Jumat 17 Agustus 1945 dini hari, kesibukan luar biasa tampak di sebuah rumah
berlantai 2 di Jalan Meiji Dori No 1, Jakarta Pusat. Di luar terlihat puluhan
pemuda bergerombol dengan wajah serius bercampur tegang. Di dalam rumah,
suasana tak kalah tegang.
Menjelang
santap sahur hari ke-8 Ramadan itu, Sukarno, Mohammad Hatta, dan Achmad
Subardjo di ruang tengah rumah itu tengah merumuskan naskah Proklamasi yang
akan menjadikan Indonesia sebagai negara merdeka.
Singkat
cerita, ketika draft Proklamasi selesai dibuat pagi itu, masalah
muncul. Saat naskah akan diketik, di rumah itu tak ada mesin tik. Untungnya,
Satsuki Mishima, anak buah Laksamana Muda Tadashi Maeda, mengetahui di mana
bisa meminjam mesin ketik pada dini hari itu.
Mishima
pergi menggunakan mobil Jeep kepunyaan Maeda untuk meminjam mesin ketik
kepunyaan Kantor Perwakilan Angkatan Laut Jerman (Kriegsmarine) di Indonesia.
Teks Proklamasi kemudian diketik Sayuti Melik menggunakan mesin tik itu di dekat
dapur kediaman Maeda.
Pagi
harinya, naskah hasil ketikan itu dibacakan Sukarno di rumahnya, Jalan
Pegangsaan Timur No 56. Pada masa kini, tak hanya rumah presiden Sukarno, rumah
Maeda yang kini bernama Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, telah menjadi Museum
Naskah Proklamasi.
Setelah
Indonesia merdeka, Maeda ditangkap oleh Sekutu pada 1946 dan dipenjarakan di
Gang Tengah selama 1 tahun karena tuduhan Belanda yangmengatakan RI itu sebagai
bikinan Jepang. Biarpun pemeriksa berturut-turut selama 4 hari menekannya
sampai akhirnya mengeluarkan air kencing berdarah, tapi ia tetap tidak mengaku.
Umur Maeda waktu itu hampir 36 tahun dan masih bisa tahan.
Setelah itu
ia dikembalikan ke Jepang dan ketika tiba di negaranya, Maeda sama sekali tak
mendapat penghormatan layaknya pahlawan yang pulang perang. Ia dikecam dan
mendapat perlakuan hina di Jepang. Atas jasa Maeda tersebut, pada 1973 dia
diundang pemerintah Indonesia untuk menghadiri perayaan Proklamasi 17 Agustus.
Dalam kesempatan itu ia sempat bertemu dengan Mohammad Hatta.
Meskipun
secara hati nurani, orang-orang Jepang mendukung kemerdekaan Indonesia, namun
kepatuhan kepada negara bagi mereka adalah segalanya. Semua akses Maeda
dan keluarga ditutup dan ia mendapat kesulitan luar biasa selepas dari dinas
militer hingga meninggal dunia dalam kondisi melarat.
Maeda juga
merupakan penerima Bintang Jasa Nararya dari pemerintah Indonesia. Bintang
jasa ini penghargaan sipil yang tertinggi, tetapi dikeluarkan dan diberikan
sesudah Bintang Republik Indonesia kepada anggota korps militer. Bintang ini
diberikan bagi mereka yang berjasa secara luar biasa pada bidang militer pula.
Kesediaan
Maeda dan keluarga menyediakan rumahnya sebagai tempat rapat yang juga tempat
merumuskan naskah proklamasi kemerdekaan merupakan salah satu bukti simpati
pribadinya dan juga keluarganya terhadap kemerdekaan Indonesia.
Mengenang kepergian Maeda, Ahmad Subardjo menulis, “Pada
detik-detik terpenting dalam melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
Laksamana menunjukkan sifat Samurai Jepang, yang mengorbankan diri dengan rela
demi tercapainya cita-cita luhur dari rakyat Indonesia, yakni Indonesia
Merdeka”.
Catatan:
1. Naskah asli dari
2. Gambar diambil dari indocropcircles.com dan google
Tidak ada komentar:
Posting Komentar