Perang Manggopoh merupakan rembesan dari perang Kamang yang dipicu
oleh perlakuan penjajah Belanda yang mewajibkan rakyat membayar pajak,
tanah, hewan ternak yang mencekik rakyat di Sumatra Barat. Namun Perang
Manggopoh agak spesifik dibandingkan dengan Perang Kamang.
Ada dua hal penting yang membedakan antara perang Kamang dan Manggopoh. Perang Kamang digerakkan oleh Syek Abdul Manan dan anaknya H. Ahmad Marzuki. Sedangkan perang Manggopoh dikobarkan oleh seorang emak Siti Manggopoh. Perang Kamang korban di pihak kita sangat besar sekali yaitu sekitar 100 orang sedangkan Belanda hanya 12 orang. Sebaliknya Perang Manggopoh menewaskan 53 dari 55 serdadu Belanda yang ada sedangkan dipihak pejuang hanya 7 orang.
Siapa sebenarnya Siti Manggopoh? Seperti yang dilansir oleh Wikipedia Siti Manggopoh (lahir di Manggopoh, Agam, Hindia Belanda, Mei 1880 - meninggal di Gasan Gadang, Padang Pariaman, Sumatra Barat, 1965 pada umur 85 tahun) adalah seorang pejuang perempuan dari Manggopoh, Lubuk Basung, Agam. Ia pernah mengobarkan perlawanan terhadap kolonialis Belanda dalam perang yang dikenal sebagai Perang Belasting.
Pada tahun 1908, Siti melakukan perlawanan terhadap kebijakan ekonomi Belanda melalui pajak uang (belasting). Peraturan belasting dianggap bertentangan dengan adat Minangkabau, karena tanah adalah kepunyaan komunal atau kaum di Minangkabau. Pada tanggal 16 Juni 1908, Belanda sangat kewalahan menghadapi tokoh perempuan Minangkabau ini, sehingga meminta bantuan kepada tentara Belanda yang berada di luar nagari Manggopoh.
Dengan siasat yang diatur sedemikian rupa oleh Siti, dia dan pasukannya berhasil menewaskan 53 orang serdadu penjaga benteng. Sebagai perempuan, Siti Manggopoh cukup mandiri dan tidak tergantung kepada orang lain. Ia memanfaatkan naluri keperempuanannya secara cerdas untuk mencari informasi tentang kekuatan Belanda tanpa hanyut dibuai rayuan mereka.
Ia pernah mengalami konflik batin ketika akan mengadakan penyerbuan ke benteng Belanda. Konflik batin tersebut adalah antara rasa keibuan yang dalam terhadap anaknya yang erat menyusu di satu pihak dan panggilan jiwa untuk melepaskan rakyat dari kezaliman Belanda di pihak lain. Namun ia segera keluar dari sana dengan memenangkan panggilan jiwanya untuk membantu rakyat.
Tanggung jawabnya sebagai ibu dilaksanakan kembali setelah
melakukan penyerangan. Bahkan anaknya, Dalima, dia bawa melarikan diri
ke hutan selama 17 hari dan selanjutnya dibawa serta ketika ia ditangkap
dan dipenjara 14 bulan di Lubuk Basung, Agam, 16 bulan di Pariaman, dan
12 bulan di Padang. Mungkin karena anaknya masih kecil atau karena
alasan lainnya, akhirnya Siti Manggopoh dibebaskan. Namun suaminya
dibuang ke Manado.
Catatan :
2. Gambar diambil dari google
Tidak ada komentar:
Posting Komentar