Pada hari Minggu 19 Desember 1948 Belanda menyerang Yogyakarta yang kala itu pusat pemerintahan Republik Indonesia. Belanda dengan Panglima Perangnya Jenderal Spoor memang sudah bertekat untuk melenyapkan Republik Indonesia yang diprolamirkan 4 tahun sebelumnya. Dan Belanda sukses dalam serangannya. Pemerintah Republik Indonesia dalam sidaing kabinetnya memutuskan untuk menyerah sesuatu yang sangat tidak disetujui oleh kalangan militer yang bertekat untuk terus mengadakan perlawanan
Berikut ini adalah detik-detik akhir Bung Karno dan pemimpin lainnya ditawan Belanda? Sekitar pukul 15.15 minggu sorenya Kolone A dan Kalone B pasukan baret hijau KST Belanda dibawah pimpinan colonel Van Beek telah sampai di depan istana presiden, pusat pemerintahan republic dan juga sekaligus kediaman resmi Bung karno. Saat itu istana dipertahankan Kompi II polisi militer di bawah komando Letnan I Susatio dengan anak buah sekitar seratus orang. Melihat situasi semakin kritis Letnan II Sukoco Cokroatmojo komandan Peleton II mengusulkan, “Pak tinggalkan saya bersama sebagian anak-anak. Komandan selamatkan Presiden lewat pintu belakang istana …”
Setelah mempelajari situasinya, Susatio setuju kemudian menanyakan Mayor Sugandi ajudan peresiden dan penanggungjawab keamanan presiden. Rupanya Sugandi tidak berani memutuskan dan bersama-sama menghadap presiden.
Setelah mempelajari situasinya, Susatio setuju kemudian menanyakan Mayor Sugandi ajudan peresiden dan penanggungjawab keamanan presiden. Rupanya Sugandi tidak berani memutuskan dan bersama-sama menghadap presiden.
Bung Karno diam memandang tajam kea rah Sukoco. Sejenak kemudian dia menjawab dengan mengacungkan tangan kanannya ke atas, “ Begini Co, merah putih tidak akan pernah menyerah”. Dengan nada kalimat berubah datar Bung Karno melanjutkan kalimatnya, “ Tapi kita akan serahkan saja rumah ini,. . . . istana ini”
Waktu itu Sukoco hanya komandan kompi. Dengan demikian dia belum memperoleh informasi bahwa siding cabinet baru saja memutuskan, Presiden dan seluruh pemimpin public yang masih tinggal di istana akan tetap berada di sana untuk mencoba meneruskan tahap baru perjuangan. Tidak lagi dengan bertempur tetapi akan mencoba sebuah cara lain, jalan diplomasi.
(Bersambung Part II)
1. Bahan diambil dari Julius Pour “Doorstoot Naar Djokja”
Pertikaian Pemimpin Sipil Militer, Penerbit Kompas Jakarta 2010
2. Gambar diambil dari Google
Tidak ada komentar:
Posting Komentar