Pada post terdahulu kita sudah membicarakan tentang asal usul si
Penjagal Westerling, pada post ini kita akan melihat lagi bagaimana
kesewenang-wenangan dan kekejaman serdadu haus darah itu di Sulawesi selatan.
PEMBANTAIAN TAHAP 1
Pertengahan tahun 1946, Westerling dikirim ke Jakarta. Dia
bertugas di KNIL, di sini karier militer si penjagal menanjak cepat. Mulanya,
ia hanya seorang instruktur. Tak lama, pada usia 27 tahun, Letnan Satu
Westerling diangkat sebagai Komandan Depot Speciale Troepen (DST), Pasukan Para
Khusus Belanda. Pasukan inilah yang ditugaskan ke Makassar, untuk membantu
Kolonel De Vries mempertahankan kekuasaan Belanda. Pada 5 Desember 1946, ia
tiba di Makassar. Belum seminggu di tempat baru, ia sudah membuat teror yang
menggemparkan. Kampung-kampung dikepung, dihujani mortir. Rumah-rumah dibakar
habis. Penduduk dikumpulkan, dibantai. Dan para anggota pergerakan kemerdekaan
disiksa, sebelum dihabisi dengan biji-biji peluru.
Pembantaian yang dilakukan Westerling ini dikenal dengan peristiwa
pembunuhan ribuan rakyat sipil di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh
pasukan Belanda Depot Speciale Troepen pimpinan Raymod Paul Pierre Westerling.
Peristiwa ini terjadi pada bulan Desember 1946 – Februari 1947 selama operasi
militer Counter Insurgency (penumpasan
pemberontakan).
Aksi
pertama operasi Pasukan Khusus DST dimulai pada malam tanggal 11 menjelang 12 Desember. Sasarannya adalah desa Batua serta beberapa desa kecil di
sebelah timur Makassar dan Westerling sendiri yang memimpin operasi itu.
Pasukan pertama berkekuatan 58 orang dipimpin oleh Sersan Mayor H. Dolkens menyerbu Borong dan
pasukan kedua dipimpin oleh Sersan Mayor
Instruktur J. Wolff beroperasi diBatua dan
Patunorang. Westerling sendiri bersama Sersan Mayor Instruktur W. Uittenbogaard
dibantu oleh dua ordonan, satu operator radio serta 10 orang staf menunggu di
desa Batua.
Pada
fase pertama, pukul 4 pagi wilayah itu dikepung dan seiring dengan sinyal lampu
pukul 5.45 dimulai penggeledahan di rumah-rumah penduduk. Semua rakyat digiring
ke desa Batua. Pada fase ini, 9 orang yang berusaha melarikan diri langsung
ditembak mati. Setelah berjalan kaki beberapa kilometer, sekitar pukul 8.45 seluruh
rakyat dari desa-desa yang digeledah telah terkumpul di desa Batua. Tidak
diketahui berapa jumlahnya secara tepat. Westerling melaporkan bahwa jumlahnya
antara 3.000 sampai 4.000 orang yang kemudian perempuan dan anak-anak
dipisahkan dari pria.
Fase
kedua dimulai, yaitu mencari “kaum ekstremis, perampok, penjahat dan pembunuh”.
Westerling sendiri yang memimpin aksi ini dan berbicara kepada rakyat, yang
diterjemahkan ke bahasa Bugis. Dia
memiliki daftar nama “pemberontak” yang telah disusun oleh Vermeulen. Kepala adat dan kepala desa harus membantunya
mengidentifikasi nama-nama tersebut. Hasilnya adalah 35 orang yang dituduh
langsung dieksekusi di tempat. Metode Westerling ini dikenal dengan nama “Standrecht”
– pengadilan (dan eksekusi) di tempat. Dalam laporannya Westerling menyebutkan
bahwa yang telah dihukum adalah 11 ekstremis, 23 perampok dan seorang pembunuh.
Fase
ketiga adalah ancaman kepada rakyat untuk tindakan di masa depan, penggantian
Kepala desa serta pembentukan polisi desa yang harus melindungi desa dari
anasir-anasir “pemberontak, teroris dan perampok”. Setelah itu rakyat disuruh
pulang ke desa masing-masing. Operasi yang berlangsung dari pukul 4 hingga
pukul 12.30 telah mengakibatkan tewasnya 44 rakyat desa.
Demikianlah
“sweeping ala Westerling“.
Dengan pola yang sama, operasi pembantaian rakyat di Sulawesi Selatan berjalan
terus. Westerling juga memimpin sendiri operasi di desa Tanjung Bunga pada malam tanggal 12 menjelang 13 Desember 1946. 61
orang ditembak mati. Selain itu beberapa kampung kecil di sekitar desa Tanjung
Bunga dibakar, sehingga korban tewas seluruhnya mencapai 81 orang.
Berikutnya
pada malam tanggal 14 menjelang 15 Desember, tiba giliran Kalukuang yang
terletak di pinggiran kota Makassar, 23 orang rakyat ditembak mati. Menurut
laporan intelijen mereka, Wolter Monginsidi dan Ali
Malakka yang diburu oleh tentara Belanda berada di wilayah
ini, namun mereka tidak dapat ditemukan. Pada malam tanggal 16 menjelang
tanggal 17 Desember,
desa Jongaya yang
terletak di sebelah tenggara Makassar menjadi sasaran. Di sini 33 orang
dieksekusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar