PEMBANTAIAN
TAHAP 2 DAN 3
Setelah daerah sekitar Makassar dibersihkan dari para pejuang,
aksi tahap kedua dimulai tanggal 19 Desember 1946.
Sasarannya adalah Polobangkeng yang
terletak di selatan Makassar di mana menurut laporan intelijen Belanda,
terdapat sekitar 150 orang pasukan TNI serta sekitar 100 orang anggota laskar
bersenjata. Dalam penyerangan ini, Pasukan DST menyerbu bersama 11 peleton
tentara KNIL dari Pasukan Infanteri XVII. Penyerbuan ini dipimpin oleh Letkol
KNIL Veenendaal. Satu pasukan DST di
bawah pimpinan Vermeulen menyerbu
desa Renaja dan Ko’mara.
Pasukan lain mengurung Polobangkeng. Selanjutnya pola yang sama seperti pada
gelombang pertama diterapkan oleh Westerling. Dalam operasi ini 330 orang
rakyat tewas dibunuh.
Dari 330 korban ini tidak ada keterangan apakah ada pasukan TNI
yang berjumlah sekitar 150 orang itu. Demikian juga korban diantara laskar yang
bersenjata.
TAHAP 3
Aksi tahap ketiga mulai dilancarkan pada 26 Desember 1946 terhadap Gowa dan dilakukan dalam tiga gelombang, yaitu
tanggal 26 dan 29 Desember serta 3 Januari 1947.
Di sini juga dilakukan kerjasama antara Pasukan Khusus DST dengan pasukan KNIL.
Korban tewas di kalangan penduduk berjumlah 257 orang.
Pemberlakuan
keadaan darurat
Untuk lebih memberikan keleluasaan bagi Westerling, pada 6 Januari 1947 Jenderal Simon Spoor memberlakukan noodtoestand (keadaan
darurat) untuk wilayah Sulawesi Selatan. Pembantaian rakyat dengan pola seperti
yang telah dipraktekkan oleh pasukan khusus berjalan terus dan di banyak
tempat, Westerling tidak hanya memimpin operasi, melainkan ikut menembak mati
rakyat yang mereka tuduh sebagai teroris, perampok atau pembunuh.
Pertengahan Januari 1947 sasarannya adalah pasar di Parepare dan dilanjutkan di Madello, Abbokongeng, Padakkalawa,
satu desa tak dikenal,Enrekang, Talabangi, Soppeng, Barru, Malimpung,
dan Suppa.
Setelah itu, masih ada beberapa desa dan wilayah yang menjadi
sasaran Pasukan Khusus DST tersebut, yaitu pada tanggal 7 dan 14 Februari di
pesisir Tanete, pada tanggal 16 dan
17 Februari di desa Taraweang dan
Bornong-Bornong. Kemudian juga di Mandar, di mana 364 orang penduduk
tewas dibunuh. Pembantaian para “ekstremis” bereskalasi di Kulo, Amparita dan
Maroangin di mana 171 penduduk
dibunuh tanpa sedikit pun dikemukakan bukti kesalahan mereka atau alasan
pembunuhan.
Selain itu, di aksi-aksi terakhir, tidak seluruhnya “teroris,
perampok dan pembunuh” yang dibantai berdasarkan daftar yang mereka peroleh
dari dinas intel, melainkan secara sembarangan orang-orang yang sebelumnya ada
di tahanan atau penjara karena berbagai sebab, dibawa ke luar dan dikumpulkan
bersama terdakwa lain untuk kemudian dibunuh.
H.C. Kavelaar, seorang wajib militer
KNIL, adalah saksi mata pembantaian di alun-alun di Tanete, di mana sekitar 10 atau 15 penduduk dibunuh. Dia
menyaksikan, bagaimana Westerling sendiri menembak mati beberapa orang dengan
pistolnya, sedangkan lainnya diberondong oleh peleton DST dengan sten gun.
Di semua tempat, pengumpulan data mengenai orang-orang yang
mendukung Republik, intel Belanda selalu dibantu oleh pribumi yang rela demi
uang dan kedudukan. Pada aksi di Gowa, Belanda dibantu oleh seorang kepala
desa, Hamzah, yang tetap setia
kepada Belanda.
Sumber :
https://sejarahsemarang.wordpress.com/zaman-belanda/raymond-westerling/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar