Semestinya seorang pemimpin organisasi masa besar seperti PKI, yang
tahun 1960-an merupakan partai komunis nomor tiga terbesar di dunia setelah
China dan Uni Soviet. Tentu saja yang berhasil menjadi pimpinannya adalah orang
yang mumpuni, cerdas, unggul, berpikir kreatif mencari solusi untuk bisa keluar
dari kemelut seberapapun rumitnya, sehingga bisa menjadi tumpuan harapan bagi
anggota yang berada di jajaran bawahannya.
Keunggulan
seperti inilah yang didambakan oleh pimpinan organisasi-organisasi yang berada
di bawah partai komunis Indonesia (PKI) ketika terjadi tekanan terhadap partai
atheis tersebut setelah pemberontakan mereka yang gagal tahun 1965. Mereka
berharap sang ketua dapat memberikan solusi yang tepat sehingga partai yang
telah susah payah mereka bangun itu terhindar dari kehancuran dan pemusnahan
terhadap anggotanya.
Namun mereka yang berharap itu menjadi kecewa
dan putus asa setelah berjumpa dan meinta fatwa kepada sang ketua. Pimpinan
mereka tidak setangguh yang mereka bayangkan selama ini. Seperti yang
dituturkan oleh Salah seorang tokoh PKI, Munir mengatakan, seminggu sebelum
Aidit berhasil ditangkap tentara dan ditembak mati, dirinya masih sempat
bertemu dengan Aidit.
Kesannya
ketika bertemu Aidit saat itu sangat mengecewakan. Sosok Aidit yang
revolusioner sudah berubah menjadi orang yang putus asa. Aidit bahkan tidak
bisa memberikan perintah di saat yang sangat genting itu. Dari pertemuannya itu
Munir berkesimpulan bahwa Aidit bukan orang yang ahli dalam revolusi.
Kesimpulan Munir tepat. Aidit belum pernah memimpin aksi massa. Bahkan memimpin
perlawanan buruh tidak pernah. Berarti pemimpin ini jangankan menyelamatkan partai,
menyelamatkan dirinya sendiri saja dia tidak berhasil.
Kelemahan Aidit ini lah yang mengakibatkan malapetaka bagi anggota dan simpatisan PKI yang jumlahnya jutaan orang itu.
Kelemahan Aidit ini lah yang mengakibatkan malapetaka bagi anggota dan simpatisan PKI yang jumlahnya jutaan orang itu.
Lebih
lanjut lagi Cerita salah seorang tahanan G30S di Jawa Tengah (Jateng) Kolonel
Suherman menjadi bukti kelemahan Aidid dalam menghadapi tekanan. Kolonel ini menceritakan, Setelah G30S meletus
Suherman berhasil menghimpun kekuatan militer yang terdiri dari 34-38 Kodim
se-Jateng.
Saat
Suherman menemui Aidit di Solo untuk meminta petunjuk, sikap yang diberikan
Aidit justru kontrarevolusioner dengan meminta Suherman membubarkan kekuatannya
sendiri yang berarti mengambil sikap bunuh diri. Sebaliknya, Aidit melempar
tanggung jawab penyelesaian G30S kepada Presiden Soekarno yang posisinya saat
itu sudah terancam.
Rupanya
penyelesaian politik Presiden Soekarno gagal. Pihak sayap kanan AD terus
bergerak menghancurkan G30S dan mulai menyerang PKI dengan sistimatis. Menyadari
kesalahannya, tiga hari setelah Suherman membubarkan kekuatan bersenjatanya,
Aidit kembali memanggilnya dan meminta kekuatan bersenjata yang ada dikumpulkan
kembali. Namun saat Aidit memberikan petunjuk ini semuanya sudah terlambat. PKI
sudah diluluh lantakkan, ribuan anggotanya sudah tertangkap dan terbunuh..
Sambil menunggu nasib yang menghadapi
mereka, ribuan bahkan jutaan anggota
partai komunis Indonesia mungkin merenung dan menyesali kelemahan dan kebijakan
yag diambil oleh pimpinan mereka sehingga menggiring mereka yang tadinya penuh
semangat dan revolusioner menuju kehancuran
SumberCerita Pagi
Kesaksian Siauw Giok Tjhan dalam Gestapu 1965
https://daerah.sindonews.com/read/1057848/29/kesaksian-siauw-giok-tjhan-dalam-gestapu-1965-1446312109/39
Semua gambar diambil dari google
Tidak ada komentar:
Posting Komentar