Kalau kita menyimak sejarah Indonesia terutama yang berhubungan dengan Partai Komunis Indonesia, perasaan kita bisa jadi trenyuh akan nasib dari pada tokoh-tokohnya. Mereka rata-rata pejuang yang ulung untuk membangun partai yang sudah hancur lebur, justru kemudian mereka hancur sendiri ketika mereka sudah mendekati impian yang mereka cita-citakan yaitu jadi penguasa di Republik ini. Kegagalan ketika sampai ke puncak ini membawa kematian yang tragis bagi pucuk pimpinannya. Inilah yang dialami oleh dua tokoh komunis Indonesia Dipa Negara Aidid dan Amir Syarifudin
Amir Syarifudin termasuk pejuang yang membangun lagi kekuatan kaum komunis yang dihancur leburkan oleh pemerintah colonial Belanda ketika kaum komunis memberontak kepada pemerintah colonial pada tahun 1926. Ketika zaman Jepang ia berjuang melawan Jepang sehingga ditangkap dan disiksa secara sadis oleh polisi Jepang. Ketika Indonesia Merdeka ia termasuk tokoh penting dan sempat menjadi perdana mentri dan kemudian ikut memberontak bersama Muso sehingga ditumpas oleh TNI dan dihukum tembak.
Demikian juga DN Aidid secara tangguh ia membangun kemabali sisa-siasa kekuatan komunis yang dicerai beraikan oleh TNI karena pemberontakan Madiun, sukses pada pemilu Indonesia pertama menjadi pejabat penting dan dekat dengan Sukarno sang presiden. Gestapu meletus , kekuasaan yang sudah di depan mata tinggal selangkah lagi akhirnya lenyap secara menyedihkan dan akhirnya mengalami nasib yang sama dengan Amir Syarifudin, tertangkap dalam pelarian dan ditembak mati.
Amir Syarifuddin Harahap lahir di Medan, Sumatra Utara, 27 April 1907 – adalah seorang politikus sosialis dan salah satu pemimpin terawal Republik Indonesia. Ia menjabat sebagai Perdana Menteri ketika Revolusi Nasional Indonesia sedang berlangsung. Berasal dari keluarga Angkola Muslim, Amir menjadi pemimpin sayap kiri terdepan pada masa Revolusi. Pada tahun 1948
Tokoh komunis yang satu ini pada zaman Belanda tidak termasuk rakyat yang menderita karena penjajahan. Ia berasal dari keluarga kaya aristokrasi Sumatra di kota Medan, latar belakang Amir yang kaya dan kemampuan intelektual yang luar biasa memungkinkan dia untuk masuk ke sekolah-sekolah paling elit; ia dididik di Haarlem dan Leiden di Belanda sebelum memperoleh gelar sarjana hukum di Batavia (sekarang Jakarta).Selama waktunya di Belanda ia belajar filsafat Timur dan Barat di bawah pengawasan Theosophical Society. Amir pindah dari Islam ke Kristen pada tahun 1931.Ada bukti khotbah ia berikan dalam gereja Protestan terbesar di Batak Batavia.
Ayahnya, Djamin gelar Baginda Soripada (1885-1949), seorang jaksa di Medan. Ibunya, Basunu Siregar (1890-1931), dari keluarga Batak yang telah membaur dengan masyarakat Melayu-Islam di Deli. Ayahnya keturunan keluarga kepala adat dari Pasar Matanggor di Padang Lawas, Tapanuli.
Amir menikmati pendidikan di ELS atau sekolah dasar Belanda di Medan pada tahun 1914 hingga selesai Agustus 1921. Atas undangan saudara sepupunya, T.S.G. Mulia yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad dan belajar di kota Leiden sejak 1911, Amir pun berangkat ke Leiden. Tak lama setelah kedatangannya dalam kurun waktu 1926-1927 dia menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem, selama masa itu pula Amir aktif terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok kristen misalnya dalam CSV-op Java yang menjadi cikal bakal GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Ia tinggal di rumah guru pemeluk Kristen Calvinis, Dirk Smink, dan di sini juga Mulia menumpang.
Namun pada September 1927, sesudah lulus ujian tingkat kedua, Amir kembali ke kampung halaman karena masalah keluarga, walaupun teman-teman dekatnya mendesak agar menyelesaikan pendidikannya di Leiden. Kemudian Amir masuk Sekolah Hukum di Batavia, menumpang di rumah Mulia (sepupunya) yang telah menjabat sebagai direktur sekolah pendidikan guru di Jatinegara. Kemudian Amir pindah ke asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106, ia ditampung oleh senior satu sekolahnya, Mr. Muhammad Yamin.
Menjelang invasi Jepang ke Hindia Belanda, Amir berusaha—menyetujui dan menjalankan garis Komunis Internasional agar kaum kiri menggalang aliansi dengan kekuatan kapitalis untuk menghancurkan Fasisme. Barangkali ini mempunyai hubungan dengan pekerjaan politik Musso dengan kedatangannya ke Hindia Belanda dalam tahun 1936.
Ia kemudian dihubungi oleh anggota-anggota kabinet Gubernur Jenderal, menggalang semua kekuatan anti-fasis untuk bekerja bersama dinas rahasia Belanda dalam menghadapi serbuan Jepang. Rencana itu tidak banyak mendapat sambutan. Rekan-rekannya sesama aktivis masih belum pulih kepercayaan terhadapnya akibat polemik pada awal tahun 1940-an, serta tidak paham akan strateginya melawan Jepang. Mereka ingin menempuh taktik lain yaitu, berkolaborasi dengan Jepang dengan harapan Jepang akan memberi kemerdekaan kepada Hindia Belanda setelah kolonialis Belanda dikalahkan. Dalam hal ini garis Amir yang terbukti benar.
Pada bulan Januari 1943 ia tertangkap oleh fasis Jepang, di tengah gelombang-gelombang penangkapan yang berpusat di Surabaya. Kejadian ini dapat ditafsirkan sebagai terbongkarnya jaringan suatu organisasi anti fasisme Jepang yang sedikit banyak mempunyai hubungan dengan Amir. Terutama dari sisa-sisa kelompok inilah Amir, kelak ketika menjadi Menteri Pertahanan, mengangkat para pembantunya yang terdekat. Namun identifikasi penting kejadian Surabaya itu, dari sedikit yang kita ketahui melalui sidang-sidang pengadilan mereka tahun 1944, hukuman terberat dijatuhkan pada bekas para pemimpin Gerindo dan Partindo Surabaya.
Sebuah dokumen NEFIS (Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service), instansi rahasia yang dipimpin Van Mook, tertanggal 9 Juni 1947 menulis tentang Amir; "ia mempunyai pengaruh besar di kalangan massa dan orang yang tak mengenal kata takut". Belanda mungkin tahu bahwa penghargaan berbau mitos terhadapnya di kalangan Pesindo berasal dari cerita para tahanan sesamanya. Bagaimana ia menghadapi siksaan fisik dan moral yang dijatuhkan Jepang. Diceritakan, misalnya, bagaimana ia tertawa ketika para penyiksa menggantungnya dengan kaki di atas.
Dalam Persetujuan Renville yang Belanda hanya mengakui kedaulatan Negara Republik Indonesia hanya Jawa, Sumatra dan Madura saja, tanggungjawab yang berat ini terletak dipundak kaum Komunis, khususnya Amir Syarifudin sebagai Perdana Mentri dan sebagai negosiator utama dari Republik Indonesia. Meskipun persetujuan yang sangat merugikan Indonesia itu direstui Presiden Sukarno, Hatta dan tokoh- tokoh Republik lainnya, namun mendapat protes yang keras dari dalam negeri terutama sekali dari Partai Masyumi dan golongan Nasionalis.
Dalam menghadapi gelombang protes itu Amir merasa Sukarno tidak membantunya. Ia merasa dijebak dan dikhianati. Tidak tahan dengan semua itu Kabinet Amir Sjarifuddin mengundurkan diri dengan sukarela dan tanpa perlawanan sama sekali.
(Bersambung pada bagian ke-2 )
Catatan:
1. Bahan dilengkapi dari https://id.wikipedia.org/wiki/Amir_Sjarifoeddin
2. Gambar diambil dari googe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar