Mengetahui dan mendengar telah dideklerasikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) Belanda merasa di pencundangi. Mereka telah mengumumkan keseluruh dinia menggunakan seluruh media dan alat propaganda yang mereka milki bahwa Repuplik Indonesia telah hapus darimuka bumi. Ini mereka buktikan dengan telah ditangkapnya hampir seluruh tokoh penting Republik termasuk Presiden dan wakil Presiden. Kemudian alangkah malunya mereka ketika dunia mendengar melalui radio bahwa pemerintahan Indonesia masih exist.
Belanda tidak tinggal diam. Mereka memburu dan menggempur daerah-daerah yang diperkirakan dimana beradanya PDRI. Mr. T.M Hasan yang menjabat sebagai Wakil Ketua PDRI, merangkap Menteri Dalam Negeri, Agama, Pendidikan dan Kebudayaan, menuturkannya bahwa rombongan mereka kerap tidur di hutan belukar, di pinggir sungai Batanghari, dan sangat kekurangan bahan makanan. Mereka pun harus menggotong radio dan berbagai perlengkapan lain. Kondisi PDRI yang selalu bergerilya keluar masuk hutan itu diejek radio Belanda sebagai Pemerintah Dalam Rimba Indonesia.
Sjafruddin membalas,
Kami meskipun dalam rimba, masih tetap di wilayah RI, karena itu kami pemerintah yang sah. Tapi, Belanda waktu negerinya diduduki Jerman, pemerintahnya mengungsi ke Inggris. Padahal menurut UUD-nya sendiri menyatakan bahwa kedudukan pemerintah haruslah di wilayah kekuasaannya. Apakah Inggris jadi wilayah kekuasaan Belanda? Yang jelas pemerintah Belanda tidak sah.
Sekitar satu bulan setelah agresi militer Belanda, dapat terjalin komunikasi antara pimpinan PDRI dengan keempat Menteri yang berada di Jawa. Mereka saling bertukar usulan untuk menghilangkan dualisme kepemimpinan di Sumatra dan Jawa.
Setelah berbicara jarak jauh dengan pimpinan Republik di Jawa, maka pada 31 Maret 1949 Prawiranegara mengumumkan penyempurnaan susunan pimpinan Pemerintah Darurat Republik Indonesia sebagai berikut:
• Mr. Syafruddin Prawiranegara, Ketua merangkap Menteri Pertahanan dan Penerangan,
• Mr. Susanto Tirtoprojo, Wakil Ketua merangkap Menteri Kehakiman dan Menteri Pembangunan dan Pemuda,
• Mr. Alexander Andries Maramis, Menteri Luar Negeri (berkedudukan di New Delhi, India).
• dr. Sukiman, Menteri Dalam Negeri merangkap Menteri Kesehatan.
• Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan.
• Mr. Ignatius J. Kasimo, Menteri Kemakmuran/Pengawas Makanan Rakyat.
• Kyai Haji Masykur, Menteri Agama.
• Mr. T. Moh. Hassan, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan.
• Ir. Indracahya, Menteri Perhubungan.
• Ir. Mananti Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum.
• Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Menteri Perburuhan dan Sosial.
Pejabat di bidang militer:
• Letnan Jenderal Sudirman, Panglima Besar Angkatan Perang RI.
• Kolonel Abdul Haris Nasution, Panglima Tentara & Teritorium Jawa.
• Kolonel R. Hidajat Martaatmadja, Panglima Tentara & Teritorium Sumatra.
• Kolonel Mohammad Nazir, Kepala Staf Angkatan Laut.
• Komodor Udara Hubertus Suyono, Kepala Staf Angkatan Udara.
• Komisaris Besar Polisi Umar Said, Kepala Kepolisian Negara.
Kemudian tanggal 16 Mei 1949, dibentuk Komisariat PDRI untuk Jawa yang dikoordinasikan oleh Mr. Susanto Tirtoprojo, dengan susunan sbb.:
• Mr. Susanto Tirtoprojo, urusan Kehakiman dan Penerangan.
• Mr. Ignatius J. Kasimo, urusan Persediaan Makanan Rakyat.
• R. Panji Suroso, urusan Dalam Negeri.
Selain dr. Sudarsono, Wakil RI di India, Mr. Alexander Andries Maramis, Menteri Luar Negeri PDRI yang berkedudukan di New Delhi, India, dan Lambertus N. Palar, Ketua delegasi Republik Indonesia di PBB, adalah tokoh-tokoh yang sangat berperan dalam menyuarakan Republik Indonesia di dunia internasional sejak Belanda melakukan Agresi Militer Belanda II. Dalam situasi ini, secara de facto, Mr. Syafruddin Prawiranegara adalah Kepala Pemerintah Republik Indonesia.
Perlawanan bersenjata dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia serta berbagai laskar di Jawa, Sumatra serta beberapa daerah lain. PDRI menyusun perlawanan di Sumatra. Tanggal 1 Januari 1949, PDRI membentuk 5 wilayah pemerintahan militer di Sumatra:
• Aceh, termasuk Langkat dan Tanah Karo.
o Gubernur Militer: Tgk Daud Beureu'eh di Beureu'eh
o Wakil Gubernur Militer: Letnan Kolonel Askari
• Tapanuli dan Sumatra Timur Bagian Selatan.
o Gubernur Militer: dr. Ferdinand Lumban Tobing
o Wakil Gubernur Militer: Letnan Kolonel Alex Evert Kawilarang
• Riau
o Gubernur Militer: R.M. Utoyo
o Wakil Gubernur Militer: Letnan Kolonel Hasan Basry
• Sumatra Barat.
o Gubernur Militer: Mr. Sutan Mohammad Rasjid
o Wakil Gubernur Militer: Letnan Kolonel Dahlan Ibrahim
• Sumatra Selatan.
o Gubernur Militer: dr. Adnan Kapau Gani
o Wakil Gubernur Militer: Letnan Kolonel Maludin Simbolon.
Sesungguhnya, sebelum Soekarno dan Hatta menyerah, mereka sempat mengetik dua buah kawat. Pertama, memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr. Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan darurat di Sumatra. Kedua, jika ikhtiar Sjafruddin gagal, maka mandat diberikan kepada Mr. A.A.Maramis untuk mendirikan pemerintah dalam pengasingan di New Delhi, India. Tetapi Sjafruddin sendiri tidak pernah menerima kawat itu. Berbulan-bulan kemudian barulah ia mengetahui tentang adanya mandat tersebut.
Menjelang pertengahan 1949, posisi Belanda makin terjepit. Dunia internasional mengecam agresi militer Belanda. Sedang di Indonesia,pasukannya tidak pernah berhasil berkuasa penuh. Ini memaksa Belanda menghadapi RI di meja perundingan.
Belanda memilih berunding dengan utusan Soekarno-Hatta yang ketika itu statusnya tawanan. Perundingan itu menghasilkan Perjanjian Roem-Royen. Hal ini membuat para tokoh PDRI tidak senang, Jendral Sudirman mengirimkan kawat kepada Sjafruddin, mempertanyakan kelayakan para tahanan maju ke meja perundingan. Tetapi Sjafruddin berpikiran untuk mendukung dilaksanakannya perjanjian Roem-Royen.
Setelah Perjanjian Roem-Royen, Mohammad Natsir meyakinkan Syafruddin Prawiranegara untuk datang ke Jakarta, menyelesaikan dualisme pemerintahan RI, yaitu PDRI yang dipimpinnya, dan Kabinet Hatta, yang secara resmi tidak dibubarkan.
Setelah Persetujuan Roem-Royen ditandatangani, pada 13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. Pada sidang tersebut, Pemerintah Hatta mempertanggungjawabkan peristiwa 19 Desember 1948. Wakil Presiden Hatta menjelaskan 3 soal, yakni hal tidak menggabungkan diri kepada kaum gerilya, hal hubungan Bangka dengan luar negeri dan terjadinya Persetujuan Roem-Royen.
Sebab utama Soekarno-Hatta tidak ke luar kota pada tanggal 19 Desember sesuai dengan rencana perang gerilya, adalah berdasarkan pertimbangan militer, karena tidak terjamin cukup pengawalan, sedangkan sepanjang yang diketahui dewasa itu, seluruh kota telah dikepung oleh pasukan payung Belanda. Lagi pula pada saat yang genting itu tidak jelas tempat-tempat yang telah diduduki dan arah-arah yang diikuti oleh musuh. Dalam rapat di istana tanggal 19 Desember 1948 antara lain KSAU Soerjadi Soerjadarma mengajukan peringatan pada pemerintah, bahwa pasukan payung biasanya membunuh semua orang yang dijumpai di jalan-jalan, sehingga jika mereka ke luar maka haruslah dengan pengawalan senjata yang kuat.
Pada sidang tersebut, secara formal Syafruddin Prawiranegara menyerahkan kembali mandatnya, sehingga dengan demikian, M. Hatta, selain sebagai Wakil Presiden, kembali menjadi Perdana Menteri. Setelah serah terima secara resmi pengembalian Mandat dari PDRI, tanggal 14 Juli, Pemerintah RI menyetujui hasil Persetujuan Roem-Royen, sedangkan KNIP baru mengesahkan persetujuan tersebut tanggal 25 Juli 1949.
Begitulah kisah heroic perjuangan PDRI untuk melanjutkan keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang nyaris bubar oleh serangan Belanda pada agresi kedua. Seharusnya moment penting dalam sejarah ini menjadi bacaan wajib di sekolah sehingga generasi milenial ini mengetahui betapa berat perjuangan generasi 45 dalam mempertahankan kemerdekaan yang kita nikmati sekarang
1.Sumber tulisan
-https://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_Darurat_Republik_Indonesia
- Fajar Rillah Veski, “ Tambiluak” Tentang PDRI dan Peristiwa Situjuh, Citra Budaya Indonesia, Padang.
2. Gambar diambil dari google
Tidak ada komentar:
Posting Komentar