Dengan minimnya pelajaran sejarah di sekolah,
banyak generasi milinial yang sudah tak kenal lagi pahlawan-pahlawan yang
berjasa memperjuangkan kemerdekaan Indonesia
dari penjajah Belanda. Oleh karena itu kita akan mengangkat kisah hidup
tokoh-tokoh pejuang yang hampir dilupakan itu. Salah satunya adalah Mohammad
Yamin seorang pelitkus, sejarahwan dan juga seorang sastrawan
Yamin mendapatkan pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Palembang, kemudian melanjutkannya ke Algemeene Middelbare School (AMS) Yogyakarta. Di AMS Yogyakarta, ia mulai mempelajari sejarah purbakala dan berbagai bahasa seperti Yunani, Latin, dan Kaei. Namun setelah tamat, niat untuk melanjutkan pendidikan ke Leiden, Belanda harus diurungnya dikarenakan ayahnya meninggal dunia. Ia kemudian menjalani kuliah di Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta, yang kelak menjadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia), dan berhasil memperoleh gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum) pada tahun 1932.
Mohammad Yamin memulai karier sebagai seorang
penulis pada dekade 1920-an semasa
dunia sastra Indonesia mengalami
perkembangan. Karya-karya pertamanya ditulis menggunakan bahasa Melayu dalam jurnal Jong Sumatra, sebuah
jurnal berbahasa Belanda pada
tahun 1920. Karya-karya terawalnya masih terikat
kepada bentuk-bentuk bahasa Melayu Klasik.
Pada tahun 1922,
Yamin muncul untuk pertama kali sebagai penyair dengan puisinya, Tanah
Air; yang dimaksud tanah airnya yaitu Minangkabau di Sumatra. Tanah Air merupakan
himpunan puisi modern Melayu pertama yang pernah diterbitkan.
Himpunan Yamin yang kedua, Tumpah
Darahku, muncul pada 28 Oktober 1928.
Karya ini sangat penting dari segi sejarah, karena pada waktu itulah Yamin dan
beberapa orang pejuang kebangsaan memutuskan
untuk menghormati satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia yang tunggal.
Dramanya, Ken Arok dan Ken Dedes yang berdasarkan sejarah Jawa,
muncul juga pada tahun yang sama.
Dalam puisinya, Yamin banyak menggunakan
bentuk soneta yang dipinjamnya dari literatur Belanda. Walaupun Yamin melakukan
banyak eksperimen bahasa dalam puisi-puisinya, ia masih lebih menepati
norma-norma klasik Bahasa Melayu, berbanding dengan generasi-generasi penulis
yang lebih muda. Ia juga menerbitkan banyak drama, esei,
novel sejarah, dan puisi. Ia juga menterjemahkan karya-karya William Shakespeare (drama Julius Caesar)
dan Rabindranath Tagore.
Karier politik Yamin dimulai ketika ia masih
menjadi mahasiswa di Jakarta. Ketika itu ia bergabung dalam organisasi Jong Sumatranen Bond[3] dan menyusun ikrah Sumpah
Pemuda yang dibacakan pada Kongres Pemuda II. Dalam ikrar tersebut, ia
menetapkan Bahasa Indonesia,
yang berasal dari Bahasa Melayu,
sebagai bahasa nasional Indonesia. Melalui organisasi Indonesia Muda, Yamin mendesak
supaya Bahasa Indonesia dijadikan sebagai alat persatuan. Kemudian setelah
kemerdekaan, Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi serta bahasa utama dalam
kesusasteraan Indonesia.
Pada tahun 1932,
Yamin memperoleh gelar sarjana hukum. Ia kemudian bekerja dalam bidang hukum di
Jakarta hingga tahun 1942. Pada tahun yang sama,
Yamin tercatat sebagai anggota Partindo. Setelah Partindo bubar, bersama Adenan Kapau Gani dan Amir Sjarifoeddin, ia mendirikan Gerakan
Rakyat Indonesia (Gerindo). Tahun 1939, ia terpilih sebagai anggota Volksraad.
Semasa pendudukan Jepang (1942-1945), Yamin bertugas
pada Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA),
sebuah organisasi nasionalis yang disokong oleh pemerintah Jepang. Pada tahun
1945, ia terpilih sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Dalam sidang BPUPKI, Yamin banyak memainkan peran. Ia berpendapat agar hak
asasi manusia dimasukkan ke dalam konstitusi negara.[4] Ia juga mengusulkan agar
wilayah Indonesia pasca-kemerdekaan, mencakup Sarawak, Sabah, Semenanjung Malaya, Timor Portugis, serta semua wilayah Hindia Belanda. Soekarno yang juga merupakan anggota
BPUPKI menyokong ide Yamin tersebut. Setelah kemerdekaan, Soekarno
menjadi Presiden Republik
Indonesia yang pertama, dan Yamin dilantik untuk
jabatan-jabatan yang penting dalam pemerintahannya.
Setelah kemerdekaan, jabatan-jabatan yang
pernah dipangku Yamin antara lain anggota DPR sejak
tahun 1950, Menteri
Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (1953–1955),
Ketua Dewan Perancangan Nasional; dibantu 3 Wakil Ketua, yaitu Ukar Bratakusumah, Soekardi & Sakirman melalui UU No. 80 tahun 1958[5] (1958–1963), Menteri Sosial dan
Kebudayaan (1959–1960), Ketua Dewan Pengawas IKBN
Antara (1961–1962) dan Menteri Penerangan (1962–1963).
Pada saat menjabat sebagai Menteri Kehakiman,
Yamin membebaskan tahanan politik yang
dipenjara tanpa proses pengadilan. Tanpa grasi dan remisi, ia mengeluarkan 950 orang tahanan yang
dicap komunis atau sosialis. Atas kebijakannya itu, ia dikritik oleh banyak
anggota DPR. Namun Yamin berani bertanggung jawab atas tindakannya tersebut.
Kemudian disaat menjabat Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Yamin
banyak mendorong pendirian univesitas-universitas negeri dan swasta di seluruh
Indonesia. Di antara perguruan tinggi yang ia dirikan adalah Universitas Andalas di Padang, Sumatra Barat.
·
Tanah Air (puisi),
1922
·
Indonesia, Tumpah
Darahku, 1928
·
Kalau Dewa Tara Sudah
Berkata (drama), 1932
·
Ken Arok dan Ken Dedes
(drama), 1934
·
Sedjarah Peperangan
Dipanegara, 1945
·
Tan Malaka, 1945
·
Gadjah Mada (novel),
1948
·
Sapta Dharma, 1950
·
Revolusi Amerika, 1951
·
Proklamasi dan
Konstitusi Republik Indonesia, 1951
·
Bumi Siliwangi (Soneta),
1954
·
Kebudayaan
Asia-Afrika, 1955
·
Konstitusi Indonesia
dalam Gelanggang Demokrasi, 1956
·
6000 Tahun Sang Merah
Putih, 1958
·
Naskah Persiapan
Undang-undang Dasar, 1960, 3 jilid
1. Naskah dikutip dari https://id.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Yamin
2. Gambar diambil dari google
Tidak ada komentar:
Posting Komentar