Kalau menengok
sejarah, Belanda yang digdaya menjajah nusantara tidaklah benar-benar superior.
Belanda banyak menang perang dengan taktik yang curang dan biadab. Dalam
beberapa peristiwa Belanda sering juga kalah oleh kerajaan yang ada di
Nusantara. Salah satu contohnya Kerajaan Siak mengalahkan Belanda dalam perang
Guntung.
Semuanya bermula pada tahun 1746. Sultan Abdul
Jalil Rahmat Syah, atau juga lebih dikenal dengan Raja Kecik wafat. Dia
digantikan puteranya, Muhammad Abdul Jalil Muzaffar Syah atau lebih dikenal
dengan nama Tengku Buang Asmara.
Saat itu, Belanda dan Kerajaan Siak memang
bermusuhan dan saling berebut pengaruh di Selat Malaka. Belanda kemudian
mendirikan sebuah loji atau benteng di Pulau Guntung, sebuah pulau kecil di
muara Sungai Siak. Pembangunan loji ini dimulai pada tahun 1752, dan selesai
pada bulan Maret 1755.
Di loji ini, Belanda menghentikan semua kapal
yang menuju Siak, yang bertujuan untuk melemahkan Kerajaan Siak. Selain itu,
VOC (perusahaan dagang Belanda) juga menghentikan kapal yang keluar dari Siak,
dan memaksa penduduk Siak menjual hasil buminya kepada VOC, dengan harga yang
ditentukan VOC.
“Belanda itu dengan sesuka hatinya juga
meminta cukai kepada kapal yang berlayar menuju dan keluar Siak. Hasil bumi
Siak juga harus dijual ke Belanda, dengan harga yang mereka tentukan. Tentu
saja harganya murah dan tidak sesuai dengan harga pasar. Itu sama saja merampok
hasil bumi Siak,” kata keturunan bangsawan Siak, OK Nizami Jamil kepada
bertuahpos.com.
Kesombongan Belanda menarik cukai dan memaksa
rakyat Siak menjual hasil buminya kepada Belanda membuat Sultan Tengku Buang
Asmara berang. Dia kemudian mengirimkan utusan kepada Belanda. Dialah Laksamana
Raja Dilaut I, yang masih saudara Tengku Buang Asmara.
“Nah, kemudian Tengku Buang Asmara mengirimkan
lagi utusannya. Ada dua orang utusannya kali ini, yaitu Raja Indra Pahlawan dan
Laksamana Muhammad Ali,” jelas Sejarawan Riau, Suwardi MS.
“Itu aneh. Tentu saja Sultan menolak syarat
itu. Melalui Laksamana Muhammad Ali, Siak mengajukan syarat bahwa Belanda tidak
boleh lagi memungut cukai kepada kapal yang lewat di loji Pulau Guntung. Jika
Belanda ingin berdagang, harus dengan harga yang sesuai dan atas dasar suka
sama suka, tidak ada pemaksaan,” tambah Suwardi
Tahun 1751. Setelah tidak ada kata sepakat
antara Laksamana Muhammad Ali dan Belanda di loji Pulau Guntung, perang pun
pecah. Dalam menyerang Belanda yang ada di loji Pulau Guntung, Kerajaan Siak
menyiapkan kapal-kapal yang dinamakan ‘Harimau Buas’. Kapal ini dilengkapi
dengan perlengkapan perang secukupnya.
“Tujuannya armada perang ini hanya satu, yakni
mengusir Belanda dari loji Pulau Guntung. Yang memimpin saat itu adalah
Laksamana Muhammad Ali. Perang ini dimulai 1752 sampai 1753,” tambah Suwardi.
Namun, menaklukkan loji Pulau Guntung tidaklah
semudah yang dibayangkan. Loji ini telah dilengkapi dengan pertahanan berlapis.
“Armada Siak terus berusaha untuk menaklukan
loji atau benteng ini. Tapi, setelah berbulan-bulan, tidak ada kemajuan.
Apalagi, bantuan Belanda yang datang dari Malaka. Korban terus berjatuhan dari
dua belah pihak,” tambah Suwardi.
Akhirnya, armada Siak mengundurkan diri
kembali ke Siak. Laksamana Muhammad Ali dan Raja Indra Pahlawan mengambil
keputusan bahwa dalam penyerangan ini tidak akan berhasil menaklukkan loji
Pulau Guntung
“Loji Belanda itu punya meriam yang sangat
besar. Jumlahnya banyak. Pertahanan loji itu juga berlapis. Menaklukkan loji
itu tidak mudah. Maka, mundur dan menyusun strategi selanjutnya, itulah langkah
yang diambil Laksamana Muhammad Ali. Bukan menyerah,” jelas Suwardi.
Akhirnya, peperangan diambil alih langsung
oleh Sultan Tengku Buang Asmara. Siasat baru disusun. Setelah berunding dengan
para laksamana dan panglima perang, Sultan akhirnya mau berunding langsung
dengan Belanda. Perundingan ini juga berlokasi di Pulau Guntung.
Namun, dalam kegembiraannya, Belanda tidak
menyadari bahwa loji mereka sudah dipenuhi prajurit Siak. Dengan aba-aba Tengku
Buang Asmara, prajurit Siak segera menghunuskan pedangnya dan berhasil membunuh
semua serdadu Belanda.
Dalam hikayat Siak, disebutkan bahwa komandan
loji Belanda tersebut bernama Fetor. Dia dibunuh oleh menantu Sultan yang
bernama Sayyid Umar Panglima. Tewaslah komandan tersebut.
Loji tersebut dibakar, dan Sultan beserta
seluruh prajuritnya kembali ke Ibukota, Mempura pada saat itu, dengan membawa
kemenangan.
“Semangat Sultan dan prajurit Siak ini telah mencerminkan bahwa
sejak ratusan tahun yang lalu, Riau sudah berjuang melawan penjajahan. Semangat
inilah yang harus dicontoh oleh generasi Riau saat ini,” ujar OK Nizami Jamil.
Catatan:
1.
Naskah
asli diambil dari http://share.babe.news/s/MrMZbTmQvR
2.
Gambar diambil
dari google
Tidak ada komentar:
Posting Komentar