(Bagian Terakhir dari 4 tulisan)
Perlahan polisi
bersama Asisten Residen Sawah Lunto berhasil mendesak para pemberontak. Meski
sempat terjadi pertempuran, situasi di Silungkang mulai dikuasai. 1 Januari
1927, 49 orang pemberontak ditangkap, beberapa tewas dan luka-luka. Di Padang
Sibusuk, meski sempat melakukan perlawanan, pemberontakan akhirnya dilumpuhkan.
Pemberontakan di Sumatera Barat ini akhirnya hanya terjadi secara signifikan di Silungkang, Muara Kalaban, Padang Sibusuk dan Tanjung Ampalu.
Gelombang bantuan militer akhirnya mematahkan perlawanan.
Meskipun pemerintah kolonial telah melakukan beberapa penangkapan terhadap
tokoh PKI di banyak wilayah termasuk di Sumatera Barat, tetapi pemberontakan
ini tetap mengejutkan banyak pihak baik kelompok Islam maupun pemerintah
kolonial.
Surat kabar
yang menjadi corong Partai Sarekat Islam, yaitu Bendera Islam tanggal 13
Januari yang melaporkan peristiwa pemberontakan ini menulis, “Dengan tidak
didoega terlebih doeloe kaoem merah di Siloengkang, Soengai Lasih, Tandjoen
Ampaloe, Moera Kalaban, Moearo Sidjoeng-djoeng, Padang Siboesoek dan lain lain
tempat dalem bilangan afdeeling Tanah Datar soeda lakoekan pemberontakan
terhadaep pada pemerentah Olanda dengen maksoed teroetama sekali oentoek
lepasken sekalian orang orang hoekoeman di Sawah Loento dan Moeara Kalaban,
dengen pertoeloengan siapa kaoem merah bisa harep dapetken bantoehan boeat
boenoe mati pada bestuur, militair dan politie.”
Pada 12 januari 1300 orang ditangkap, kebanyakan berusia 17 – 25
tahun. Pada Februari jumlah yang ditangkap mencapai 4000 orang. Baru pada 28
Februari 1927 pemerintah kolonial benar-benar mengamankan situasi. Ribuan orang
yang ditahan menjadi disika. Peradilan massal digelar. Sebagian dijatuhi
hukuman mati. Salah satunya adalah Kamaruddin Alis Manggulung, Ketua Sarekat
Rakyat Silungkang. Pekik Takbir dan kalimat Tauhid menjadi kalimat terakhir
yang terucap dari bibirnya. Bagi kebanyakan rakyat Minangkabau, pemberontakan
tersebut adalah perlawanan terhadap penguasa kafir.
Sebelas tahun kemudian, 1 Januari 1938 Abdul Muluk
mengingat sebuah peristiwa yang tak dilupakannya. Ia akan berpisah dengan
Sulaiman Labai, salah satu pemimpin pemberontakan Silungkang. Sulaiman Labai
diusianya yang menginjak 60 tahun dan masih harus belasan tahun lagi menjalani
hukuman, meninggalkan wejangan kepada Abdul Muluk Nasution.
Sulaiman Labai berkata, “Pemberontakan kita terhadap
kolonial Belanda dengan segala akibat penderitaan kita ini bukanlah suatu
kesalahan bahkan pendapat dari hati nurani rakyat Belanda sendiri karena mereka
pun pernah berontak menentang kolonial Spanyol. Tetapi suatu kesalahan untuk
zelf korreksi bagi kita khususnya ummat Islam ialah, tanpa kita sadari karena
kebodohan kita telah diperalat oleh PKI karena kita terpecah-pecah menjadi
Sarikat Islam Putih dan Sarikat Islam Merah (Sarikat Rakyat).
“Demikian seri
tulisan tentang pemberontak kaum merah di Silungkang Sumatra barat ini sengaja
saya tampilkan di blog mari menengok sejarah ini, agar generasi sekarang yang disebut
generasi meillenial dapat membaca
bagaimana susahnya para pejuang kita berkorban nyawa dan raga untuk dapat
mengusir penjajah yang menindas bangsa. Semoga saja mereka yang dapat
kesempatan ikut dipemerintahan tidak meniru prilaku penjajah yang menindas bangsanya
sendiri demi keuntungan sendiri.
(Tamat)
Catatan:
1.
Sumber tulisan
https://www.kiblat.net/2016/10/03/pemberontakan-kaum-merah-di-silungkang
2.
Gambar
diambil dari google
Tidak ada komentar:
Posting Komentar