Minggu, 19 Januari 2020

Kisah Kaum Padri Tuanku Imam Bonjol, Ingin Damai tapi Dizalimi, Maka Perang Pecah kembali.


Sifat utama belanda sebagai penjajah adalah culas, namun kita tidak tahu apakah para pejuang dalam hal ini kaum paderi menyadari keculasan Belanda atau tidak. Ketika perang sedang berlansung dengan hebat dan pasukan Belanda terdesak dan kalah di berbagai front oleh kaum padri, di tanah Jawa terjadi pemberontakan Diponegoro.

Keberadaan Belanda sebagai penjajah benar-benar kritis. Di Sumatra sedang kewalahan menghadapi kaum Padri di Jawa dipastikan Belanda bisa terusir jika menghadapi pepeprangan pada dua front sekaligus. Dengan kelicikannya Belanda mengajak damai kau Padri. Entah sadar atau tidak kondisi pasukan Belanda saat itu, kaum padri menerima tawaran damai ini.

Dengan ada perdamaian denga kaum Padri ini Belanda bisa dengan tenang  menghadapi Pangeran Diponegoro di Pulau Jawa. Pasukan Belanda di Sumatra hampir seluruhnya ditarik ke pulau Jawa. Perang di Jawa melawan Pangeran Imam Bonjol berlansung selama 5 tahun. Dan selama 5 tahun itu rakyat Minangkabau menikmati kedamaian, tanpa memperhitungkan yang terjadi nantinya ketika Belanda selesai Perang  di Jawa. Meskipun Sebenarnya inilah adalah kesempatan untuk mengusir Belanda dari daerah Minangkabau.

Benar saja, setelah Pangeran Diponegoro dikalahkan tahun 1830,  Belanda kembali memfokuskan perhatiannya untuk menaklukan kaum padri.  Pasukannya di Pulau Jawa ditarik ke Sumatra untuk mengalahkan kaum Padri yang sudah istirahat berperang selama 5 tahun.  Secara beransur beberapa daerah mulai didudukinya. 

Pada tahun tahun 1832 Kolonel Elout mengultimatum  Tuanku Imam Bonjol untuk menyerahkan kekuasaannya kepada Belanda. Maka Tuanku Imam mengumpulkan seluruh penduduk Alahan Panjang, Pekan Sinayan dan para hulubalang serta para cerdik pandai. Setelah perundingan dan debat seru yang tidak berkesudahan Tuanku Imam menyimpulkan bahwa rakyat tidak ingin lagi berperang. Tuanku Imam Bonjol menyerahkan kekuasaan ke pada Belanda.

Sungguh beruntung Belanda mendapatkan daerah Minangkabau dengan mudah tanpa peperangan. Penuh kemenangan mereka datang ke Bonjol. Namun jangan kan berterimakasih malah mereka menduduki   rumah tengku Imam. Di depan colonel Elout Tunku Imam menyerahkan kepemimpinan Bonjol secara simbolis kepada Tuanku Mudo. Dan Tuanku Mudo segera diangkat oleh Belanda sebagai regen Alahan Panjang. Dengan kejadian ini maka gerakan Padri di Bonjol sudah berakhir. Maka berakhirlah perang padre secara resmi.

Apakah dengan berakhirnya gerakan Padri ini rakyat menikmati kedamaian. Rupanya jauh panggang dari api. Belanda menduduki seluruh daerah Minangkabau dan mendailing. Banyak peristiwa yang dialami penduduk yang dilakukan serdadu Belanda di luar batas kemanusiaan. Mesjid-mesjid mereka ambil alih dan mereka jadikan sebagai tangsi serdadu. Rumah Tuanku Imam Bojol ditempati oleh komandan Pasukan sehingga ia terpaksa menumpang di rumah Tuanku Saba. Dan yang paling menggemparkan ketika Darusassalam ditembak serdadu belanda, karena ia minta izin berhenti dan melakukan sembahyang. Tindakan |belanda tersebut telah melampaui batas dan zalim. Mereka memaksa pendudduk bekerja tanpa upah dan mengambil ternak dan ikan di kolam penduduk tanpa izin.

Kekejaman Beanda itu secara berantai disampaikan Tuanku Imam Bonjol ke seluruh nagari Minangkabau. Dan Tuaku Imam mengumpulkan para pemimpin untuk berkumpul di Bukit Tandikek yang hanya berjarak 450 meter dari pos Belanda. Dari pertemuan itu disepakati untuk melakukan serangan serentak terhadap setiap pos Belanda.

Maka mulai hari Jumat, bulan Rajab bertepatan dengan 11 Januari 1833 meletuslah lagi perang Padri. Hulubalang Bonjol dipimpin oleh Tuanku Garang, Rajo Layang dan  sebelas pengikutnya, masuk kedalam mesjid Bonjol dan membunuh semua serdadu Belanda yang ada di sana. Perlawanan makin menyatu dan menghebat di seluruh Minangkabau. Pada hari itu semua pos dan pesanggrahan Belanda di Bonjol, Lubuk Sikaping, Sundatar, Luntar, Rao, Air Bangis, Sasak, Lubuk Alau, Tarantang Tunggang, Bukittinggi, Tanjung Alam, Tanah Datar, Biaro, Guguk Sigandang di serang dan direbut oleh penduduk. Dan bumi Minangkabau kembali bergolak dalam perang suci akibat perlakuan buruk serdadu Belanda kepada rakyat Minangkabau. Perdamaian dengan Belanda, keamanan harta dan jiwa mereka tidak mendapat perlindungan.


 Perang ini berlansung cukup lama memakan korban yang tidak sedikit di kedua belah pihak. Bekas pasukan Pangeran Diponegoro yang dikirim ke Minangkabau untuk mematahkan perlawanan kaum Padri banyak yang membelot. Perang berlansung selama 6 tahun lebih lama dari yang dibutuhkan belanda untuk mengalahkan pemberontakan Diponegoro yang hanya 5 tahun. Perang baru berakhir tahun 1838 dengan dikalahkannya Tuanku Tambusai di Pasir pengaraian Riau. Itulah Belanda yang culas, karena keangkuhannya terpaksa berperang 6 tahun lagi dengan biaya dan korban serdadu yang tidak sedikit.

 Catatan;
1.    Sumber tulisan, Syafnir Abu Nain, Tuanku Imam Bonjol: sejarah intelektual di Minangkabau, Padang: Esa, 1988.
2.    Gambar diambil dari google