Jumat, 30 Oktober 2020

Sukarno Menembus Hutan Bukit Barisan

 Ketika Belanda takluk kepada Jepang pada perang dunia ke 2, Sukarno sedang dalam pembuangannya di Bengkulu. Ketika Indonesia sudah di kuasai Jepang Belanda takut kalau sang tokoh akan dimanfaatkan Pemerintah Jepang. Oleh karena itu Belanda bermaksud mengunsikannya ke suatu daerah kemungkinan Australia tapi yang pertama di bawa ke Padang terlebih dahulu.  Namun karena kondisi pada saat itu maka perjalanan yang ditempuh Sukarno dan keluarga bukanlah perjalanan yang ringan untuk sampai ke Padang



Setelah memberitahu Inggit Garnasih istrinya, Sukarno berkeliling kota Padang untuk mencari Woworuntu. Kepada rekannya itu Sukarno hendak mencari bantuan tempat tinggal. Meski tak mudah, Sukarno akhirnya menemukan tempat tinggal Woworuntu dan segera mengetuk pintu rumahnya.



Tuan rumah kaget begitu mendapati tamunya adalah Ir. Sukarno, kawan yang saat itu menjadi tokoh perjuangan kemerdekaan paling populer. “Dia memelukku. ‘Sukarno, saudaraku’,” kata Woworuntu berteriak sambil berlinang air mata saat menyambut tamunya, dikutip dalam otobiografi yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.



Pertemuan dua kawan yang lama tak jumpa itu begitu hangat. Tanpa disangka Sukarno, Woworuntu menawarkan apa yang diinginkan Sukarno. “Bawalah keluarga Bung Karno ke sini...bawalah ke sini dan anggaplah ini rumah Bung Karno sendiri,” kata Woworuntu yang berharap akan mendapat teman di rumahnya karena anak-istrinya telah dia ungsikan akibat suasana kota tak kondusif menyusul kedatangan tentara Jepang. Keluarga Sukarno pun tinggal di rumah Woworuntu dan menempati kamar Woworuntu. Tuan rumah sendiri pindah ke kamar lain.



480p low geselecteerd als afspeelkwaliteit720p geselecteerd als afspeelkwaliteit

Pertemuan membahagiakan Sukarno dengan Woworuntu itu menjadi bayaran atas kepedihan Sukarno sekeluarga selama empat hari menjalani perjalanan sulit dari Bengkulu menuju Padang. Pemindahan tempat pembuangan Sukarno dari Bengkulu dilakukan pemerintah Hindia Belanda karena tak ingin tokoh perjuangan paling populer itu bekerjasama dengan Jepang yang sudah mulai masuk ke Sumatera.


Dalam perjalanan itu Sukarno beserta Inggit, Sukarti anak angkatnya, dan Riwu pembantu setianya mesti melakukan perjalanan jauh menembus belantara Bukit Barisan dengan hanya membawa sedikit perbekalan. Mereka dibawa menuju Padang menjelang tengah malam 22 Februari 1942. Hanya empat polisi yang mengiringi perjalanan mereka. Mereka menyisir pantai barat Sumatra lewat Mukomuko. Ada 13 sungai yang mereka seberangi menggunakan rakit atau perahu milik penduduk sebelum mencapai Mukomuko.

Begitu sampai di Mukomuko sore keesokan harinya, mereka amat kelelahan. “Di Desa Mukomuko mereka ditimbangterimakan kepada polisi dari Karesidenan Sumatera Barat,” kata Hasjim Ning, keponakan Bung Hatta yang menjadi sahabat Sukarno, dalam otobiografinya Pasang Surut Pengusaha Pejuang.

Setelah beristirahat di sebuah rumah, perjalanan dilanjutkan pukul tiga dini hari. Perjalanan kali ini lebih berat bukan hanya karena polisi yang mengawal mereka dari Bengkulu telah diganti oleh polisi-polisi kaku dari Mukomuko, namun mobil pengangkut Sukarno sekeluarga telah dibawa kembali oleh polisi Bengkulu. “Maka rombongan Bung Karno berangkat ke arah Padang dengan menggunakan pedati yang ditarik sapi dari Muko-muko lewat Lunang dan Silaut, terus ke Painan,” sambung Hasjim yang mendengar kisahnya dari Ibu Inggit.


Gerobak-sapi itu hanya diperuntukkan mengangkut beras dan logistik selama perjalanan. Hanya Sukarti yang diizinkan naik gerobak itu jika kelelahan. Praktis, semua mesti berjalan kaki menembus belantara untuk mencapai Padang yang berjarak sekira 300 kilometer.


Meski kaget dan awalnya enggan meneruskan perjalanan, Inggit akhirnya terpaksa ikut. Akibat menyusuri hutan lebat dengan vegetasi rapat, kakinya sampai bengkak. Karena itulah ia terkadang menumpang gerobak logistik. Perjalanan berat itu akhirnya berakhir sementara menjelang magrib ketika mereka mencapai sebuah gubuk panggung kosong di tengah persawahan. Di sanalah mereka istirahat untuk menunggu pagi.
“Kalaupun disuruh berjalan terus, tak seorang pun di antara kami yang masih sanggup berjalan. kami terlalu lelah. Dan kaki bengkak-bengkak oleh gigitan serangga. Sukarti tidak memakai topi, badannya terbakar oleh terik matahari,” kata Sukarno.

Meski gubuk kosong itu kondisinya tak bagus, ia seakan surga bagi para anggota rombongan. Sebuah tikar yang ada langsung ditiduri Sukarno. Mereka akhirnya bisa istirahat meski kondisi sekitar yang menyeramkan. “Seekor ular menjalar melalui kaki. Cicak berkeliaran di atas atap. Bunyi binatang buas di malam hari di sekeliling tempat kami membikin badan jadi dingin. Tetangga kami adalah harimau, beruang, kucing hutan, rusa, babi hutan, dan monyet tak terhitung banyaknya,” kenang Sukarno.



Teriakan monyet yang tak henti-henti membuat Sukarti ketakutan ketika bangun tengah malam. Baru setelah ditenangkan oleh sang ayah bahwa mereka dijaga 24 jam full oleh polisi-polisi bersenjata, Sukarti bisa tenang dan kembali tidur.

Setelah bangun dan sholat serta sarapan, sereka kembali melanjutkan perjalanan di saat hari masih gelap. Itu dilakukan agar mereka bisa mencapai jarak sejauh mungkin ketika magrib tiba dan istirahat. Menjelang tengah hari bukan main senangnya mereka ketika mendapati sebuah sungai berair jernih. Tanpa melepas pakain, mereka langsung menceburkan diri ke sungai itu. Mereka lalu istirahat di sebuah gubuk yang mereka temukan tak jauh dari sungai.

Banyaknya jejak harimau yang mereka lihat selama perjalanan tak begitu menakutkan karena langit terang. Namun tidak demikian ketika seekor siamang besar mendekati mereka. “Akan tetapi kami tidak diapa-apakan, hanya jantung kami yang memukul-mukul dada dengan keras,” sambung Sukarno.

Dengan bekal ikan tangkapan dari sungai tadi, mereka lalu menjadikannya lauk. Nasi dan sayur mereka masak dari beras dan sayuran yang dibawa. Mereka pun makan siang. Perjalanan lalu mereka lanjutkan. Namun, di hari ketiga itu mereka semua telah kelelahan. Inggit bahkan sampai makan sambil berdiri akibat lelahnya dan khawatir jika duduk dia tak bisa kembali berdiri. Seorang polisi yang mengawal bahkan putus asa.


“Di samping matahari yang membakar, haus, kehabisan tenaga dan gangguan binatang, para pengiring kami harus pula mengawal kami. Sekalipun kami adalah orang tawanan dan orang yang menawan, kami semua sama merasakan pahit-getirnya perjalanan,” kata Sukarno. Maka sambil berjalan, Sukarno mencoba mengajak ngobrol polisi pengawal untuk menaikkan kembali semangatnya dan memecah kebisuan perjalanan. “Saya berterimakasih kepada saudara-saudara, karena sudah memperlihatkan daerah pedalaman ini kepada saya,” kata Sukarno.

Perkataan Sukarno langsung disambut seorang polisi dengan pertanyaan. Obrolan pun terjadi. Cerita-cerita yang dikeluarkan Sukarno menjadi hiburan bagi para polisi pengawal. Perjalanan kembali bergairah hingga ketika mereka beristirahat di satu tempat untuk menikmati air kelapa yang diambil oleh Riwu dari pohon yang ada.



Perjalanan mereka tak seberat sebelumnya. Di hari keempat, mereka sudah keluar dari hutan dan masuk ke wilayah Mingangkabau. Dengan menumpang bus, mereka lalu mencapai Padang malam itu juga dan diinapkan di sebuah hotel sebelum akhirnya Sukarno sekeluarga menumpang di rumah Woworuntu.

Catatan:

1. Sumber tulisan https://historia.id/histeria/articles/sukarno-menembus-hutan-bukit-barisan-DWqmR/page/1

2. Gambar diambil dari google.

 



Jumat, 23 Oktober 2020

DN Aidid, Sukses Membangkit PKI yang Telah Cerai Berai, Mengatarkan ke Puncak Kejayaan Kemudian Hancur Kembali

PKI, Partai Komunis Indonesia banyak orang yang alergi mendengar nama partai ini karena sudah beberapa kali memberontak dan katanya partai orang-orang yang tidak percaya dengan tuhan. Namun kalau kita menyimak sejarah kita harus jujur betapa partai ini sudah hancur lebur namun bisa bangkit dan Berjaya kembali. Pada zaman penjajahan tahun 1926 mereka berontak dan gagal, pemerintah Belanda menindasnya dengan bengis dan kejam. 


Dalam tenggang tidak sampai 20 tahun, ketika Republik Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, PKI sudah sudah bangkit kembali dari kehancuran. Pada perjuangan kemerdekaan mengusir Belanda seorang tokoh PKI sempat menduduki jabatan tertinggi di Republik ini sebagai perdana mentri, Amir Syarudin. Namun kemudian kembali PKI menemui nasib sialnya, ketika pemerintah RI sedang berjuang melawan Belanda mereka berontak, pemberontakan Madiun. Untuk kedua kalinya mereka dihancur leburkan.





Tamatkah riwayatnya? Tidak. Mereka kembali menyusun kekuatan pada pemilu 1955 mereka berhasil tampil sebagai partai besar di Indonesia penang pemilu nomor 4. Dan sekali lagi partai ini menapak puncak kejayaannya. Banyak tokoh partai yang menjadi pejabat penting dan menjadi orang dekat presiden, presiden Sukarno.

Siapakah tokoh PKI yang berhasil membangun partai yang telah hancur lebur itu. Kali ini sang pemimpin adalah DN Aidid. Seperti di lansir oleh Tirto. Id D.N. Aidit adalah salah satu pentolan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pernah membawa partai berhaluan kiri ini berjaya di kancah perpolitikan nasional.Di Tanjung Pandan, Belitung, tanggal 30 Juli 1923, Dipa Nusantara Aidit lahir dengan nama Achmad Aidit dari pasangan Abdullah bin Ismail dan Ayu Mailan. Keluarga Aidit, yang datang dari Sumatera Barat di masa lalu, termasuk kalangan terpandang di Belitung kala itu.

 Dua kakek Aidit bergelar haji. Haji Ismail, kakek dari garis ayah, adalah pengusaha yang menuai sukses di bidang perikanan dan kaya-raya. Sedangkan kakek dari jalur ibu, Ki Agus Haji Abdul Rahman, masih keturunan bangsawan dan dikenal sebagai tuan tanah. “Kakek kami dulu mempunyai pekarangan seluas 2.000 meter persegi,” kenang Murad Aidit, adik kandung Achmad, dalam buku Aidit Sang Legenda (2005). Abdullah, ayah Achmad, merupakan tokoh agama, pendiri organisasi Nurul Islam, salah satu pelopor pendidikan Islam di Belitung, juga seorang mantri kehutanan. Bersama gerakan pemuda yang dipimpinnya, Abdullah pernah menentang pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Ia juga mendirikan beberapa sekolah untuk masyarakat di bawah naungan Nurul Islam.



Perjalanan waktu membawa Achmad Aidit dari Belitung ke Jakarta. Pada 1940, ia mendirikan perpustakaan “Antara” di Senen. Dalam "Seri Buku Tempo" bertajuk Aidit, Dua Wajah Dipa Nusantara (2010) disebutkan, Achmad mengganti nama menjadi Dipa Nusantara dan disetujui oleh ayahnya. Semasa di Jakarta, Aidit mulai mempelajari paham Marxisme yang saat itu belum termasuk ajaran terlarang di tanah air. Relasi Aidit semakin luas karena perkenalannya dengan tokoh-tokoh terkemuka termasuk Mohammad Yamin, juga Sukarno dan Mohammad Hatta yang nantinya menjadi para pemimpin RI.

 D.N. Aidit menapaki karier politik di asrama mahasiswa Menteng 31 yang identik sebagai markas aktivis pemuda “radikal” kala itu. Ia berproses bersama kaum muda revolusioner seperti Adam Malik, Chaerul Saleh, Sukarni, Wikana, Subadio Sastrotomo dan lainnya. Disebutkan pula bahwa Aidit turut terlibat dalam Peristiwa Rengasdengklok menjelang kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Namun, Aidit juga terlibat dalam perlawanan PKI di Madiun tahun 1948.

 Setelah itu, Aidit sempat menghilang -ada yang menyebut ia berada di Vietnam bagian utara- sebelum muncul lagi menjelang Pemilu 1955. Aidit dengan cepat mengambil-alih kendali PKI dari golongan pemimpin tua macam Alimin dan Tan Ling Djie.

PKI meraup banyak suara di Pemilu 1955 bahkan masuk dalam jajaran 4 partai politik terbesar di Indonesia kala itu. PKI yang mengklaim punya anggota hingga 3,5 juta orang kala itu juga menjadi partai komunis ketiga terbesar di dunia setelah Uni Soviet dan Cina.

Entah karena sudah merasa kuat atau sudah waktunya   terjadilah peristiwa berdarah yang dikenal sebagai Gerakan 30 September (G30S) 1965 yang menyebabkan kematian beberapa perwira tinggi TNI-AD dan menyudutkan PKI sebagai salah satu unsur utama upaya kudeta. Para pemimpin PKI mulai diburu, termasuk D.N. Aidit.

 Dalam Kronik 65: Catatan Hari per Hari G30S Sebelum Hingga Setelahnya 1963-1971 (2017) yang disusun Kuncoro Hadi dan kawan-kawan diungkapkan, pada 2 Oktober 1965 dini hari, Aidit terbang dari Jakarta menuju Yogyakarta dengan pesawat Dakota T-443 setelah sebelumnya lolos dari sergapan tentara. Sesaat usai mendarat di Yogyakarta, Aidit langsung menuju Semarang untuk menggelar rapat dengan beberapa pemimpin PKI lainnya. Rapat ini menghasilkan pernyataan bahwa G30S adalah masalah internal AD dan PKI tidak ada sangkut pautnya dengan gerakan ini.



 Selama beberapa hari kemudian, Aidit berkeliling Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk mencegah perpecahan internal PKI namun gagal. “PKI pun terbelah dalam sayap radikal dan sayap moderat yang menjerumuskannya dalam kekacauan,” tulis Peter Kasenda dalam Kematian D.N. Aidit dan Kehancuran PKI (2016).

 Kubu Aidit termasuk kelompok moderat yang ingin menyelamatkan PKI dari ancaman pemberangusan lantaran blunder yang terlanjur terjadi. Di sisi lain, ada kubu radikal yang dimotori oleh Utomo Ramelan dan kawan-kawan yang memilih terus melakukan perlawanan. Para pemimpin PKI terus menjadi sasaran buruan, termasuk D.N. Aidit. Sampai akhirnya, dalam suatu operasi militer pada pertengahan November 1965, Aidit tertangkap di Surakarta. Tanggal 22 November 1965, D.N. Aidit seharusnya dibawa ke Semarang, ke markas Kodam Diponegoro. Hanya saja, raganya tidak pernah tiba di Semarang. Di Boyolali, pemimpin PKI ini dieksekusi mati tanpa pernah sempat diadili. Hingga kini, di mana tepatnya kuburan maupun jasad D.N. Aidit belum ditemukan secara pasti


.Dengan peristiwa G30 S PKI ini kembali partai komunis itu dihancur leburkan, Ribuan anggotanya ditangkap dan dibunuh. Malah kali ini pemabasmiannya tidak tanggung-tanggung betul-betul dibasmi sampai ke akar-akarnya. Harapan bangkit kembali rasanya sangat tipis. Di samping situasi global bangkrutnya komunis di mana-mana. Namun di tanah air sudah mulai timbul kekahawatiran sebagian orang bahwa partai komunis sudah menunjukkan gejala sudah mulai bangkit kembali.

Catatan:

1.     Sumber tulisan https://tirto.id/dn-aidit-membawa-pki-jaya-sekaligus-memungkasi-sejarahnya-f5tK.

2.     Gambar diambil dari google

 

 


Jumat, 09 Oktober 2020

Cornelis De Houtman Sukses Menemukan Tanah Jajahan, Tewas Di Tangan Seorang Wanita

Masih ingat pelajaran sejarah di Sd entah kelas berapa kemungkinan kelas 4, guru mengatatan orang beland pertama mendarat di Indonesia adalah Cornelis De Hotman. Dia inilah cikal bakal nantinya menjadikan negeri kita sebagai tanah jajahan. Kita dijajah 350 tahun itu dihitung mulai dari kedatangan De Hotman ini. Tapi ketika itu guru sejarah itu tidak menjelaskan nasib akhir dari pelaut itu yang tewas dalam duel satu lawan satu dengan seorang laksamana kerajaan Aceh Malahayati.

  


Dilansir oleh Babe.com yang mengutip artikel dari Tirto.id  Cornelis De Houtman diperintahkan pemerintah Belanda untuk mencari informasi sebanyak mungkin soal rempah-rempah dan daerah penghasilnya. de Houtman mendapatkan informasi bahwa jika ingin mendapatkan rempah-rempah, maka Banten adalah tempat yang paling tepat.

Tanggal 2 April 1595, Cornelis memimpin sebuah armada yang terdiri dari kapal Amsterdam, Duyfken, Hollandia, dan Mauritius. Tujuannya armada ini jelas, menemukan Banten sebagai sumber rempah-rempah.

Bukanlah perjalanan mudah untuk menemukan Banten. Diatas kapal, banyak awak kapal yang terbunuh karena pertengkaran kapten dan pedagang. Banyak juga yang terserang penyakit sariawan akibat kurangnya makanan diatas kapal.

27 Juni 1596, Cornelis akhirnya berhasil tiba di Banten. Walau pada awalnya penerimaan penduduk ramah, namun segera berubah karena tabiat kasar kru kapalnya.

Cornelis sempat berlayar ke Bali, dan memperoleh sejumlah rempah-rempah. Dari sekian banyak orang yang ikut di pelayaran awal, hanya 87 orang yang selamat dan kembali ke Belanda.

Sukses dengan perjalanan pertamanya, Cornelis kembali berlayar ke Nusantara. Dalam perjalanan kedua ini, de Houtman kembali berjelajah mulai Banten, Bali, hingga Aceh.

Perangai buruk pelaut Belanda yang tidak bersahabat tak disenangi Aceh. Sempat terjadi perang, dan sang adik, Frederick de Houtman ditawan pasukan Aceh.



Waktu itu, pasukan Aceh dipimpin oleh Laksamana Malahayati, laksamana wanita pertama di dunia. Pada 11 September 1599, terjadi duel antara Cornelis dan Laksamana Malahayati. Cornelis tewas dalam pertarungan satu lawan satu tersebut.

Demikianlah akhir dari Cornelis de Houtman sang penemu Nusantara. Perjalanan Cornelis yang telah menyeberani separuh dunia berakhir di tangan Laksamana Malahayati.

 

Catatan:

  1. -Sumber tulisan https://babe.topbuzz.com/a/6881543179921785346?af_
  2. -Gambar diambil dari google.

 

 


Rabu, 07 Oktober 2020

Mengenal Lebih Dekat Mohammad Yamin Seorang Politikus dan Juga Sastrawan

Dengan minimnya pelajaran sejarah di sekolah, banyak generasi milinial yang sudah tak kenal lagi pahlawan-pahlawan yang berjasa memperjuangkan kemerdekaan Indonesia  dari penjajah Belanda. Oleh karena itu kita akan mengangkat kisah hidup tokoh-tokoh pejuang yang hampir dilupakan itu. Salah satunya adalah Mohammad Yamin seorang pelitkus, sejarahwan dan juga seorang sastrawan

 Mohammad Yamin dilahirkan di TalawiSawahlunto pada 23 Agustus 1903. Ia merupakan putra dari pasangan Usman Baginda Khatib dan Siti Saadah yang masing-masing berasal dari Sawahlunto dan Padang Panjang. Ayahnya memiliki enam belas anak dari lima istri, yang hampir keseluruhannya kelak menjadi intelektual yang berpengaruh. Saudara-saudara Yamin antara lain: Muhammad Yaman, seorang pendidik; Djamaluddin Adinegoro, seorang wartawan terkemuka; dan Ramana Usman, pelopor korps diplomatik Indonesia. Selain itu sepupunya, Mohammad Amir, juga merupakan tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia.


Yamin mendapatkan pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Palembang, kemudian melanjutkannya ke Algemeene Middelbare School (AMS) Yogyakarta. Di AMS Yogyakarta, ia mulai mempelajari sejarah purbakala dan berbagai bahasa seperti YunaniLatin, dan Kaei. Namun setelah tamat, niat untuk melanjutkan pendidikan ke LeidenBelanda harus diurungnya dikarenakan ayahnya meninggal dunia. Ia kemudian menjalani kuliah di Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta, yang kelak menjadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia), dan berhasil memperoleh gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum) pada tahun 1932.

 


Mohammad Yamin memulai karier sebagai seorang penulis pada dekade 1920-an semasa dunia sastra Indonesia mengalami perkembangan. Karya-karya pertamanya ditulis menggunakan bahasa Melayu dalam jurnal Jong Sumatra, sebuah jurnal berbahasa Belanda pada tahun 1920. Karya-karya terawalnya masih terikat kepada bentuk-bentuk bahasa Melayu Klasik.

Pada tahun 1922, Yamin muncul untuk pertama kali sebagai penyair dengan puisinya, Tanah Air; yang dimaksud tanah airnya yaitu Minangkabau di SumatraTanah Air merupakan himpunan puisi modern Melayu pertama yang pernah diterbitkan.



Himpunan Yamin yang kedua, Tumpah Darahku, muncul pada 28 Oktober 1928. Karya ini sangat penting dari segi sejarah, karena pada waktu itulah Yamin dan beberapa orang pejuang kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia yang tunggal. Dramanya, Ken Arok dan Ken Dedes yang berdasarkan sejarah Jawa, muncul juga pada tahun yang sama.

Dalam puisinya, Yamin banyak menggunakan bentuk soneta yang dipinjamnya dari literatur Belanda. Walaupun Yamin melakukan banyak eksperimen bahasa dalam puisi-puisinya, ia masih lebih menepati norma-norma klasik Bahasa Melayu, berbanding dengan generasi-generasi penulis yang lebih muda. Ia juga menerbitkan banyak dramaesei, novel sejarah, dan puisi. Ia juga menterjemahkan karya-karya William Shakespeare (drama Julius Caesar) dan Rabindranath Tagore.



Karier politik Yamin dimulai ketika ia masih menjadi mahasiswa di Jakarta. Ketika itu ia bergabung dalam organisasi Jong Sumatranen Bond[3] dan menyusun ikrah Sumpah Pemuda yang dibacakan pada Kongres Pemuda II. Dalam ikrar tersebut, ia menetapkan Bahasa Indonesia, yang berasal dari Bahasa Melayu, sebagai bahasa nasional Indonesia. Melalui organisasi Indonesia Muda, Yamin mendesak supaya Bahasa Indonesia dijadikan sebagai alat persatuan. Kemudian setelah kemerdekaan, Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi serta bahasa utama dalam kesusasteraan Indonesia.

Pada tahun 1932, Yamin memperoleh gelar sarjana hukum. Ia kemudian bekerja dalam bidang hukum di Jakarta hingga tahun 1942. Pada tahun yang sama, Yamin tercatat sebagai anggota Partindo. Setelah Partindo bubar, bersama Adenan Kapau Gani dan Amir Sjarifoeddin, ia mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Tahun 1939, ia terpilih sebagai anggota Volksraad.



Semasa pendudukan Jepang (1942-1945), Yamin bertugas pada Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA), sebuah organisasi nasionalis yang disokong oleh pemerintah Jepang. Pada tahun 1945, ia terpilih sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam sidang BPUPKI, Yamin banyak memainkan peran. Ia berpendapat agar hak asasi manusia dimasukkan ke dalam konstitusi negara.[4] Ia juga mengusulkan agar wilayah Indonesia pasca-kemerdekaan, mencakup SarawakSabahSemenanjung MalayaTimor Portugis, serta semua wilayah Hindia BelandaSoekarno yang juga merupakan anggota BPUPKI menyokong ide Yamin tersebut. Setelah kemerdekaan, Soekarno menjadi Presiden Republik Indonesia yang pertama, dan Yamin dilantik untuk jabatan-jabatan yang penting dalam pemerintahannya.



Setelah kemerdekaan, jabatan-jabatan yang pernah dipangku Yamin antara lain anggota DPR sejak tahun 1950, Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (1953–1955), Ketua Dewan Perancangan Nasional; dibantu 3 Wakil Ketua, yaitu Ukar BratakusumahSoekardi & Sakirman melalui UU No. 80 tahun 1958[5] (1958–1963), Menteri Sosial dan Kebudayaan (1959–1960), Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961–1962) dan Menteri Penerangan (1962–1963).



Pada saat menjabat sebagai Menteri Kehakiman, Yamin membebaskan tahanan politik yang dipenjara tanpa proses pengadilan. Tanpa grasi dan remisi, ia mengeluarkan 950 orang tahanan yang dicap komunis atau sosialis. Atas kebijakannya itu, ia dikritik oleh banyak anggota DPR. Namun Yamin berani bertanggung jawab atas tindakannya tersebut. Kemudian disaat menjabat Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Yamin banyak mendorong pendirian univesitas-universitas negeri dan swasta di seluruh Indonesia. Di antara perguruan tinggi yang ia dirikan adalah Universitas Andalas di PadangSumatra Barat.



Karya-karaya 

·         Tanah Air (puisi), 1922

·         Indonesia, Tumpah Darahku, 1928

·         Kalau Dewa Tara Sudah Berkata (drama), 1932

·         Ken Arok dan Ken Dedes (drama), 1934

·         Sedjarah Peperangan Dipanegara, 1945

·         Tan Malaka, 1945

·         Gadjah Mada (novel), 1948

·         Sapta Dharma, 1950

·         Revolusi Amerika, 1951

·         Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, 1951

·         Bumi Siliwangi (Soneta), 1954

·         Kebudayaan Asia-Afrika, 1955

·         Konstitusi Indonesia dalam Gelanggang Demokrasi, 1956

·         6000 Tahun Sang Merah Putih, 1958

·         Naskah Persiapan Undang-undang Dasar, 1960, 3 jilid

Ketatanegaraan Madjapahit, 

Catatan:

1. Naskah dikutip dari https://id.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Yamin

2. Gambar diambil dari google