Kamis, 24 Juni 2021

Mengenal Lebih Dekat Pahlawan Tuanku Tambusai


Pasti mendengan nama Tuanku Tambusai kita sudah tak asing lagi. Apalagi bagi mereka yang tinggal disekitar Pekanbaru. Ada jalan Tuanku Tambusai di pusat kota.  Di Bangkinang ada Stadion Tambusai. Demikian juga ada Universitas Tuangku Tambusai. Namun siapakah Tuanku Tambusai itu? Sudahkah generasi millineal mengenalnya? Untuk itulah saya kutip biografi singkatnya lansung dari MERDEKA. COM.



Tuanku Tambusai adalah salah seorang tokoh ulama, pemimpin dan pejuang yang juga merupakan salah seorang tokoh Paderi terkemuka. Bersama ketujuh tulama lainnya, Tuanku Tambusai merupakan salah satu anggota Harimau Nan Salapan, sebutan bagi pimpinan beberapa perguruan yang kemudian menjadi pemimpin dari Kaum Paderi. Tuanku Tambusai lahir dengan nama Muhammad Saleh di Dalu-dalu, nagari Tambusai, Rokan Hulu, Riau pada tanggal 5 November 1784. Tuanku Tambusai merupakan anak dari pasangan perantau Minang, Tuanku Imam Maulana Kali dengan istrinya, Munah. Ayahnya berasal dari nagari Rambah dan merupakan seorang guru agama Islam. Oleh Raja Tambusai, ayahnya diangkat menjadi imam dan kemudian menikah dengan perempuan setempat. Sedangkan ibu Tuanku Tambusai berasal dari nagari Tambusai yang bersuku Kandang Kopuh. Sesuai dengan tradisi Minang yang matrilineal, suku ini diturunkannya kepada Tuanku Tambusai. Sejak kecil, Tuanku Tambusai telah diajarkan ayahnya ilmu bela diri, termasuk ketangkasan menunggang kuda, dan tata cara bernegara. Untuk lebih memdalami ilmu agamanya, Tuanku Tambusai memutuskan untuk pergi menuntut ilmu ke Bonjol (sekarang Sumatera Barat) kemudian pindah lagi ke Rao. Di sana dia berguru pada beberapa ulama dan berkenalan dengan tokoh paderi lainnya seperti Tuanku Imam Bonjol.

Beberapa tahun kemudian, Tuanku Tambusai mendapatkan tugas untuk menyebarkan agama Islam ke daerah yang paling rawan waktu itu, yaitu Toba (sekarang Sumatera Utara) yang sebagian besar penduduknya menganut kepercayaan pelbegu. Ketika berdakwah di daerah itu, Tuanku Tambusai difitnah ingin merombak adat nenek moyang orang Batak. Hal ini menyebabkan nyawa Tuanku Tambusai terancam. Merasa Toba sudah tak aman baginya, ia pun memutuskan kembali ke Rao (sekarang Sumatera Barat). Di sana dia menyiarkan agama Islam bersama Tuanku Rao ke berbagai pelosok seperti Airbangis dan Padanglawas.



Pada tahun 1832, Tuanku Tambusai dipercaya untuk memegang komando dalam Perang Padri. Perjuangannya dimulai di daerah Rokan Hulu dan sekitarnya dengan pusat di Benteng Dalu-dalu. Tuanku Tambusai kemudian melanjutkan perlawanan ke wilayah Natal pada tahun 1823. Tahun 1824, Tuanku Tambusai memimpin pasukan gabungan Dalu-dalu, Lubuksikaping, Padanglawas, Angkola, Mandailing, dan Natal untuk melawan Belanda. Selama masa perang, Tuanku Tambusai sempat menunaikan ibadah haji sekaligus melaksanakan permintaan Tuanku Imam Bonjol untuk mempelajari perkembangan Islam di Tanah Arab.



Dalam kurun waktu 15 tahun, Tuanku Tambusai cukup merepotkan pasukan Belanda, sehingga sering meminta bantuan pasukan dari Batavia. Berkat kecerdikannya, benteng Belanda Fort Amerongen dapat dihancurkan. Bonjol yang telah jatuh ke tangan Belanda dapat direbut kembali walaupun tidak bertahan lama. Tuanku Tambusai tidak saja menghadapi Belanda, tetapi juga sekaligus pasukan Raja Gedombang (regent Mandailing) dan Tumenggung Kartoredjo, yang berpihak kepada Belanda. Oleh Belanda Tuanku Tambusai digelari “De Padrische Tijger van Rokan” (Harimau Paderi dari Rokan) karena amat sulit dikalahkan, tidak pernah menyerah, dan tidak mau berdamai dengan Belanda. Keteguhan sikapnya diperlihatkan dengan menolak ajakan Kolonel Elout untuk berdamai. Pada tanggal 28 Desember 1838, benteng Dalu-dalu jatuh ke tangan Belanda namun Tuanku Tambusai berhasil meloloskan diri dari kepungan Belanda dan para sekutu-sekutunya dengan melarikan diri melalui pintu rahasia.

Jejak Tuanku Tambusai ditemukan di sungai Rokan. Di sungai tersebut ditemukan sampan kecil milik Tuanku Tambusai bersamaan dengan barang-barang miliknya seperti cincin stempel, Al-Quran, serta beberapa buah buku yang dibawanya dari Mekkah. Di usianya yang telah cukup renta, 98 tahun, ia kemudian mengungsi ke Seremban, Malaysia. Tuanku Tambusai meninggal dunia pada 12 November 1882 di Negeri Sembilan, Malaysia. Atas jasa-jasanya pada negara, Tuanku Tambusai Memimpin paderi, 1832 Tuanku Tambusai dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 071/TK/Tahun 1995, tanggal 7 Agustus 1995.

Catatan :

1.      Naskah dikutip lansung dari https://www.merdeka.com/tuanku-tambusai/profil/

2.      Gambar diambil dari google