Jumat, 20 September 2019

Gubernur Suryo Gubernur yang Berani Menantang Ultimatum Inggris Sehingga Meletus Perang Surabaya 10 November

Tewas Menggemaskan Dibunuh Gerombolan Pemberontak Komunis

 

Setiap tahun pada tanggal 10 November kita memperingati hari pahlawan. Yang merupakan pertempuran sengit bangsa Indonesia melawan Inggris pemenang perang dunia ke 2. Perang ini merupakan rentetan perang Surabaya phase pertama yang meluluh lantakkan dan hampir memusnahkan seluruh tentara Inggris di Surabaya saat itu. Pasukan Inggris terhindar dari kepunahan setelah pejuang kita mau dibujuk Presiden Sukarno untuk berdamai.

 


Dalam rangka menjaga perdamaian inilah terjadi insiden yang menewaskan pimpinan tetara Inggris Brigjen Mallaby. Meskipun kematian jenderal Inggris masih misteri pihak mana yang menembaknya, namun Mayor Jenderal E.C Mansergh sebagai pengganti Mallaby naik pitam dan mengeluarkan ultimatum kepada bangsa Indonesia di Surabaya. Isi ultimatumnya agar semua penduduk Surabaya yang memiliki senjata api segera menyerahkan senjata mereka di tempat-tempat yang telah ditentukan oleh Inggris, selambat-lambatnya pukul 06.00 pada 10 November 1945. 

 

Saat itu yang menjadi gubernur Jawa Timur adalah Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo atau lebih dikenal dengan sebutan Gubernur Suryo merupakan gubernur pertama Provinsi Jawa Timur (1945-1948). Sebelumnya, dia menjabat bupati di Magetan dari tahun 1938 hingga tahun 1943. 

 

Gubernur yang gagah berani ini pantang pula digertak, setelah berkonsultasi dengan Presiden Sukarno dan pejabat lainnya di Surabaya diputuskan bahwa ultimatum itu ditolak. "Berulang-ulang telah kita katakan, bahwa sikap kita ialah lebih baik hancur daripada dijajah kembali. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris, kita akan memegang teguh sikap ini. Kita tetap menolak ultimatum," begitu kata Gubernur Suryo dengan lantang melalui radio ketika itu.

 

 Maka terjadilah perang Surabaya phase ke 2 yang kita peringati setiap 10 November itu. Perang paling brutal yang paling dasyat dialami pasukan Inggris setelah perang dunia ke 2 berakhir. Kalau dalam perang dunia kedua tubuh mereka ditembus peluru namun dalam perang Surabaya ini tubuh-tubuh mereka dikoyak dan dicabik-cabik oleh bamboo runcing,  kematian yang mengerikan bagi pasukan Inggris.


Gubernur Suryo yang lahir di Magetan, Jawa Timur, 9 Juli 1898 ini dikenal sebagai sosok pemberani. Saat masa pendudukan Jepang, Suryo yang saat itu menjabat bupati Magetan kedatangan tamu seorang perwira Jepang. Tanpa diketahui sebabnya, perwira Jepang yang datang bersama ajudannya itu marah-marah, mengeluarkan kata-kata dalam bahasa Jepang yang tidak dimengerti oleh Bupati. Perwira itu juga menghunus samurainya.
Suasana kala itu cukup tegang. Mereka yang menyaksikan adegan itu tampak cemas karena sering mendengar cerita tentang kekejaman Jepang. Tetapi, Suryo tampak tenang. Dia lalu berjalan menghampiri perwira Jepang itu. Dengan suara lantang, Suryo berkata dalam bahasa Jawa yang artinya kurang lebih sebagai berikut: "Tanpa sebab musabab dan tanpa memberi salam kau datang dan marah. Saya tidak bersalah dan saya tidak takut".Perwira Jepang itu terdiam, menyarungkan samurainya kembali, lalu melangkah meninggalkan kantor bupati. 

 Singkat cerita, pemerintah melihat potensi yang ada dalam diri Suryo. Juni 1947, Suryo diangkat menjadi wakil ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) berkedudukan di Yogyakarta. Lalu, Suryo menjadi ketua dewan tersebut karena sang ketua, Ahmad Wiranatakusumah, dalam keadaan sakit.
Pada tanggal 18 September 1948, PKI melancarkan pemberontakan di Madiun. Mereka berhasil pula menguasai beberapa kota lain. Pemerintah segera bertindak. Tanggal 30 September Madiun direbut kembali oleh pasukan yang setia kepada pemerintah, tetapi keamanan belum pulih seluruhnya. Di beberapa tempat, orang-orang komunis masih melakukan pengacauan.

Dalam kondisi seperti itulah, Suryo pada tanggal 10 November 1948 berangkat dari Yogyakarta menuju Madiun. Dia bermaksud menghadiri peringatan 40 hari meninggalnya adiknya yang dibunuh orang-orang PKI.
Sejumlah sahabat, termasuk Wakil Presiden Mohammad Hatta, meminta agar Suryo mengurungkan maksudnya. Tetapi, Suryo ngotot pada pendiriannya. Tanda-tanda kurang baik terlihat. Baru saja tiba di luar Kota Yogya, ban mobilnya pecah. Sesudah itu mobil kehabisan bensin. Suryo terpaksa dua kali kembali ke kota untuk menambal ban dan untuk mengisi bensin. Meski teman-temannya mengatakan bahwa itu pertanda buruk, Suryo tidak mempercayainya.
Suryo tiba sore hari di Surakarta. Sudiro yang ketika itu menjadi residen Surakarta menahan Suryo supaya bermalam dan perjalanan diteruskan esok hari. Suryo melanjutkan perjalanannya ke Madiun pagi-pagi sekali. Di Desa Gendingan, sekali lagi diperingatkan supaya Suryo tidak meneruskan perjalanan. Namun, peringatan itu juga diabaikan.

 Di Desa Bogo, Kedunggalar, Ngawi, mobil Suryo berpapasan dengan sisa-sisa gerombolan PKI. Pada saat itu pula dari arah Madiun datang mobil yang ditumpangi oleh Komisaris Besar (Kolonel) Polisi M Duryat dan Komisaris (Mayor) Polisi Suroko dalam perjalanan ke Yogyakarta. Kedua mobil itu diperintahkan berhenti oleh gerombolan PKI tersebut. 


 Suryo, Duryat, dan Suroko diperintahkan turun dari mobil. Mereka dibawa ke hutan. Di tempat inilah Gubernur Suryo dan dua orang lainnya itu dihabisi PKI. Empat hari kemudian, jenazah Suryo ditemukan penduduk di Kali Kakah, Dukuh Ngandu, Desa Bangunrejo, Kedunggalar, Ngawi, lalu dibawa ke Madiun dan dimakamkan di Sawahan, Desa Kepalrejo, Magetan.

 Diperintahkan Amir Sjarifoeddin

Dalam bukunya yang lain, Madiun: Dari Republik ke Republik (2006: 181), Himawan Soetanto mengisahkan bahwa pada 9 November 1948 ada pergerakan pasukan dari arah Lawu menuju utara, menyeberangi jalan poros itu. Warga desa Plang Lor terheran-heran melihat banyaknya rombongan pasukan. Ada yang berseragam militer, ada juga yang berpakaian hitam seperti warok (pendekar Ponorogo).
“Tiba-tiba dari arah barat meluncur suatu mobil sedan berwarna hitam. Dari mobil itu keluar tiga orang yang langsung ditodong dengan senapan, dilucuti dan diseret beramai-ramai,” aku Kromo Astro, seorang kamitua Prang Lor, seperti dicatat dalam Lubang-lubang Pembantaian: Petualangan PKI di Madiun (1990: 156-157).
Para pengepung menebak bahwa mereka yang berada di mobil hitam itu adalah pembesar yang pulang dari Yogyakarta. “Wah, ini pembesar yang kerjanya makan enak tidur enak,” kata orang-orang FDR itu.

Kromo Astro mengaku, ketika para penumpang mobil itu hendak dibunuh, ia berusaha mencegahnya. Jika dibunuh di pasar, maka warga desa akan merasa ngeri.
Kemudian datanglah seseorang dengan mengendarai kuda. Para pengepung memanggilnya "Pak Amir". Dalam catatan kaki di buku Harry Poeze disebutkan bahwa beberapa sumber menyatakan Amir Sjarifoeddin berada di lokasi kejadian dan sempat berbincang-bincang dengan tawanan.
Amir Sjarifudin ini adalah tokoh PKI yang mencapai puncak karir politiknya sebagai  Perdana Mentri ketika diadakan perundingan Renvile dengan Belanda
“Pak Amir memerintahkan agar ketiga orang itu dibunuh di saja di hutan yang lebih jauh. Ketiga orang itu kemudian diarak beramai-ramai ke dalam hutan sambil terus disoraki dan dicaci maki,” aku Kromo Astro.
Tiga orang yang dibunuh itu memang pejabat negara. Belakangan diketahui, para korban adalah Komisaris Besar Doeryat, Komisaris Polisi Soeroko, dan Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo. Nama terakhir adalah mantan Gubernur Jawa Timur. Meski tak jadi gubernur lagi ketika disergap, orang-orang tetap mengenalnya sebagai Gubernur Soerjo.
Di sekitar tempat pembunuhan itu, kemudian dibangun sebuah monumen untuk mengenang Ario Soerjo. “Laporan tentang peletakan batu pertama monumen pada 14 Juli 1973 mencantumkan tanggal 10 November, dan menyebut Maladi Jusuf sebagai pimpinan dari kelompok PKI yang menahan Soerjo dan rombongannya,” catat Poeze (2011: 265).
Di tempat Gubernur Suryo, Kolonel Polisi Duryat dan Mayor Polisi Suroko dihabisi oleh gerombolan PKI tersebut kini berdiri Monumen Suryo. Monumen tersebut diresmikan pada 28 Oktober 1975 oleh Pangdam Brawijaya Mayjen TNI Witarm
in

 

Begitulah PKI yang beraliran komunis, nama besar gubernur Suryo sebagai penanggungjawab dan pemimpin dalam peristiwa besar perang Surabaya tidak ada pengaruhnya bagi mereka. Orang yang berjasa besar membela Republik Indonesia itu tetap mereka bunuh tanpa prikemanusian. Masih ada jugakan rakyat Indonesia yang bercita-cita menghidupkan kembali PKI. Kalau ada ini sungguh keterlaluan.

Catatan:

1.      Bahan  diambil dari https://id.wikipedia.org/wiki/Pembunuhan_Ario_Soerjo dan https://tirto.id/bagaimana-gubernur-soerjo-dibunuh-pengikut-pki-cUEr

                          2 Gambar diambil dari google

Jumat, 13 September 2019

Rekor Pembantaian Masal Terhadap Rakyat Sendiri, Dipegang oleh Pemerintahan Komunis


Kalaulah ada pemililihan pemerintah yang paling banyak membunuh rakyat maka pemenangnya adalah pemerintahan negara komunis dengan tokohnya mulai dari Lenin, Stalin, Mao Tse Tung dan Pol Pot. Dan keempatnya termasuk  dalam sepuluh tokoh terkejam di dunia versi  majalah Publizer.

Kita mulai dengan Lenin yang berhasil meruntuhkan pemerintahan Tsar Nicholas II dalam revolusi  Bolshevik tahun1917 dan mendirikan pemerintahan komunis di Uni Soviet. Revolusi ini memang tidak berdarah-darah karena memang di dukung oleh rakyat dan meiliter yang merasa itulah solusi dari rakyat untuk keluar dari kemerosotan ekonomi. Banyak pihak berharap dari system komunis ini.
Banyak yang mengira komunisme adalah jalan keluar bagi rusia untuk lepas dari kelaparan dan kehancuran setelah dilanda kesulitan berkepanjangan  akibat  perang Dunia I. Akan tetapi, ketika ternyata tidak banyak terjadi perubahan, mulailah ada pemberontakan dan perlawanan terhadap pemerintah komunis.

Ketika mulai ada perlawanan, baru komunisme menunjukkan jati dirinya sebagai ideology yang tidak segan-segan menghabisi siapapun lawannya. Ketika kebijakan komunis diterapkan Lenin, jutaan korban berjatuhan. Wikipedia mencata lima juta orang tewas akibat kebijakan Lenin selama menerapkan system  komunis terutama akibat kelaparan.

Puncak pembantaian komunis di Rusia terjadi pada masa pemerintahan Stalin pengganti Lenin. Diperkirakan Stalin telah membunuh sekitar 20 juta pada masa pemerintahannya. Yang anehnya Diktator yang satu ini, membunuh hampir semua pimpinan komunis yang diatas dan satu lighting dengannya.Tokoh-tokoh pendiri komunis, pejuang-pejuang komunis seangkatan Lenin dan seangkatan denganya habis semuanya.

Bagi Stalin kematian rakyat hanya masalah statistic. Kata-kata Lenin yang terkenal”  The death of one man is atragedy. The death of million is astatistic” (Kematian satu orang adalah tragedy. Kematian jutaan orang hanyalah statistic saja) Tak heran begitu entengnya dia memerintahkan pembunuhan.

Tokoh yang ketiga adalah Mao Tse Tung pemimpin komunis China. Sejak 1949 sampai akhir masa kekuasaannya, kematian tidak wajar akibat partai komunis China mencapai 80 juta orang. Dari 80 juta orang ini, 40 juta orang  mati keh ke laparan hanya dalam waktu 2 tahun yaitu ketika ia menerapkan kebijakan  Lompatan jauh ke depan. Kelaparan terdasyat dalam sejarah umat manusia.

Mao Tse Tung melakukan pembersihan etnis terhadap muslim Uighur di Xinjian, Turkistan Timur. Jutaan orang dibantai di sana oleh Mao Tse Tung dan kebijakannya ini dilanjutkan oleh penggantinya Deng Xioping. Antara 1949 sampai dengan 1975, 26 juta muslim Uighur dibunuh oleh rezim komunis dengan berbagai cara. Sebelum pembersih  etnis ini dilakukan, kaum muslim  berjumlah 75 % dari populasi di Turkistan timur, tapi setelah pembunuhan ini muslim Uighur tinggal 35 % di Turkistan. Sungguh kekejaman yang tiada tara. Dan pembunuhan terhadap suku Uighur inimasih berlansung sampai sekarang.

Mengikuti jejak Stalin, Mao Tse Tung juga membunuh hampir semua pimpinan partai komunis yang sama-sama berjuang dengannya untuk menumbangkan pemerintahan Nasionalis Kuo Min Tang. Begitu juga pejuang-pejuang yang telah mempertaruhkan nyawa untuk mendirikan pemerintahan komunis diChina bersamanya.

Di Kamboja ada juga tokoh komunis yang tidak kalah kejam, Pol Pot. Di sebuah lading yang hanya 15 km di luar kota Phnom Pen ibu kota Kamboja  ia membantai 17 ribu orang secara brutal. Tempat itu dikenal sebagai The Killing fields of Choeng Ek.

Dalam kurun tahun1975-9179 saat Pol Pot  berkuasa hampir 2 juta rakyat Kamboja tewas karena wabah kelaparan atau dieksekusi di lading-ladang pembantaian. Tentara Pol Pot mengeksekusi korban dengan berbagai cara. Mereka tidak menenmbak korban dengan senjata api, karena bagi mereka  peluru mahal. Mereka menggunakan pisau, pedang, bamboo tajam, sabit dan linggis.
Untuk korban anak-anak, cara eksekusinyalebih mengerikan. Tentara Pol Pot menghabisi nyawa bocah-bocah tak berdosa dengan membenturkan kepala korban ke batang pohon besar sampai remuk.

Nah dengan kisah-kisah ini masih adakah rakyat Indonesia yang normal  mengimpikan  NKRI ini menjadi Negara Komunis? Kalau ada memang kebangetan.

Catatan:
-          Naskah diolah dari , Agung Pribadi, Gara-gara Indonesia, ASMANADIA Publishing house.
-          Gambar-gambar diambil dari google

Rabu, 11 September 2019

Perang Candu di China, Liliput Mengalahkan Raksasa

(Bagian 2)

  Setelah kekalahan telak China pada perang candu I oleh Inggris, Negara-negara Eropa lainnya termasuk Amerika melihat kesempatan untuk menekan raksasa yang sudah letoi ini. Maka Setelah perjanjian Nanjing tercetus, Amerika Serikat juga menuntut hak yang sama dengan Inggris. Amerika mengirimkan utusan bernama Caleb Cushing untuk merundingkan hal itu dengan pemerintah Cina. Usaha Cushing berhasil, Cina dan Amerika menyepakati perjanjian bilateral pada tahun 1844. Perjanjian tersebut membuat Amerika mendapatkan pula seluruh hak istimewa yang didapatkan Inggris.

 Namanya perundingan namun sebenarnya Amerika mendiktekan kemaunannya kepada China yang lemah ini. Amerika di dalam perjanjian bilateral ini menekankan  hakim-hakim Cina tidak memiliki wewenang untuk mengadili warga Amerika yang melakukan pelanggaran hukum dan harus menyerahkannya pada pengadilan konsulat Amerika.
Selain Amerika, Prancis juga mengambil kesempatan pula menekan China  dengan memaksakan   perjanjian bilateral dengan Cina pada tahun yang sama guna memperoleh hak-hak istimewa. Sebagai hasilnya, Cina mengizinkan penyebaran agama Katolik dan mengembalikan hak milik gereja yang telah dilarang seabad sebelumnya.

Perang Candu II (1856-1860 M)

 

Perang Candu II dapat dianggap sebagai kelanjutan dari ambisi imperialisme Eropa di Cina. Pihak Eropa yang telah mendapatkan hak-hak dagang khusus di Cina, masih berambisi untuk memperluas kekuasaannya. Karena raksasa sudah lumpuh maka Negara eropa dan Amerika bisa berbuat sesuka mereka.

Pihak Inggris ingin memperkuat pengaruhnya di Cina dengan memaksa Dinasti Qing memperluas wilayah perjanjian Nanjing. Pada tahun 1854, mereka menuntut seluruh Cina dijadikan wilayah dagang terbuka bagi East India Company, perdagangan candu dilegalkan, dan diperbolehkannya duta besar Inggris ditempatkan di Beijing.
Tuntutan serupa juga datang dari Amerika Serikat dan Prancis. Akan tetapi, pemerintah Dinasti Qing menolak semua tuntutan tersebut, sehingga hubungan Cina dan Barat menjadi memanas.


Meskipun demikian, Perang Candu II secara khusus dipicu oleh tindakan pejabat Dinasti Qing yang menghentikan kapal bernama Arrow, kapal Cina yag telah diregistrasi di Hongkong (kapal tersebut dikapteni orang Inggris dan seluruh awaknya merupakan warga Cina). Telah menjadi kebiasaan, jika kapalTiongkok hendak menyelundupkan sesuatu, mereka meregistrasikan terlebih dulu kapalnya di Hongkong, sehingga dapat berlayar di bawah bendera Inggris dan terhindar dari jeratan hukum Cina.


Pada tanggal 8 Oktober 1856 kapal tersebut berlabuh di Kanton. Pada pagi harinya, mereka dihentikan oleh 4 pejabat dan 60 pasukan bersenjata. Mereka mencurigai Arrow hendak menyelundupkan sesuatu ke wilayah Cina.
Kapten kapal mendatangi konsulat Inggris untuk melaporkan penahanan yang dilakukan pejabat Cina. Konsul Inggris, Harry Parkes, segera meresponnya dengan mendatangi pejabat Cina yang melakukan penahanan serta memprotes tindakan mreka.
Meskipun telah diprotes, 12 orang di antara awak kapal itu tetap ditahan karena dianggap melakukan tindak kriminal penyelundupan. Pihak Inggris ngotot, bahwa kapal itu telah diregistrasi di Hongkong, oleh karena itu hukum khusus berlaku terhadap mereka, dan meminta agar kapal dan awaknya dibebaskan.


Pihak Cina menolak permintaan Parker, karena gagal membebaskan para awak Konsul Inggris kembali ke kantornya dan menyurati Gubernur Ye Mingchen. Ia membuat tuduhan bahwa para pejabat Cina telah menghina bendera Inggris. Selain itu, ia juga menuduh pihak Cina telah melanggar perjanjian ekstrateritorial dengan Inggris.
Parker juga mengirimkan surat kepada Gubernur Sir John Bowring dan Admiral Sir Michael Seymour di Hongkong, meminta Inggris menuntut permintaan maaf Cina. Mungkin Parker melihat peristiwa ini sebagai salah satu kesempatan untuk memperluas imperialisme Inggris di Cina.


Dari hasil penyelidikan pejabat Cina yang berwenang mendapati bahwa sembilan di antara dua belas orang yang ditangkap tidak bersalah. Gubernur Ye dengan tenang dan sopan menjawab tuntutan sepihak Inggris. Dijelaskannya alasan penangkapan serta penyesalan terhadap kesalah-pahaman yang terjadi.
Ia juga mengatakan tidak ada sedikit pun keinginan untuk menghina bendera Inggris. Gubernur Ye lalu menawarkan untuk menyerahkan 12 orang yang di tahan itu pada tanggal 12 Oktober 1856.


Akan tetapi, Parker menolak tawaran tersebut meskipun pihak Cina telah menyampaikan rasa penyesalan. Ia tetap bersikeras agar Gubernur Ye mengeluarkan permintaan maaf secara tertulis serta pembebasan awak kapal yang tidak bersalah dengan segera. Ye merespon kesombongan pihak Inggris dengan menyatakan bahwa hukum ekstrateritorial hanya berlaku bagi kapal Inggris, sedangkan Arrow adalah kapal Tiongkok. Ia juga mempertanyakan kewenangan pihak Inggris untuk ikut campur urusan penangkapan warga negara Cina oleh pejabat berwenangan Cina, apalagi saat itu kapal juga berada di perairan Cina. Gubernur menyimpulkan insiden tersebut bukan lah merupakan pelanggaran perjanjian apa pun.


Pihak Inggris menolak penjelasan pihak Cina di aas, meskipun bukti-bukti dan saksi menguatkan pembelaan Ye. Mereka tetap ngotot bahwa kapal itu tetap kapal Inggris dan warga negara mana pun yang berada di atas kapal Inggris berada di bawah naungan hukum Inggris.
Polemik ini terus berlanjut hingga tanggal 21 Oktober 1856, di mana sekali lagi Parker menuntut permintaan maf Cina. Keesokan harinya, Gubernur Ye mengirim para tahanan itu ke konsulat Inggris, termasuk yang terbukti bersalah melakukan penyelundupan, namun pihak Inggris menanggapi dingin usaha tersebut. Gubernur Ye tetap bersikeras tidak perlu mengeluarkan permintaan maaf, karena tidak ada pelanggaran yang dilakukan.


Setelah Cina tidak kunjung meminta maaf, arogansi Inggris pun semakin menjadi. Mereka mengerahkan angkatan perangnya pada tahun 1857 untuk menggempur Kanton. Prancis ikut bergabung dengan Inggris setelah hukuman mati yang dijatuhkan terhadap seorang misionaris Prancis bernama August Chapdelaine.

Kanton berhasil direbut dan mereka bergerak menuju Beijing. Sementara itu, Kaisar Xianfeng (1851-1860) yang ketakutan melarikan diri ke Jehol. Perang Candu II baru berakhir setelah pihak Cina bersedia menandatangani Perjanjian Tianjin pada bulan

 Juni 1858. Berikut isi dari perjanjian Tianjin:


1.    Inggris, Prancis, Amerika, dan Rusia diizinkan membuka kedutaan di Beijing, yang saat itu merupakan kota tertutup bagi orang asing.
2.    Sepuluh pelabuhan baru dibuka bagi bangsa Barat, termasuk Danshui, Hankou, Niuzhuang, dan Nanjing.
3.    Pemberian izin kunjungan orang asing ke pedalaman Cina, baik untuk urusan dagang atau kegiatan misionaris.
4.    Cina harus membayar kerugian perang sebesar 4 juta tail perak pada Inggris dan 2 jut apada Prancis.
5.    Pelarangan menyebut bangsa Barat sebagai yi (barbar).
Walaupun perjanjian telah ditandatangani, kerajaan tetap tidak mengizinkan pendirian kedutaan di Beijing. Oleh karena itu, pada tahun 1860, kekuatan gabungan Inggris dan Prancis kembali melancarkan serangan, dan berhasil menaklukan  Beijing pada tanggal 6 Oktober 1860.
Kaisar Xiangfeng kembali melarikan diri ke istananya di Chengde, di mana sebelumnya ia telah memerintahkan Pangerang Gong untuk bernegosiasi dengan bangsa Barat.


Di saat yang bersamaan, bangsa Barat membakar istana kekaisaran dan menjarahnya. Untuk meredam kekejaman bangsa Barat, pangeran Gong menyampaikan kembali kesediaan Dinasti Qing untuk menjalankan seluruh isi perjanjian Tianjin dalam wujud Konvensi Beijing yang diratifikasi pada tanggal 18 Oktober 1860. Adapun isi dari ratifikasi adalah sebagai berikut:
1.    Cina mengakui kembali Perjanjian Tianjin.
2.    Menjadikan Tianjin sebagai pelabuhan terbuka.
3.    Kerugian yang harus diganti Cina kepada Inggris dan Prancis ditingkatkan menjadi 8 juta nail perak.
4.    Perdagangan candu dilegalkan.
Dengan keluarnya ratifikasi ini sekaligus mengakhiri sepenuhnya Perang Candu dan menjadikan candu sebagai barang yang legal di dataran Cina.


Semoga dengan kisah sejarah ini bangsa kita mewaspadai pengiriman narkotika yang besar-besaran ke negeri kita ini. Samahalnya seperti di China kalau kita sudah lemah negara asing sekehendak hatinya saja mendiktekan kemaunannya kepada kita dan menjadikan bangsa kita budak yang melayani kepentingan mereka.

Catatan:

1. bahan diambil dari https://wawasansejarah.com/perang-candu-di-cina/

2. Gambar diambil dari google