Jumat, 22 April 2022

Serangan Umum 1 Maret 1949 yang Menggemparkan Belanda dan Dunia (Part 4)

Kontraversi Inisiator Serangan Umum

Serangan umum yang dianggap sukses dan berhasil menimbulkan kepercayaan anggota PBB bahwa republic Indonesia yang di klaim Belanda telah terkubur dalam tanah, masih eksis. Belanda menjadi sorotan dan belanda merasa kecolongan dan tidak  menyangka TNI yang telah mereka lumpuhkan berhasil merebut kembali Yogyakarta walaupun hanya 6 jam.



 Yang namanya keberhasilan perjuangan, banyak yang mengaku dialah yang memegang andil utama keberhasilan itu. Dan akhir-akhir ini masalah siapa inisiator penyerangan ini menjadi hal yang panas. Ada tendensi rezim yang berkuasa yang orang-orangnya nota bene belum eksis atau belum lahir ketika peristiwa itu terjadi seolah ingin mengurangi atau menghilangkan peran Pak Harto yang sekian tahun setelah dia lengser banyak kalangan dialah contoh presiden yang kebijakannya benar-benar memihak rakyat. Maka dalam bagian ke -4 ini akan kita bahas beberapa kontra versi tersebut. Dikutip dari https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5972159/ragam-versi-sejarah-inisiator-serangan-umum-1-maret-1949/1 sebagai berikut :

 

Soeharto



Masa Orde Baru, Soeharto ditonjolkan sebagai tokoh sentral dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Tokoh yang kemudian menjadi Presiden RI selama 32 tahun tersebut, kala itu merupakan Komandan Wehrkreise III sekaligus Brigade X dengan pangkat letnan kolonel.

Soeharto membawahi wilayah Yogyakarta dengan markas di Desa Segoroyoso, Bantul. Ketika serangan terjadi Soeharto memegang kendali atas tujuh Subwehrkreise (SWK). Peranan Soeharto tersebut dimunculkan dalam berbagai buku sejarah, buku sekolah, hingga film.

Salah satunya berjudul Janur Kuning yang diproduksi pada 1979. Aktor Kaharuddin Syah memerankan tokoh Letkol Soeharto dalam film yang disutradarai Alam Surawidjaya itu.

Sultan Hamengku Buwono IX



Dalam buku Tahta Untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, salah satu penulisnya Kustiniyati Mochtar menyebut Sultan Hamengku Buwono IX adalah pencetus ide Serangan Umum 1 Maret.

Saat itu kondisi Yogyakarta sangat tidak kondusif di bawah tekanan kekuasaan Belanda. Seperti diketahui sejak Januari 1946, Yogyakarta adalah ibu kota Indonesia. Sultan sebagai pemimpin tertinggi keraton saat itu harus mengambil langkah menyambut forum PBB pada Februari 1949 demi menarik perhatian internasional atas eksistensi Indonesia.




Ide pun didapatkan Sultan Hamengku Buwono IX dan segera melakukan eksekusi. Sultan menghubungi Panglima Besar Soedirman untuk meminta persetujuan dan memanggil Letnan Kolonel Soeharto sebagai komandan gerilya.

Dalam pertemuan di kompleks Keraton pada 13 Februari 1949, Letnan Kolonel Soeharto menyanggupi tugas tersebut. Serangan Umum dilakukan pada 1 Maret 1949 pagi hari saat jam malam usai.

Naskah akademik Keppres Nomor 2/2022 mengutip wawancara dengan Sultan Hamengku Buwono IX dalam buku Gelora Api Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah (Colin Wild dan Peter Carey). Sultan mengatakan:

"Pada permulaan Februari saya mengirim surat kepada Pak Dirman, minta izin agar supaya diadakan suatu serangan umum, akan tetapi pada siang hari, sudah barang tentu dengan segala resiko yang ada pada suatu serangan. Ini disetujui oleh Pak Dirman dan dinyatakan agar supaya saya berhubungan langsung dengan komandan yang bersangkutan, yaitu Soeharto, sekarang Presiden kita."


Catatan TB Simatupang



Buku Laporan dari Banaran: Kisah Pengalaman Seorang Prajurit Selama Perang Kemerdekaan yang ditulis T.B. Simatupang mengungkap sejumlah cuplikan penting menjelang 1 Maret 1949.
Simatupang menuliskan pada 18 Februari 1949, Kolonel Bambang Sugeng yang saat itu menjabat Gubernur Militer daerah Yogyakarta-Kedu-Banyumas-Pekalongan-sebagian Semarang datang dan menginap di Banaran, Gunung Kidul.

Dusun Banaran terletak di punggung pegunungan Menoreh. Di tempat ini, prajurit TNI yang bergerilya karena Agresi Militer Belanda membangun markas pertahanan.




Kolonel TB Simatupang yang saat itu menjabat Wakil Kepala Staf Angkatan Perang menggambarkan Sugeng sebagai sosok yang emosional. Menurut Simatupang, bagi Sugeng yang juga Panglima Divisi III itu tidaklah memuaskan apabila Yogyakarta nanti dikembalikan begitu saja kepada Indonesia.

"Idenya ialah: Yogya harus direbut dengan senjata. Paling sedikit dia ingin bahwa Yogyakarta kita serang secara besar-besaran, agar menjadi jelas bagi sejarah bahwa sekalipun Yogyakarta ditinggalkan oleh Belanda, namun kita tidak menerima kota itu sebagai hadiah saja. Paling sedikit dia mau membuktikan bahwa kita mempunyai kekuatan untuk menjadikan kedudukan Belanda di kota tidak tertahan (onhoudbaar)," tulis Simatupang.

Simatupang pun menyebut saat itu, hari dan cara penyerahan Yogyakarta kepada Indonesia belum ditentukan, sehingga masih ada cukup waktu untuk melancarkan serbuan atas Yogyakarta.




"Sama sekali tidak ada larangan untuk menyerang dan ditinjau dari segi diplomasi, maka saya anggap bahwa setiap serangan yang spektakuler, justru akan dapat memperkuat kedudukan kita."

Dalam catatannya, Simatupang juga menuliskan pada 1 Maret 1949, dirinya berada di Wiladeg, Gunung Kidul. Di desa ini, ia bertemu sejumlah Staf Penerangan Pusat Pemerintah di Jawa. Menurut Simatupang, mereka sedang menunggu kabar dari Yogyakarta, sebab hari itu pasukan-pasukan kita akan melancarkan serangan umum atas kota.

"Inilah serangan yang beberapa waktu lalu telah saya bicarakan dengan Bambang Sugeng di Banaran. Saudara Sumali dan Dipokusumo telah bersiap-siap untuk menyiarkan serangan umum ini melalui pemancar radio ke Sumatra dan New Delhi, yang akan menyiarkan berita itu kepada dunia," tulis Simatupang.

Kesaksian Letkol dr. Wiliater Hutagalung



Menurut kesaksian Letkol dr. Wiliater Hutagalung, serangan khusus terhadap Yogyakarta baru diputuskan tanggal 18 Februari 1949 dalam rapat Divisi III di lereng Gunung Sumbing yang dipimpin Kolonel Bambang Sugeng.
Hal ini diungkapkan putra Wiliater, Batara Richard Hutagalung dalam keterangannya pada detikEdu. Batara bilang, "Sebelumnya, belum ditetapkan kota mana yang akan diserang. Namun, Panglima Besar Jenderal Soedirman sudah mengeluarkan perintah serangan besar-besaran untuk memperkuat delegasi Indonesia di DK PBB."




Saat itu , Letkol dr Wiliater adalah perwira teritorial di Jawa Tengah dan tim dokter Jenderal Soedirman. Adapun menurut A.H. Nasution dalam bukunya menyebut Wiliater adalah penasihat Gubernur Militer Kolonel Bambang Sugeng.


Rencana menyusun serangan itu, menurut Batara merupakan buntut dari Agresi Militer II Belanda. Tanggal 28 Januari 1949 DK PBB mengeluarkan resolusi yang isinya menyerukan Belanda menghentikan aksi militer dan melepaskan tanpa syarat pemimpin republik untuk maju ke meja perundingan yang difasilitasi PBB.

DK PBB juga mengumumkan sidang selanjutnya akan digelar pada 10 Maret 1949. "Belanda menolak resolusi itu dengan menyatakan Republik Indonesia dan pendukung bersenjatanya sudah tidak ada," ujar Batara.

Menurut Batara, prajurit TNI yang sedang bergerilya di gunung-gunung termasuk Soedirman pun bisa mengetahui situasi tersebut lewat radio gelap. "Otomatis perintah komandan yakni memberi perintah serangan sebelum 10 Maret untuk menunjukkan kita masih ada," ujarnya.




Sekitar akhir Januari atau awal Februari 1949, Soedirman mengadakan rapat dadakan di dekat Pacitan. Wiliater turut hadir dalam rapat tersebut. Soedirman meminta Letkol Wiliater turut membantu menyusun strategi penyerangan.

Wiliater kemudian kembali ke markas Divisi III di lereng gunung Sumbing untuk membawa pesan Panglima Besar. Kolonel Bambang akhirnya menggelar rapat yang juga dihadiri oleh Komandan Wehrkreise II Letnan Kolonel Sarbini.

"Tanggal 18 Februari diadakan rapat di Markas Divisi III di bawah komando Bambang Sugeng. Disampaikan gagasan dari Wiliater untuk menyerang satu kota dengan serangan spektakuler. Kolonel Bambang bersikeras yang harus diserang itu Yogyakarta. Itu baru diputuskan siangnya," ujar Batara.

Setelah pertemuan, Kolonel Bambang Sugeng bergegas menuju Banaran, markas Kolonel TB Simatupang. Di Banaran, hari itu juga pukul 20.00, Kolonel Bambang Sugeng mengeluarkan Instruksi Rahasia pada Komandan Wehrkreise I Letnan Kolonel M. Bachrun.




Wilayah Letkol Bachrun meliputi Karesidenan Pekalongan, Banyumas, dan Wonosobo dengan markas di Desa Makam.

Isinya berbunyi: "Berkenaan dengan Instruksi Rahasia yang diberikan pada Cdt. Daerah III Let.Koln. Soeharto untuk mengadakan gerakan serangan besar-besaran terhadap Ibukota yang akan dilakukan antara tanggal 25/II/1949 s/d. 1/III/1949 dengan menggunakan bantuan pasukan dari Brigade IX.

Dengan ini diperintahkan kepada Commandant Daerah I untuk pada waktu yang bersamaan dengan tanggal tersebut di atas mengadakan serangan-serangan serentak terhadap salah satu objek musuk di daerah I untuk mengikat perhatian musuh dan mencegah bala bantuan untuk Yogyakarta."




Setelah menginap semalam di Banaran, Kolonel Bambang Sugeng dua kali bertemu dengan Letkol Soeharto. "Karena takut bocor, maka diputuskan perintah yang sangat penting harus disampaikan langsung oleh komandan pada bawahan langsung," ujar Batara.

Pertemuan pertama itu dilakukan di Brosot pada 19 Februari 1949 di sebuah gubuk di tengah sawah yang dihadiri Kolonel Bambang Sugeng, Letkol dr. Wiliater Hutagalung bersama ajudannya Letnan Amron Tanjung, Letkol Soeharto bersama ajudannya.

"Disampaikan perintah langsung pada Letkol Soeharto untuk mempersiapkan penyerangan terhadap Yogyakarta, karena daerah tersebut berada di bawah Wehrkreise III," ujar Batara.

Batara melanjutkan, "Kalau misalnya komandannya Sarbini, ya Sarbini yang dapat perintah. Jadi kalau ditanya mengapa Soeharto yang menyerang? Ya karena dia komandan Wehrkreise III. Simpel."

Beberapa hari kemudian Kolonel Sugeng dan Letkol Soeharto bertemu lagi di Panjatan. Dalam pertemuan itu, kata Batara, Soeharto melaporkan segala sesuatu terkait persiapan pelaksanaan serangan umum.

Ujungnya pada 1 Maret 1949 meletuslah peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yang menggemparkan dunia internasional. Menurut Batara semua pihak punya peran dalam peristiwa tersebut. "Soedirman punya peran, Bambang Sugeng punya peran, Sarbini, Bachrun, Soeharto punya peran,' ujarnya.




Begitu juga dengan Sultan Hamengku Buwono IX sebagai penguasa sipil di daerah tersebut. Selain itu pendukung lain termasuk tenaga medis, dan yang menyedikan logistik pun berperan.
"Jadi menurut saya Keppres tersebut sebaiknya tidak menyebutkan satu nama pun untuk menjaga netralitas," ujar Batara
.


Catatan :

1.      Sumber tulisan https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5972159/ragam-versi-sejarah-inisiator-serangan-umum-1-maret-1949/3

2.      Gambar diambil dari google