Kamis, 24 Desember 2020

Dengan Strategi yang Cerdik Kerajaan Siak Berhasil Mengalahkan Belanda Dalam Perang Guntung

 

Kalau menengok sejarah, Belanda yang digdaya menjajah nusantara tidaklah benar-benar superior. Belanda banyak menang perang dengan taktik yang curang dan biadab. Dalam beberapa peristiwa Belanda sering juga kalah oleh kerajaan yang ada di Nusantara. Salah satu contohnya Kerajaan Siak mengalahkan Belanda dalam perang Guntung.

Semuanya bermula pada tahun 1746. Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah, atau juga lebih dikenal dengan Raja Kecik wafat. Dia digantikan puteranya, Muhammad Abdul Jalil Muzaffar Syah atau lebih dikenal dengan nama Tengku Buang Asmara.

Saat itu, Belanda dan Kerajaan Siak memang bermusuhan dan saling berebut pengaruh di Selat Malaka. Belanda kemudian mendirikan sebuah loji atau benteng di Pulau Guntung, sebuah pulau kecil di muara Sungai Siak. Pembangunan loji ini dimulai pada tahun 1752, dan selesai pada bulan Maret 1755.



Di loji ini, Belanda menghentikan semua kapal yang menuju Siak, yang bertujuan untuk melemahkan Kerajaan Siak. Selain itu, VOC (perusahaan dagang Belanda) juga menghentikan kapal yang keluar dari Siak, dan memaksa penduduk Siak menjual hasil buminya kepada VOC, dengan harga yang ditentukan VOC.

“Belanda itu dengan sesuka hatinya juga meminta cukai kepada kapal yang berlayar menuju dan keluar Siak. Hasil bumi Siak juga harus dijual ke Belanda, dengan harga yang mereka tentukan. Tentu saja harganya murah dan tidak sesuai dengan harga pasar. Itu sama saja merampok hasil bumi Siak,” kata keturunan bangsawan Siak, OK Nizami Jamil kepada bertuahpos.com.

Tindakan Belanda ini memang bertujuan untuk melemahkan akses perdagangan di Siak, yang pada akhirnya melemahkan Kerajaan Siak. Pada akhirnya, Belanda akan bisa menaklukan Siak dan menjadi penguasa satu-satunya di Selat Malaka, yang merupakan jalur perdagangan di nusantara pada waktu itu.

Kesombongan Belanda menarik cukai dan memaksa rakyat Siak menjual hasil buminya kepada Belanda membuat Sultan Tengku Buang Asmara berang. Dia kemudian mengirimkan utusan kepada Belanda. Dialah Laksamana Raja Dilaut I, yang masih saudara Tengku Buang Asmara.

Kedatangan Laksamana Raja Dilaut I ke loji Belanda adalah untuk menyampaikan sikap Kerajaan Siak terhadap aksi sepihak Belanda. Namun, pertemuan Laksamana Raja Dilaut I dan Belanda sama sekali tidak menghasilkan kesepakatan. Akibatnya, ketegangan antara Kerajaan Siak dan Belanda semakin meningkat.

“Nah, kemudian Tengku Buang Asmara mengirimkan lagi utusannya. Ada dua orang utusannya kali ini, yaitu Raja Indra Pahlawan dan Laksamana Muhammad Ali,” jelas Sejarawan Riau, Suwardi MS.

Namun, dalam perundingan yang kedua kalinya ini, tetap tidak ada kesepakatan antara dua belah pihak. Belanda mengajukan tiga syarat jika Kerajaan Siak ingin berdamai, yaitu tetap memungut bea cukai kepada kapal-kapal yang lewat di loji Pulau Guntung. Kedua, rakyat Siak harus menjual hasil bumi kepada Belanda, dengan harga yang ditetapkan Belanda. Sebagai imbalannya, Belanda bersedia memberikan pakaian kepada Siak.

“Itu aneh. Tentu saja Sultan menolak syarat itu. Melalui Laksamana Muhammad Ali, Siak mengajukan syarat bahwa Belanda tidak boleh lagi memungut cukai kepada kapal yang lewat di loji Pulau Guntung. Jika Belanda ingin berdagang, harus dengan harga yang sesuai dan atas dasar suka sama suka, tidak ada pemaksaan,” tambah Suwardi

Akhirnya, tidak ada kata sepakat. Ketegangan terus semakin meningkat, Kerajaan Siak dan Belanda diambang perang.

Tahun 1751. Setelah tidak ada kata sepakat antara Laksamana Muhammad Ali dan Belanda di loji Pulau Guntung, perang pun pecah. Dalam menyerang Belanda yang ada di loji Pulau Guntung, Kerajaan Siak menyiapkan kapal-kapal yang dinamakan ‘Harimau Buas’. Kapal ini dilengkapi dengan perlengkapan perang secukupnya.

Armada kapal perang Kerajaan Siak dipimpin oleh Laksamana Muhammad Ali dan didampingi Raja Indra Pahlawan.

“Tujuannya armada perang ini hanya satu, yakni mengusir Belanda dari loji Pulau Guntung. Yang memimpin saat itu adalah Laksamana Muhammad Ali. Perang ini dimulai 1752 sampai 1753,” tambah Suwardi.

Namun, menaklukkan loji Pulau Guntung tidaklah semudah yang dibayangkan. Loji ini telah dilengkapi dengan pertahanan berlapis.

Meriam-meriam besar juga telah disiapkan oleh Belanda, untuk menangkis serangan dari kerajaan Siak.

“Armada Siak terus berusaha untuk menaklukan loji atau benteng ini. Tapi, setelah berbulan-bulan, tidak ada kemajuan. Apalagi, bantuan Belanda yang datang dari Malaka. Korban terus berjatuhan dari dua belah pihak,” tambah Suwardi.

Akhirnya, armada Siak mengundurkan diri kembali ke Siak. Laksamana Muhammad Ali dan Raja Indra Pahlawan mengambil keputusan bahwa dalam penyerangan ini tidak akan berhasil menaklukkan loji Pulau Guntung

Keputusan mundur yang dilakukan oleh Laksamana Muhammad Ali dan Raja Indra Pahlawan bukanlah untuk menyerah. Namun, untuk memikirkan strategi lain demi menaklukan Belanda yang bertahan dengan hebat di loji Pulau Guntung.

“Loji Belanda itu punya meriam yang sangat besar. Jumlahnya banyak. Pertahanan loji itu juga berlapis. Menaklukkan loji itu tidak mudah. Maka, mundur dan menyusun strategi selanjutnya, itulah langkah yang diambil Laksamana Muhammad Ali. Bukan menyerah,” jelas Suwardi.

Akhirnya, peperangan diambil alih langsung oleh Sultan Tengku Buang Asmara. Siasat baru disusun. Setelah berunding dengan para laksamana dan panglima perang, Sultan akhirnya mau berunding langsung dengan Belanda. Perundingan ini juga berlokasi di Pulau Guntung.

Dalam perundingan itu, Tengku Buang Asmara membawa banyak hadiah. Belanda sangat gembira, dan mengira bahwa Sultan Siak sudah menyerah, dan Kerajaan Siak telah mereka taklukkan.

Namun, dalam kegembiraannya, Belanda tidak menyadari bahwa loji mereka sudah dipenuhi prajurit Siak. Dengan aba-aba Tengku Buang Asmara, prajurit Siak segera menghunuskan pedangnya dan berhasil membunuh semua serdadu Belanda.

Dalam hikayat Siak, disebutkan bahwa komandan loji Belanda tersebut bernama Fetor. Dia dibunuh oleh menantu Sultan yang bernama Sayyid Umar Panglima. Tewaslah komandan tersebut.

Loji tersebut dibakar, dan Sultan beserta seluruh prajuritnya kembali ke Ibukota, Mempura pada saat itu, dengan membawa kemenangan.

“Semangat Sultan dan prajurit Siak ini telah mencerminkan bahwa sejak ratusan tahun yang lalu, Riau sudah berjuang melawan penjajahan. Semangat inilah yang harus dicontoh oleh generasi Riau saat ini,” ujar OK Nizami Jamil.

Catatan:

1.   Naskah asli  diambil dari http://share.babe.news/s/MrMZbTmQvR

2.   Gambar diambil dari google

 

Sabtu, 28 November 2020

Usaha mengusir Penjajah Belanda oleh Kaum Merah di Silingkang Sumatra Barat (Part 4)

 (Bagian Terakhir dari 4 tulisan)

 

Perlahan polisi bersama Asisten Residen Sawah Lunto berhasil mendesak para pemberontak. Meski sempat terjadi pertempuran, situasi di Silungkang mulai dikuasai. 1 Januari 1927, 49 orang pemberontak ditangkap, beberapa tewas dan luka-luka. Di Padang Sibusuk, meski sempat melakukan perlawanan, pemberontakan akhirnya dilumpuhkan.

Pemberontakan di Sumatera Barat ini akhirnya hanya terjadi secara signifikan di Silungkang, Muara Kalaban, Padang Sibusuk dan Tanjung Ampalu.

Gelombang bantuan militer akhirnya mematahkan perlawanan. Meskipun pemerintah kolonial telah melakukan beberapa penangkapan terhadap tokoh PKI di banyak wilayah termasuk di Sumatera Barat, tetapi pemberontakan ini tetap mengejutkan banyak pihak baik kelompok Islam maupun pemerintah kolonial.


Surat kabar yang menjadi corong Partai Sarekat Islam, yaitu Bendera Islam tanggal 13 Januari yang melaporkan peristiwa pemberontakan ini menulis, “Dengan tidak didoega terlebih doeloe kaoem merah di Siloengkang, Soengai Lasih, Tandjoen Ampaloe, Moera Kalaban, Moearo Sidjoeng-djoeng, Padang Siboesoek dan lain lain tempat dalem bilangan afdeeling Tanah Datar soeda lakoekan pemberontakan terhadaep pada pemerentah Olanda dengen maksoed teroetama sekali oentoek lepasken sekalian orang orang hoekoeman di Sawah Loento dan Moeara Kalaban, dengen pertoeloengan siapa kaoem merah bisa harep dapetken bantoehan boeat boenoe mati pada bestuur, militair dan politie.”



Pada 12 januari 1300 orang ditangkap, kebanyakan berusia 17 – 25 tahun. Pada Februari jumlah yang ditangkap mencapai 4000 orang. Baru pada 28 Februari 1927 pemerintah kolonial benar-benar mengamankan situasi. Ribuan orang yang ditahan menjadi disika. Peradilan massal digelar. Sebagian dijatuhi hukuman mati. Salah satunya adalah Kamaruddin Alis Manggulung, Ketua Sarekat Rakyat Silungkang. Pekik Takbir dan kalimat Tauhid menjadi kalimat terakhir yang terucap dari bibirnya. Bagi kebanyakan rakyat Minangkabau, pemberontakan tersebut adalah perlawanan terhadap penguasa kafir.

Abdul Muluk Nasution, termasuk salah satu yang beranggapan demikian. Ia adalah salah seorang pemimpin rombongan yang ditugaskan menyerang Sawah Lunto akhirnya dihukum 12 tahun penjara. Ia menyebutkan, “Tak diragukan lagi, bahwa pemberontakan tahun 1926-1927 didalangi oleh PKI dengan menggunakan pelaku-pelaku sebagai pion (korban) anggota-anggota Sarikat Islam, tetapi kemudian dapat dipengaruhi oleh PKI. Ajaran-ajaran dan kursus-kursus yang diberikan di masa sebelum pemberontakan hanyalah mengenai keburukan-keburukan kapitalisme dan penjajah (imperialisme) serta ajaran-ajaran sosialisme-relijius dan mengobarkan semangat jihad di sabilillah berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits.”



Sebelas tahun kemudian, 1 Januari 1938 Abdul Muluk mengingat sebuah peristiwa yang tak dilupakannya. Ia akan berpisah dengan Sulaiman Labai, salah satu pemimpin pemberontakan Silungkang. Sulaiman Labai diusianya yang menginjak 60 tahun dan masih harus belasan tahun lagi menjalani hukuman, meninggalkan wejangan kepada Abdul Muluk Nasution.

Sulaiman Labai berkata, “Pemberontakan kita terhadap kolonial Belanda dengan segala akibat penderitaan kita ini bukanlah suatu kesalahan bahkan pendapat dari hati nurani rakyat Belanda sendiri karena mereka pun pernah berontak menentang kolonial Spanyol. Tetapi suatu kesalahan untuk zelf korreksi bagi kita khususnya ummat Islam ialah, tanpa kita sadari karena kebodohan kita telah diperalat oleh PKI karena kita terpecah-pecah menjadi Sarikat Islam Putih dan Sarikat Islam Merah (Sarikat Rakyat).



“Demikian seri tulisan tentang pemberontak kaum merah di Silungkang Sumatra barat ini sengaja saya tampilkan di blog mari menengok sejarah ini, agar generasi sekarang yang disebut generasi meillenial  dapat membaca bagaimana susahnya para pejuang kita berkorban nyawa dan raga untuk dapat mengusir penjajah yang menindas bangsa. Semoga saja mereka yang dapat kesempatan ikut dipemerintahan tidak meniru prilaku penjajah yang menindas bangsanya sendiri demi keuntungan sendiri.

(Tamat)

 

 Catatan:

1.      Sumber tulisan https://www.kiblat.net/2016/10/03/pemberontakan-kaum-merah-di-silungkang

2.      Gambar diambil dari google

Kamis, 19 November 2020

Usaha mengusir Penjajah Belanda oleh Kaum Merah di Silingkang Sumatra Barat (Part 3)

 (Bagian 3 dari 4 tulisan)

 


Kepala Nagari Silungkang menjadi yang pertama dibunuh. Selanjutnya tiga orang menyusul tewas. Massa kemudian menyerang kepala Stasiun Silungkang. Namun ia berhasil melarikan diri. Seorang petugas karcis kereta api menjadi sasaran. Stasiun Silungkang juga tak luput dari sasaran.

 Pukul 03.00 massa kemudian kembali ke rumah Muhammad Yusuf. Tak lama mereka kemudian diperintahkan untuk membunuh Tuan Leurs, kepala Departemen Pekerjaan Umum, satu-satunya calon korban kulit putih malam itu. Ia pun berhasil dibunuh. Namun istri dan anak-anaknya tak disentuh. Massa kemudian membubarkan diri. Sebagian kembali ke rumah Muhammad Yusuf, sebagian lain ke rumah masing-masing. Pemberontakan di Silungkang tersebut menewaskan tujuh orang.



Di lain tempat, barisan yang menuju Sawah Lunto sudah bergerak sejak pukul 22.00. Rombongan sebanyak 300 orang berjalan kaki menuju ke Sawah Lunto melewati Muara Kalaban. Di Muara Kalaban sebagian rombongan terjebak oleh kecurigaan petugas. Sebagian lain di bawah pimpinan Abdul Muluk Nasution tetap menuju ke Sawah Lunto. Tak lama Abdul Muluk heran karena terdengar suara ledakan dan tembakan dari arah Muara Kalaban. Padahal seharusnya serangan ke barak polisi Muara Kalaban dilakukan tepat pukul 12 malam.



Abdul Muluk kemudian mengingat malam itu, “Kami mulai gelisah disebabkan bunyi bom dari arah Sawah Lunto belum kedengaran, malah Muaro Klaban telah mendahuluinya. Menurut rencana, barisan yang dipimpin Muluk Caniago dan Karim Marokko memulai merebut tangsi polisi Muara Klaban ini seharusnya tepat pukul 12 tengah malam serentak dengan di Sawah Lunto. Mengapa sampai demikian, itulah yang menjadi pertanyaan di hati kami.”




Abdul Muluk bertambah bingung karena tak lama ia mendapat kabar rencana pemberontakan di Sawah Lunto sudah diketahui aparat. Kelompok garnisun militer di bawah Mayor Pontoh juga ditangkap dan gagal melakukan pemberontakan. Kebingungan berubah menjadi kekacauan ketika mereka bertemu dengan konvoi polisi. Senjata menyalak dari konvoi polisi. Granat tangan yang dilempar rombongan Abdul Muluk tak mampu melawan konvoi. Seketika rencana hancur berantakan, Abdul Muluk bersama kawan-kawannya ditangkap.

 

Catatan:

1.      Sumber tulisan https://www.kiblat.net/2016/10/03/pemberontakan-kaum-merah-di-silungkang

2.      Gambar diambil dari google

 

Usaha mengusir Penjajah Belanda oleh Kaum Merah di Silingkang Sumatra Barat(Part 2)

 (Bagian 2 dari 4 tulisan)

Sarekat Islam memiliki pengaruh yang kuat di Silungkang. Sebuah kebijakan pilih kasih pemerintah kolonial dalam soal pengangkutan beras pernah membuat SI Silungkang bergerak memboikot kereta api demi membantu rakyat yang mengalami krisis pasokan beras. Peristiwa ini begitu melekat di benak rakyat sehingga SI Silungkang mendapat dukungan masyarakat Silungkang.



Pada tahun 1924, SI Silungkang berubah menjadi Sarekat Rakyat. Meski Sarekat Rakyat sebenarnya 

secara struktural adalah organ di bawah PKI, namun rakyat Silungkang tak peduli. Dalam benak mereka, Sarekat Rakyat adalah Sarekat Islam. Bagi mereka yang terpenting adalah menolak pemerintah kolonial yang memberatkan dengan segala pajak dan penindasannya. Di bawah kondisi tertindas inilah, propaganda menuju pemberontakan menemui lahannya yang subur di Silungkang. Dan meletupnya pemberontakan hanya soal waktu saja.

Sabtu, 31 Desember 1926. Pasar Silungkang ramai. Salah satu rumah orangi terkaya di Silungkang, Muhammad Yusuf Gelar Sampono Kayo sedang menggelar hajatan. Tamu-tamu memenuhi sekitar rumah tersebut. Namun ada yang berbeda. Semua tamu adalah laki-laki. Yang memasak pun laki-laki. Dan banyak tamu membawa parang, kelewang, kapak, dan linggis. Hari itu massa sudah berkumpul. Di dalam rumah, pemimpin sedang berembuk. Mereka menunggu kabar dari kerabat mereka, Limin, yang sejak kemarin sore diutus untuk bertemu Arif Fadhilah, tak jelas rimbanya.



Penentuan nasib pemberontakan pun ditetapkan. Sabtu, malam minggu, 31 Desember 1926, pemberontakan diputuskan akan berlangsung malam itu juga. Pukul 00.00, pemberontakan dilakukan. Massa diberikan selendang merah dan senjata tajam. Sebagian memakai ‘pisau ubi’ (pistol). Massa dibagi menjadi barisan inti dan barisan cadangan. Barisan inti sebagian terdiri dari anggota garnisun militer yang membelot, di bawah kendali Mayor Pontoh. Ikut bersama mereka anggota Sarekat Rakyat.

Mereka dipersiapkan untuk menyerang gedung-gedung pemerintahan dan Societeit kota Sawah Lunto. Barisan lain dipersiapkan untuk menyerang Muara Kalaban, sebuah nagari diantara Sawah Lunto dan Silungkang. Sisanya tetap di Silungkang, untuk membunuh pejabat pemerintah, kepala nagari dan orang-orang yang dianggap loyal pada pemerintah.

Catatan:

1.      Sumber tulisan https://www.kiblat.net/2016/10/03/pemberontakan-kaum-merah-di-silungkang

2.      Gambar diambil dari google

Usaha mengusir Penjajah Belanda oleh Kaum Merah di Silingkang Sumatra Barat

 (Bagian 1 dari 4 tulisan)

Setelah perang di Aceh memudar dan perang Imam Bonjol berakhir usaha anak negeri untuk mengusir penjajah Belanda tidak pernah pupus. Berbagai kelompok dan organisasi rakyat masih memendam tekat untuk mengusir Belanda yang menindas. Di Smatra yang cukup terkenal dalah pemberontan Kaum merah di Silungkang. Namanya kaum merah atau komunis namun mereka rata-rata adalah penganut islam. Dan bahkan banyak diantara mereka bergelar haji.

Seperti dilansir oleh Kiblat.Net  Sebelum Silungkang, pemanasan’ menuju pemberontakan bukan terjadi di Sumatera Barat saja. Tetapi sampai ke Aceh. Di Aceh propaganda komunisme, juga menempuh kisah yang sama.

Marxisme tak banyak diminati masyarakat Aceh kecuali bagi sejumlah orang non Aceh atau yang tak sepenuhnya berdarah Aceh di perkotaan. Namun ketika propaganda komunisme mengawinkan antara komunisme dengan Islam, dengan tujuan membebaskan orang-orang dari pajak dan kerja paksa serta menggelorakan penghancuran kompeni di seluruh Aceh dan Sumatera, oleh Partai Komunis, masyarakat segera menoleh.



Tahun 1924 terjadi pemberontakan Bakongan di satu kecamatan kecil di Selatan Aceh dan menewaskan 119 orang aceh dan 21 serdadu Belanda. Dua Pemimpinnya T. Raja Tampo dan Pang Karim diburu oleh Belanda. Di penghujung tahun 1925, sekitar 18 orang Aceh ditangkap setelah mereka berusaha menyerang transportasi Belanda di Blang Kejeren.

Di bulan Juni 1926, tangsi militer di Blang Kejeren menjadi direncanakan diserang, namun berhasil digagalkan. 62 orang ditangkap. Apa yang terjadi di Aceh segera disusul dengan lebih dahsyat di Minangkabau, tepatnya di Silungkang, tempat propaganda komunisme atau Islam revolusioner tumbuh subur.



Silungkang adalah wilayah di Sumatera Barat yang menjadi penghubung antara Padang dengan Sawah Lunto. Jarak dari Silungkang ke Padang 105 km, sedangkan dari Silungkang ke Sawah Lunto hanya 6 km saja. Sawah Lunto adalah sebuah wilayah pertambangan batubara Ombilin. Sawah Lunto menikmati posisi sebagai wilayah yang dilalui oleh jalur kereta api dari tambang Ombilin ke Teluk Bayur. Penduduk Silungkang sebagian berdagang dan menjadi maju. Para pedagang inilah yang kemudian menjadi orang-orang pertama yang menerima Sarekat Islam dan bergerak di dalamnya.


 Catatan:

1.      Sumber tulisan https://www.kiblat.net/2016/10/03/pemberontakan-kaum-merah-di-silungkang

2.      Gambar diambil dari google

Selasa, 10 November 2020

Perang Kedongdong Perang Terlama di Jawa yang Hampir Luput dari Sejarah

Kalau kita membirakan perang perlawanan mengusir Belanda di Jawa,  ingatan kita pasti pada perang Diponegoro yang berlansung tahun 1825 sampai 1830. Jarang orang membicarakan perang Kedongdong yang terjadi di daerah Cirebon. Perang berlansung lebih dari 20 tahun yang mendatangkan kerugian yang tidak sedikit kepada pemerintah Belanda. Kita tidak tahu kenapa perlawanan rakyat ini seperti dilupakan.


Perang diawali dengan kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang menetapkan pajak dengan nilai tinggi kepada rakyat, dinilai sebagai kebijakan yang sangat mencekik, karena saat itu rakyat berada pada kondisi yang miskin dan serba kesulitan.

Kebijakan ini mendapatkan tentangan yang sangat kuat dari rakyat, khususnya kaum santri. Saat itu mulailah terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda.

Pergolakan melawan belanda bertambah hebat, Setelah Pangeran Suryanegara, Putra Mahkota Sultan Kanoman IV menolak tunduk terhadap perintah kolonial Belanda.



Ia memutuskan untuk keluar dari keraton dan bergabung bersama rakyat untuk melakukan perlawanan. Di bawah pimpinan sang pangeran, semangat rakyat semakin membara sehingga pemberontakan sengit terjadi di mana-mana.

Pasukan Belanda pun semakin terdesak, mereka mengalami kekalahan perang yang sangat besar, bukan saja kehilangan ribuan nyawa prajuritnya, tapi juga kerugian sebesar 150.000 Gulden untuk mendanai perang tersebut.

Dalam keadaan putus asa menghadapi perlawanan rakyat di bawah pimpinan Pangeran Suryanegara, Belanda pun meminta tambahan pasukan.



Bahkan Belanda pun meminta bantuan dari pasukan Portugis yang berada di Malaka, untuk membantu mereka meredam perlawanan rakyat Cirebon.

Kedatangan enam kapal perang yang mengangkut bala bantuan pasukan Belanda, yang didukung oleh kekuatan tentara portugis di Pelabuhan Muara Jati, tidak membuat ciut perlawanan rakyat. Justru sebaliknya semangat perlawanan mereka semakin menjadi.

Pertempuran besar-besaran terjadi di Desa Kedongdong Kecamatan Susukan. Dalam pertempuran tersebut ribuan nyawa melayang, baik di pihak rakyat maupun Belanda.



Setelah menjalani pertempuran selama dua puluh tahun (1753-1773), akhirnya Belanda sadar bahwa mereka tidak bisa menghadapi perlawanan rakyat secara frontal.

Merekapun mencari cara untuk melumpuhkan semangat perlawanan rakyat. Salah satu caranya adalah menangkap Pangeran Kanoman, karena dibawah kepemimpinan sang pangeran semangat perlawanan rakyat semakin berkobar.

Akhirnya dengan segala tipu dayanya yang licik, Belanda dapat menangkap Pangeran Kanoman tersebut. Belanda pun menahannya di Batavia, kemudian mengasingkannya di Benteng Victoria Ambon.



Bukan itu saja, Belanda juga mencabut gelar dan hak kebangsawanan Pangeran Kanoman.

Setelah ditangkapnya sang pangeran, perlawanan rakyat semakin melemah. Sedikit demi sedikit pasukan Belanda berhasil menguasai pertempuran.

Walaupun luput dari catatan sejarah nasional, Perang Kedongdong ternyata memiliki arti tersendiri bagi Belanda.

Pertempuran yang memakan kerugian besar bagi Belanda, baik harta maupun nyawa itu, telah ditulis dalam sebuah kisah naratif oleh seorang prajurit Belanda bernama Van Der Kamp. Tulisan asli Van Der Kamp saat ini tersimpan di Perpustakaan Nasional Belanda.



Perlawanan yang diberikan oleh Pangeran Suryanegara beserta rakyat Cirebon dalam Perang Kedongdong, dapat kita setarakan dengan sengitnya perlawanan yang di berikan oleh Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol maupun Cut Nyak Dien.


 Catatan:

1.       Sumber bahan dari https://indocropcircles.wordpress.com/2014/01/04/inilah-perang-terlama-di-indonesia-yang-luput-dari-sejarah/

2.      Gambar diambil dari indocropcircles dan google.

Minggu, 08 November 2020

Mengenal Lebih Dekat Sheik Hassan Al-Banna dan Dukungannya Pada Kemerdekaan Republik Indonesia

Pada Perundingan Renvile Belanda Mengakui Republik Indonesia dengan wilayah hanya Sumatra, Jawa dan Madura. Meskipun perjanjian ini sangat merugikan pihak Indonesia, tetapi ini dimanfaatkan oleh para pemimpin kita untuk meminta pengakuan dunia Internasional untuk mengakui  Indonesia sebagai Negara yang berdaulat. Negara pertama yang memberi pengakuan adalah Mesir. Kemudian disusul oleh Negara-negara Arab lain.Sosok yang memegang peranan penting dari Negara-negara tersebut adalah Sheik Hassan Al-Banna


Sheikh Hassan Ahmed Abdel Rahman Muhammed al-Banna atau lebih dikenal sebagai Sheikh Hassan al-Banna (14 Oktober 1906 – 12 Februari 1949, umur 42 tahun), adalah cendekiawan Muslim dari Mesir pendiri Ikhwanul Muslimin, salah satu organisasi Islam terbesar dan berpengaruh pada Abad 20.

 Ketika Indonesia sudah memproklamirkan kemerdekaannya, tanpa lelah ia terus menyatakan dukungannya secara terus-menerus terhadap kemerdekaan Indonesia.

Dukungan tersebut ia salurkan melaui beberapa tulisan, berbagai tabligh akbar, dan demonstrasi yang terus digelar.

Kuatnya dukungan rajyat Mesir kepada kemerdekaan Indonesia, membuat pemerintah Mesir menyatakan kedaulatan Indonesia pada tanggal 22 Maret 1946. Dengan begitu, Mesir adalah negara pertama yang mendukung proklamasi dan mengakui kemerdekaan Indonesia.

Setelah itu menyusul Suriah, Irak, Libanon, Yaman, Saudi Arabia, dan Afghanistan yang mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Selain negara-negara tersebut, negara-negara di Liga Arab lainnya juga mengakui kemerdekaan Indonesia.

Melihat fenomena itu, majalah Time pada 25 Desember 1946 melakukan propaganda dengan menakut-nakuti barat dengan kebangkitan nasionalis Islam di Asia dan di dunia Arab.

Kebangkitan Islam di negara mayoritas Muslim terbesar di dunia seperti Indonesia ini, membuat inspirasi negara-negara di Arab dan Muslim lainnya, terutama yang belum merdeka, untuk juga membebaskan diri dari penjajahan oleh negara-negara Eropa.

Selain itu ia juga dikenal akan cara berdakwahnya yang sangat tidak biasa. Ia terkenal sangat tawadlu dikarenakan ia sering berdakwah di warung-warung kopi tempat oarang-orang yang berpengetahuan rendah berkumpul untuk minum-minum kopi sehabis lelah bekerja seharian. Dan ternyata cara tersebut memang lebih efektif dilakukan dalam berdakwah.


Hassan al-Banna yang lahir pada 14 Oktober 1906 di Mahmudiyya, Mesir (utara-barat dari Kairo). adalah seorang guru dan seorang reformis Mesir sosial dan politik Islam, yang terkenal karena mendirikan Ikhwanul Muslimin, salah satu dari abad ke-20 terbesar dan paling berpengaruh organisasi Islam revivalis. Kepemimpinan Al-Banna adalah penting bagi pertumbuhan persaudaraan selama tahun 1930-an dan 1940-an. Ketika Hassan al-Banna berusia dua belas tahun, ia mulai terbiasa mendislipinkan kegiatannya menjadi empat; siang hari di pergunakanya untuk menuntut ilmu di sekolah, kemudian belajar membuat dan membetulkan jam dengan orang tua nya hingga sore, waktu sore hingga menjelang tidur ia gunakan untu mengulang kembali pelajaran sekolah.sementara membaca dan mengulang-ulang hafalan al-qur'an ia lakukan seusai salat shubuh. Jadi tidak mengherankan bila Hassan Al-Banna mencetak prestasi-prestasi gemilang di kemudian hari. Pada usia 14 tahun, Hassan Al-Banna telah menghafal seluruh Al-Qur'an. Hassan Al-Banna lulus dari sekolahnya dengan predikat terbaik dan nomor lima terbaik di seluruh mesir. Pada usia 16 tahun ia telah menjadi mahasiswa di perguruan tinggi Darul Ulum. Demikianlah sederet prestasi Hassan kecil. Ayahnya, Syaikh Ahmad al-Banna, adalah seorang imam lokal yang dihormati dan guru masjid dari ritus Hanbali. Ia belajar di Al-Azhar University (Lia 24, 1998).



 Dia menulis dan berkolaborasi pada buku-buku tentang tradisi Islam, dan juga memiliki toko di mana ia memperbaiki jam tangan dan menjual gramofon. Meskipun Syaikh Ahmad Al Banna dan istrinya memiliki beberapa properti, mereka tidak kaya dan harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup, terlebih setelah mereka pindah ke Kairo pada tahun 1924. Seperti kebanyakan orang lainnya, mereka menemukan bahwa belajar Islam dan kesalehan tidak lagi sangat dihargai di ibu kota (akibat paham sekuler yang begitu kuat saat itu, yang dibawa oleh kolonial inggris untuk merobohkan semangat kaum muslimin), dan bahwa keahlian tidak bisa bersaing dengan industri berskala besar.



Berdirinya organisasi Ikhwanul Muslimin bertepatan dengan tanggal 20/maret/1928. Bersama keenam temannya, Hassan Al-Banna mendirikan organisasi ini (Ikhwanul Muslimin) di kota Ismailiyah.

Pertumbuhan masyarakat terutama diucapkan setelah Al-Banna dipindahkan kantor pusatnya ke Kairo pada tahun 1932. Faktor paling penting yang membuat ekspansi ini dramatis mungkin adalah kepemimpinan organisasi dan ideologis yang disediakan oleh Al-Banna. Dalam Ismailia, di samping kelas hari, dia melakukan niatnya memberi kuliah malam kepada orang tua muridnya. Dia juga berkhotbah di masjid, dan bahkan di warung kopi. Pada awalnya, beberapa pandangannya tentang poin yang relatif kecil dari praktik Islam menyebabkan perbedaan pendapat yang kuat dengan elit agama setempat, dan ia mengadopsi kebijakan menghindari kontroversi agama. Dia terkejut oleh banyak tanda-tanda mencolok dominasi militer dan ekonomi asing di Isma'iliyya: kamp-kamp militer Inggris, bidang pelayanan umum yang dimiliki oleh kepentingan asing, dan tempat tinggal mewah dari karyawan asing dari Terusan Suez Perusahaan, sebelah jorok tempat tinggal dari pekerja Mesir.

Dia berusaha untuk membawa perubahan, dia berharap untuk melalui lembaga-gedung, aktivisme tanpa henti di tingkat akar rumput, dan bergantung pada komunikasi massa.Dia melanjutkan untuk membangun sebuah gerakan massa yang kompleks yang menampilkan struktur pemerintahan canggih; bagian yang bertanggung jawab untuk melanjutkan nilai-nilai masyarakat di kalangan petani, buruh, dan profesional; unit dipercayakan dengan fungsi-fungsi kunci, termasuk propagasi pesan, penghubung dengan dunia Islam, dan tekan dan terjemahan, dan komite khusus untuk urusan keuangan dan hukum.



Dalam penahan ini organisasi ke dalam masyarakat Mesir, Al-Banna mengandalkan jaringan sosial yang sudah ada (ikhanul muslimin), khususnya yang dibangun di sekitar masjid, asosiasi kesejahteraan Islam, dan kelompok-kelompok lingkungan. Tenun ini ikatan tradisional menjadi struktur khas modern pada akar kesuksesannya. Langsung terpasang bagi persaudaraan, dan makan ekspansi, dilakukan berbagai usaha, klinik, dan sekolah. Selain itu, anggota yang berafiliasi dengan gerakan melalui serangkaian sel, usar revealingly disebut families tunggal: usrah. 


Materi, dukungan sosial dan psikologis yang diberikan instrumental sehingga kemampuan gerakan untuk menghasilkan loyalitas yang sangat besar di antara para anggotanya dan untuk menarik anggota baru. Layanan dan struktur organisasi masyarakat sekitar yang dibangun tersebut dimaksudkan untuk memungkinkan individu untuk berintegrasi ke dalam pengaturan jelas Islam, prinsip-prinsip sendiri dibentuk oleh masyarakat.



Berakar dalam Islam, pesan Al-Banna ditangani masalah termasuk kolonialisme, kesehatan masyarakat, kebijakan pendidikan, manajemen sumber daya alam, Marxisme, kesenjangan sosial, nasionalisme Arab, kelemahan dunia Islam di kancah internasional, dan konflik yang berkembang di Palestina. Dengan menekankan keprihatinan yang menarik berbagai konstituen, Al-Banna mampu merekrut dari antara bagian-lintas masyarakat Mesir - meskipun pegawai negeri modern-berpendidikan, karyawan kantor, dan profesional tetap dominan di kalangan aktivis organisasi dan pengambil keputusan. Al-Banna juga aktif dalam menentang imperialisme Inggris di Mesir. Selama Perang Dunia II, ia sempat ditangkap oleh pemerintah pro-Inggris, yang melihatnya sebagai subversif.

Antara 1948 dan 1949, tidak lama setelah masyarakat mengirim relawan untuk bertempur dalam perang di Palestina, konflik antara monarki dan masyarakat mencapai puncaknya. Prihatin dengan meningkatnya ketegasan dan popularitas persaudaraan, serta dengan desas-desus bahwa itu merencanakan kudeta, Perdana Menteri Mahmoud sebuah-Nukrashi Pasha membubarkan itu pada bulan Desember 1948. Aktivis organisasi yang ditangkap dan puluhan anggotanya yang dikirim ke penjara. Kurang dari tiga minggu kemudian, perdana menteri dibunuh oleh seorang anggota persaudaraan, Abdul Majid Hasan Ahmad.

Setelah pembunuhan itu, Al-Banna segera mengeluarkan pernyataan mengutuk pembunuhan itu, yang menyatakan teror yang bukan cara yang bisa diterima dalam Islam. Hal ini pada gilirannya mendorong pembunuhan Al-Banna. Pada tanggal 12 Februari 1949 di Kairo, Al-Banna di kantor pusat Jamiyyah al-Shubban al-Muslimin dengan saudaranya iparnya Abdul Karim Mansur untuk bernegosiasi dengan Menteri Zaki Ali Basha yang mewakili pihak pemerintah. Menteri Zaki Ali Basha tidak pernah tiba. 5 jam malam Al-Banna dan saudaranya iparnya memutuskan untuk pergi. Pembunuhan itu terjadi ketika Al-Banna dan saudaranya sedang menunggu taksi.

Saat mereka berdiri menunggu taksi, mereka ditembak oleh dua orang. Al-Banna terkena tujuh tembakan. Dia dibawa ke rumah sakit dan mereka telah menerima perintah dari monarki untuk tidak memberinya perawatan di mana ia meninggal dalam kematian lambat dari luka-luka, Hassan Al-Banna menyadari bahwa mereka telah diperintahkan untuk tidak memperlakukan dia dan dia membuat 3 doa terhadap Monarki. Hassan Al-Banna wafat pada tanggal 12 Februari 1949.


Hassan al-Banna dikenal memiliki dampak yang besar dalam pemikiran Islam modern. Dia adalah kakek dari Tariq Ramadan dan kakak Gamal al-Banna. Untuk membantu menguduskan tatanan Islam, al-Banna menyerukan melarang semua pengaruh Barat dari pendidikan dan memerintahkan semua sekolah dasar harus menjadi bagian dari masjid. Dia juga menginginkan larangan partai politik dan lembaga demokrasi lainnya dari Syura (Islam-dewan) dan ingin semua pejabat pemerintah untuk memiliki belajar agama sebagai pendidikan utama.

 

Catatan:

1.     Sumber tulisan https://indocropcircles.wordpress.com/2017/11/07/orang-orang-asing-yang-bantu-perjuangan-kemerdekaan-indonesia/ dan https://id.wikipedia.org/wiki/Hasan_al-Banna

2.     Gambar diambil dari google