Sabtu, 11 Juni 2022

Harimau Berpartisipasi Mengawal Rombongan PDRI yang Bergerilya di Hutan Sumatra


 Tidak lama setelah ibu kota RI di Yogyakarta dikuasai Belanda dalam Agresi Militer Belanda II, Belanda berulangkali menyiarkan berita bahwa RI sudah bubar. Karena para pemimpinnya, seperti SoekarnoHatta dan Syahrir sudah menyerah dan ditahan.



Mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki ibu kota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19 Desember sore hari, Mr. Syafruddin Prawiranegara bersama Kol. Hidayat, Panglima Tentara dan Teritorium Sumatra, mengunjungi Mr. Teuku Mohammad Hasan, Gubernur Sumatra/Ketua Komisaris Pemerintah Pusat di kediamannya, untuk mengadakan perundingan. Malam itu juga mereka meninggalkan Bukittinggi menuju Halaban, daerah perkebunan teh, 15 Km di selatan kota Payakumbuh. Hasil pertemuan itulah lahirnya PDRI

Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) adalah penyelenggara pemerintahan Republik Indonesia sejak 22 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949, dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara yang disebut juga dengan Kabinet Darurat.[1] Sesaat sebelum pemimpin Indonesia saat itu, Soekarno dan Hatta ditangkap Belanda pada tanggal 19 Desember 1948, mereka sempat mengadakan rapat dan memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan sementara

Semenjak itu mulai lah perjuangan kemedekaan Indonesia secara gerilya. Kalau di Jawa terkenal dengan pimpinannya Panglima Besar Sudirman. Sedangkan di Sumatra Pimpinan PDRI terlibat lansung dalam perjuangan itu.



Perjuangan grilya tentu saja sangat berat dan penuh penderitaan. Namun disamping itu ada juga peristiwa aneh yang terjadi. Sepeti kisah berikut ini yang dikutip dari Langgam.id.

Dalam suatu kejadian Rombongan PDRI sedang menyusuri aliran Batang Hari ke hulu dari Sungai Dareh, rombongan kabinet Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) sampai di Abai Sangir pada 7 Januari 1949. Hari itu, tepat 72 tahun yang lalu dari hari ini, Kamis (7/1/2021).

Berbeda dengan gerilya sebelumnya dari Halaban ke Bangkinang dan selanjutnya ke Sungai Dareh, perjalanan kali ini punya tantangan berbeda. Sejumlah buku mencatat, salah satu rombongan PDRI diikuti seekor harimau Sumatra dalam perjalanan dari Sungai Dareh (kini wilayah Kabupaten Dharmasraya) ke Abai Sangir (kini wilayah Solok Selatan) tersebut.

Sejarawan Mestika Zed dalam Buku “Somewhere in The Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia” (1997) menulis, perjalanan menempuh hutan belantara rombongan yang dipimpin Wakil Ketua PDRI Teuku Mohammad Hasan, terasa mencekam.

“Suasana ketakutan juga muncul dari kejadian-kejadian aneh, salah satu diantaranya, selama perjalanan, anggota rombongan PDRI selalu dikuti oleh harimau,” tulis Mestika.

Ajip Rosidi dalam Biografi “Sjafruddin Prawirangegara: Lebih Takut kepada Allah SWT” (1986) menulis, selama perjalanan rombongan Mr. Teuku M. Hasan yang melalui jalur darat diikuti oleh seekor harimau dari jarak kira – kira 20 meter saja. “Harimau itu bertingkah ganjil: dia berjalan kalau rombongan berjalan, tetapi berhenti kalau rombongan berhenti,” tulisnya.

Karena tak menggangu, tulis Ajip, sejumlah anggota rombongan menyimpulkan, harimau itu ingin mengawal dan menjaga keselamatan para pejuang kemerdekaan tersebut. “Di antara anggota rombongan ada yang menganggap bahwa harimau itu tidak lain adalah inyiak (datok) yang mengawal anggota rombongan demi keselamatan mereka dalam perjalanan. Kesimpulan demikian menimbulkan rasa tenteram di hati para anggota rombongan,” kata Mestika.



Medan yang ditempuh oleh rombongan Hasan, menurutnya, juga berat. Para pejuang tersebut menghindari jalan kampung yang terbuka, karena khawatir kembali ditembaki “cocor merah” Belanda seperti dalam perjalanan sebelumnya.



Lebih dua pekan sebelumnya, Bukittinggi, Sumatra Barat dibom pesawat-pesawat Belanda dalam Agresi Militer II pada 19 Desember 1948. Hal yang membuat para tokoh tersebut mendirikan PDRI dan mundur ke Halaban, Kabupaten Limapuluh Kota, pada 21 Desember.

Peristiwa pengawalan oleh harimau ini menurut Edison Datuak Pucuak, salah satu guru Silek (Silat) Pangean Sungai Dareh dalam seminar “Dharmasraya di Lintasan PDRI” yang digelar Pemkab Dharmasraya pada Kamis (2/1/2020) menyebut, fenomena harimau yang mengawal rombongan pejuang, merupakan bagian dari kearifan lokal masyarakat setempat.

Menurutnya, jalur yang dilalui rombongan PDRI tersebut memang lintasan harimau Sumatra. Bila berniat baik, menurutnya, harimau tak akan mengganggu, malah akan membantu menunjukkan jalan bila tersesat. Ia percaya, rombongan PDRI kala itu, dibantu oleh para tetua silek Pangean.

Catatan :

1.    Sumber tulisan https://langgam.id/kisah-harimau-kawal-gerilya-pdri-dari-sungai-dareh-ke-abai-sangir/

2.     Tulisan juga dilengkapi  dari https://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_Darurat_Republik_Indonesia

3.     Gambar diambil dari google.

 

 

Jumat, 22 April 2022

Serangan Umum 1 Maret 1949 yang Menggemparkan Belanda dan Dunia (Part 4)

Kontraversi Inisiator Serangan Umum

Serangan umum yang dianggap sukses dan berhasil menimbulkan kepercayaan anggota PBB bahwa republic Indonesia yang di klaim Belanda telah terkubur dalam tanah, masih eksis. Belanda menjadi sorotan dan belanda merasa kecolongan dan tidak  menyangka TNI yang telah mereka lumpuhkan berhasil merebut kembali Yogyakarta walaupun hanya 6 jam.



 Yang namanya keberhasilan perjuangan, banyak yang mengaku dialah yang memegang andil utama keberhasilan itu. Dan akhir-akhir ini masalah siapa inisiator penyerangan ini menjadi hal yang panas. Ada tendensi rezim yang berkuasa yang orang-orangnya nota bene belum eksis atau belum lahir ketika peristiwa itu terjadi seolah ingin mengurangi atau menghilangkan peran Pak Harto yang sekian tahun setelah dia lengser banyak kalangan dialah contoh presiden yang kebijakannya benar-benar memihak rakyat. Maka dalam bagian ke -4 ini akan kita bahas beberapa kontra versi tersebut. Dikutip dari https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5972159/ragam-versi-sejarah-inisiator-serangan-umum-1-maret-1949/1 sebagai berikut :

 

Soeharto



Masa Orde Baru, Soeharto ditonjolkan sebagai tokoh sentral dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Tokoh yang kemudian menjadi Presiden RI selama 32 tahun tersebut, kala itu merupakan Komandan Wehrkreise III sekaligus Brigade X dengan pangkat letnan kolonel.

Soeharto membawahi wilayah Yogyakarta dengan markas di Desa Segoroyoso, Bantul. Ketika serangan terjadi Soeharto memegang kendali atas tujuh Subwehrkreise (SWK). Peranan Soeharto tersebut dimunculkan dalam berbagai buku sejarah, buku sekolah, hingga film.

Salah satunya berjudul Janur Kuning yang diproduksi pada 1979. Aktor Kaharuddin Syah memerankan tokoh Letkol Soeharto dalam film yang disutradarai Alam Surawidjaya itu.

Sultan Hamengku Buwono IX



Dalam buku Tahta Untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, salah satu penulisnya Kustiniyati Mochtar menyebut Sultan Hamengku Buwono IX adalah pencetus ide Serangan Umum 1 Maret.

Saat itu kondisi Yogyakarta sangat tidak kondusif di bawah tekanan kekuasaan Belanda. Seperti diketahui sejak Januari 1946, Yogyakarta adalah ibu kota Indonesia. Sultan sebagai pemimpin tertinggi keraton saat itu harus mengambil langkah menyambut forum PBB pada Februari 1949 demi menarik perhatian internasional atas eksistensi Indonesia.




Ide pun didapatkan Sultan Hamengku Buwono IX dan segera melakukan eksekusi. Sultan menghubungi Panglima Besar Soedirman untuk meminta persetujuan dan memanggil Letnan Kolonel Soeharto sebagai komandan gerilya.

Dalam pertemuan di kompleks Keraton pada 13 Februari 1949, Letnan Kolonel Soeharto menyanggupi tugas tersebut. Serangan Umum dilakukan pada 1 Maret 1949 pagi hari saat jam malam usai.

Naskah akademik Keppres Nomor 2/2022 mengutip wawancara dengan Sultan Hamengku Buwono IX dalam buku Gelora Api Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah (Colin Wild dan Peter Carey). Sultan mengatakan:

"Pada permulaan Februari saya mengirim surat kepada Pak Dirman, minta izin agar supaya diadakan suatu serangan umum, akan tetapi pada siang hari, sudah barang tentu dengan segala resiko yang ada pada suatu serangan. Ini disetujui oleh Pak Dirman dan dinyatakan agar supaya saya berhubungan langsung dengan komandan yang bersangkutan, yaitu Soeharto, sekarang Presiden kita."


Catatan TB Simatupang



Buku Laporan dari Banaran: Kisah Pengalaman Seorang Prajurit Selama Perang Kemerdekaan yang ditulis T.B. Simatupang mengungkap sejumlah cuplikan penting menjelang 1 Maret 1949.
Simatupang menuliskan pada 18 Februari 1949, Kolonel Bambang Sugeng yang saat itu menjabat Gubernur Militer daerah Yogyakarta-Kedu-Banyumas-Pekalongan-sebagian Semarang datang dan menginap di Banaran, Gunung Kidul.

Dusun Banaran terletak di punggung pegunungan Menoreh. Di tempat ini, prajurit TNI yang bergerilya karena Agresi Militer Belanda membangun markas pertahanan.




Kolonel TB Simatupang yang saat itu menjabat Wakil Kepala Staf Angkatan Perang menggambarkan Sugeng sebagai sosok yang emosional. Menurut Simatupang, bagi Sugeng yang juga Panglima Divisi III itu tidaklah memuaskan apabila Yogyakarta nanti dikembalikan begitu saja kepada Indonesia.

"Idenya ialah: Yogya harus direbut dengan senjata. Paling sedikit dia ingin bahwa Yogyakarta kita serang secara besar-besaran, agar menjadi jelas bagi sejarah bahwa sekalipun Yogyakarta ditinggalkan oleh Belanda, namun kita tidak menerima kota itu sebagai hadiah saja. Paling sedikit dia mau membuktikan bahwa kita mempunyai kekuatan untuk menjadikan kedudukan Belanda di kota tidak tertahan (onhoudbaar)," tulis Simatupang.

Simatupang pun menyebut saat itu, hari dan cara penyerahan Yogyakarta kepada Indonesia belum ditentukan, sehingga masih ada cukup waktu untuk melancarkan serbuan atas Yogyakarta.




"Sama sekali tidak ada larangan untuk menyerang dan ditinjau dari segi diplomasi, maka saya anggap bahwa setiap serangan yang spektakuler, justru akan dapat memperkuat kedudukan kita."

Dalam catatannya, Simatupang juga menuliskan pada 1 Maret 1949, dirinya berada di Wiladeg, Gunung Kidul. Di desa ini, ia bertemu sejumlah Staf Penerangan Pusat Pemerintah di Jawa. Menurut Simatupang, mereka sedang menunggu kabar dari Yogyakarta, sebab hari itu pasukan-pasukan kita akan melancarkan serangan umum atas kota.

"Inilah serangan yang beberapa waktu lalu telah saya bicarakan dengan Bambang Sugeng di Banaran. Saudara Sumali dan Dipokusumo telah bersiap-siap untuk menyiarkan serangan umum ini melalui pemancar radio ke Sumatra dan New Delhi, yang akan menyiarkan berita itu kepada dunia," tulis Simatupang.

Kesaksian Letkol dr. Wiliater Hutagalung



Menurut kesaksian Letkol dr. Wiliater Hutagalung, serangan khusus terhadap Yogyakarta baru diputuskan tanggal 18 Februari 1949 dalam rapat Divisi III di lereng Gunung Sumbing yang dipimpin Kolonel Bambang Sugeng.
Hal ini diungkapkan putra Wiliater, Batara Richard Hutagalung dalam keterangannya pada detikEdu. Batara bilang, "Sebelumnya, belum ditetapkan kota mana yang akan diserang. Namun, Panglima Besar Jenderal Soedirman sudah mengeluarkan perintah serangan besar-besaran untuk memperkuat delegasi Indonesia di DK PBB."




Saat itu , Letkol dr Wiliater adalah perwira teritorial di Jawa Tengah dan tim dokter Jenderal Soedirman. Adapun menurut A.H. Nasution dalam bukunya menyebut Wiliater adalah penasihat Gubernur Militer Kolonel Bambang Sugeng.


Rencana menyusun serangan itu, menurut Batara merupakan buntut dari Agresi Militer II Belanda. Tanggal 28 Januari 1949 DK PBB mengeluarkan resolusi yang isinya menyerukan Belanda menghentikan aksi militer dan melepaskan tanpa syarat pemimpin republik untuk maju ke meja perundingan yang difasilitasi PBB.

DK PBB juga mengumumkan sidang selanjutnya akan digelar pada 10 Maret 1949. "Belanda menolak resolusi itu dengan menyatakan Republik Indonesia dan pendukung bersenjatanya sudah tidak ada," ujar Batara.

Menurut Batara, prajurit TNI yang sedang bergerilya di gunung-gunung termasuk Soedirman pun bisa mengetahui situasi tersebut lewat radio gelap. "Otomatis perintah komandan yakni memberi perintah serangan sebelum 10 Maret untuk menunjukkan kita masih ada," ujarnya.




Sekitar akhir Januari atau awal Februari 1949, Soedirman mengadakan rapat dadakan di dekat Pacitan. Wiliater turut hadir dalam rapat tersebut. Soedirman meminta Letkol Wiliater turut membantu menyusun strategi penyerangan.

Wiliater kemudian kembali ke markas Divisi III di lereng gunung Sumbing untuk membawa pesan Panglima Besar. Kolonel Bambang akhirnya menggelar rapat yang juga dihadiri oleh Komandan Wehrkreise II Letnan Kolonel Sarbini.

"Tanggal 18 Februari diadakan rapat di Markas Divisi III di bawah komando Bambang Sugeng. Disampaikan gagasan dari Wiliater untuk menyerang satu kota dengan serangan spektakuler. Kolonel Bambang bersikeras yang harus diserang itu Yogyakarta. Itu baru diputuskan siangnya," ujar Batara.

Setelah pertemuan, Kolonel Bambang Sugeng bergegas menuju Banaran, markas Kolonel TB Simatupang. Di Banaran, hari itu juga pukul 20.00, Kolonel Bambang Sugeng mengeluarkan Instruksi Rahasia pada Komandan Wehrkreise I Letnan Kolonel M. Bachrun.




Wilayah Letkol Bachrun meliputi Karesidenan Pekalongan, Banyumas, dan Wonosobo dengan markas di Desa Makam.

Isinya berbunyi: "Berkenaan dengan Instruksi Rahasia yang diberikan pada Cdt. Daerah III Let.Koln. Soeharto untuk mengadakan gerakan serangan besar-besaran terhadap Ibukota yang akan dilakukan antara tanggal 25/II/1949 s/d. 1/III/1949 dengan menggunakan bantuan pasukan dari Brigade IX.

Dengan ini diperintahkan kepada Commandant Daerah I untuk pada waktu yang bersamaan dengan tanggal tersebut di atas mengadakan serangan-serangan serentak terhadap salah satu objek musuk di daerah I untuk mengikat perhatian musuh dan mencegah bala bantuan untuk Yogyakarta."




Setelah menginap semalam di Banaran, Kolonel Bambang Sugeng dua kali bertemu dengan Letkol Soeharto. "Karena takut bocor, maka diputuskan perintah yang sangat penting harus disampaikan langsung oleh komandan pada bawahan langsung," ujar Batara.

Pertemuan pertama itu dilakukan di Brosot pada 19 Februari 1949 di sebuah gubuk di tengah sawah yang dihadiri Kolonel Bambang Sugeng, Letkol dr. Wiliater Hutagalung bersama ajudannya Letnan Amron Tanjung, Letkol Soeharto bersama ajudannya.

"Disampaikan perintah langsung pada Letkol Soeharto untuk mempersiapkan penyerangan terhadap Yogyakarta, karena daerah tersebut berada di bawah Wehrkreise III," ujar Batara.

Batara melanjutkan, "Kalau misalnya komandannya Sarbini, ya Sarbini yang dapat perintah. Jadi kalau ditanya mengapa Soeharto yang menyerang? Ya karena dia komandan Wehrkreise III. Simpel."

Beberapa hari kemudian Kolonel Sugeng dan Letkol Soeharto bertemu lagi di Panjatan. Dalam pertemuan itu, kata Batara, Soeharto melaporkan segala sesuatu terkait persiapan pelaksanaan serangan umum.

Ujungnya pada 1 Maret 1949 meletuslah peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yang menggemparkan dunia internasional. Menurut Batara semua pihak punya peran dalam peristiwa tersebut. "Soedirman punya peran, Bambang Sugeng punya peran, Sarbini, Bachrun, Soeharto punya peran,' ujarnya.




Begitu juga dengan Sultan Hamengku Buwono IX sebagai penguasa sipil di daerah tersebut. Selain itu pendukung lain termasuk tenaga medis, dan yang menyedikan logistik pun berperan.
"Jadi menurut saya Keppres tersebut sebaiknya tidak menyebutkan satu nama pun untuk menjaga netralitas," ujar Batara
.


Catatan :

1.      Sumber tulisan https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5972159/ragam-versi-sejarah-inisiator-serangan-umum-1-maret-1949/3

2.      Gambar diambil dari google


 

Rabu, 30 Maret 2022

Serangan Umum 1 Maret 1949 yang Menggemparkan Belanda dan Dunia (Part 3)

Jalannya Serangan Umum

Tanggal 1 Maret 1949, pagi hari, serangan secara besar-besaran yang serentak dilakukan di seluruh wilayah Divisi III/GM III dimulai, dengan fokus serangan adalah Ibu kota Republik yakni kota Yogyakarta, serta koar-besaran oleh pasukan Brigade X yang diperkuat dengan satu Batalyon dari Brigade IX, sedangkan serangan terhadap pertahanan Belanda di Magelang dan penghadangan di jalur [[Magelta-kota di sekitar Yogyakarta, terutama Magelang, sesuai Instruksi Rahasia yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng kepada Komandan Wehrkreis I, Letkol Bahrun dan Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini.



  Pada saat yang bersamaan, serangan juga dilakukan di wilayah Divisi II/GM II, dengan fokus penyerangan adalah kota Surakarta, guna mengikat tentara Belanda dalam pertempuran agar tidak dapat mengirimkan bantuan ke Yogyakarta.

Pos komando ditempatkan di desa Muto. Pada malam hari menjelang serangan umum itu, pasukan telah merayap mendekati kota dan dalam jumlah kecil mulai disusupkan ke dalam kota. Pagi hari sekitar pukul 06.00, sewaktu sirene dibunyikan serangan segera dilancarkan ke segala penjuru kota. Dalam penyerangan ini Letkol Soeharto langsung memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas Malioboro. Sektor Timur dipimpin Ventje Sumual, sektor selatan dan timur dipimpim Mayor Sardjono, sektor utara oleh Mayor Kusno. Sedangkan untuk sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki sebagai pimpinan. TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Tepat pukul 12.00 siang, sebagaimana yang telah ditentukan semula,seluruh pasukkan TNI mundur



Serangan terhadap kota Surakarta yang juga dilakukan secara besar-besaran, dapat menahan Belanda di Surakarta sehingga tidak dapat mengirim bantuan dari Surakarta ke Yogyakarta, yang sedang diserang secara besar-besaran – Yogyakarta yang dilakukan oleh Brigade IX, hanya dapat memperlambat gerak pasukan bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tentara Belanda dari Magelang dapat menerobos hadangan gerilyawan Republik, dan sampai di Yogyakarta sekitar pukul 11.00.

Kerugian di kedua belah pihak



Dari pihak Belanda, tercatat 6 orang tewas, dan di antaranya adalah 3 orang anggota polisi; selain itu 14 orang mendapat luka-luka. Segera setelah pasukan Belanda melumpuhkan serangan terebut, keadaan di dalam kota menjadi tenteram kembali. Kesibukan lalu-lintas dan pasar kembali seperti biasa, malam harinya dan hari-hari berikutnya keadaan tetap tenteram.

Pada hari Selasa siang pukul 12.00 Jenderal Meier (Komandan teritorial merangkap komandan pasukan di Jawa Tengah), Dr. Angent (Teritoriaal Bestuurs-Adviseur), Kolonel van Langen (komandan pasukan di Yogyakarta) dan Residen Stock (Bestuurs-Adviseur untuk Yogyakarta) telah mengunjungi kraton guna membicarakan keadaan dengan Sri Sultan.



Dalam serangan terhadap Yogyakarta, pihak Indonesia mencatat korban sebagai berikut: 300 prajurit tewas, 53 anggota polisi tewas, rakyat yang tewas tidak dapat dihitung dengan pasti. Menurut majalah Belanda De Wappen Broeder terbitan Maret 1949, korban di pihak Belanda selama bulan Maret 1949 tercatat 200 orang tewas dan luka-luka.

Perkembangan setelah Serangan Umum 1 Maret



Mr. Alexander Andries Maramis, yang berkedudukan di New Delhi menggambarkan betapa gembiranya mereka mendengar siaran radio yang ditangkap dari Burma, mengenai serangan besar-besaran Tentara Nasional Republik Indonesia terhadap Belanda. Berita tersebut menjadi Headlines di berbagai media cetak yang terbit di India. Hal ini diungkapkan oleh Mr. Maramis kepada dr. W. Hutagalung, ketika bertemu pada tahun 50-an di Pulo MasJakarta.



Serangan Umum 1 Maret mampu menguatkan posisi tawar dari Republik Indonesia, mempermalukan Belanda yang telah mengklaim bahwa RI sudah lemah. Tak lama setelah Serangan Umum 1 Maret terjadi Serangan Umum Surakarta yang menjadi salah satu keberhasilan pejuang RI yang paling gemilang karena membuktikan kepada Belanda, bahwa gerilya bukan saja mampu melakukan penyergapan atau sabotase, tetapi juga mampu melakukan serangan secara frontal ke tengah kota Solo yang dipertahankan dengan pasukan kavelerie, persenjataan berat - artileri, pasukan infantri dan komando yang tangguh. Serangan umum Solo inilah yang menyegel nasib Hindia Belanda untuk selamanya.

(Bersambung ke Serangan Umum Part 4)

 

Catatan :

1.      Artikel dikutip lansung dari https://id.wikipedia.org/wiki/Serangan_Umum_1_Maret_1949

2.      Gambar diambil dari google

 

 

Sabtu, 19 Maret 2022

Serangan Umum 1 Maret 1949 yang Menggemparkan Belanda dan Dunia (Part 2)

  


Selain itu sejak dikeluarkan Perintah Siasat tertanggal 1 Januari 1949 dari Panglima Divisi III/Gubernur Militer III untuk selalu mengadakan serangan terhadap tentara Belanda, telah dilancarkan beberapa serangan umum di wilayah Divisi III/GM III. Seluruh Divisi III dapat dikatakan telah terlatih dalam menyerang pertahanan tentara Belanda.

Selain itu, sejak dimulainya perang gerilya pimpinan pemerintah sipil dari mulai Gubernur Wongsonegoro serta para Residen dan Bupati selalu diikutsertakan dalam rapat dan pengambilan keputusan yang penting dan kerjasama selama ini sangat baik. Oleh karena itu, dapat dipastikan dukungan terutama untuk logistik dari seluruh rakyat.



Selanjutnya dibahas, pihak-pihak mana serta siapa saja yang perlu dilibatkan, akan dicari beberapa pemuda berbadan tinggi dan tegap, lancar berbahasa BelandaInggris atau Prancis dan akan dilengkapi dengan seragam perwira TNI dari mulai sepatu sampai topi. Mereka sudah harus siap di dalam kota, dan pada waktu penyerangan telah dimulai, mereka harus masuk ke Hotel Merdeka guna menunjukkan diri kepada anggota-anggota UNCI serta wartawan-wartawan asing yang berada di hotel tersebut. Kolonel Wiyono, Pejabat Kepala Bagian PEPOLIT Kementerian Pertahanan yang juga berada di Gunung Sumbing akan ditugaskan mencari pemuda-pemuda yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, terutama yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris


.

Hal penting yang kedua adalah, dunia internasional harus mengetahui adanya Serangan Tentara Nasional Indonesia terhadap tentara Belanda, terutama terhadap Yogyakarta, Ibu kota Republik. Dalam menyebarluaskan berita ini ke dunia internasional maka dibantu oleh Kol. T.B. Simatupang yang bermarkas di Pedukuhan Banaran, desa Banjarsari, untuk menghubungi pemancar radio Angkatan Udara RI (AURI) di Playen, dekat Wonosari, agar setelah serangan dilancarkan berita mengenai penyerangan besar-besaran oleh TNI atas Yogyakarta segera disiarkan.

Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, TB Simatupang lebih kompeten menyampaikan hal ini kepada pihak AURI daripada perwira Angkatan Darat. Diperkirakan apabila Belanda melihat bahwa Yogyakarta diserang secara besar-besaran, dipastikan mereka akan mendatangkan bantuan dari kota-kota lain di Jawa Tengah, dimana terdapat pasukan Belanda yang kuat seperti MagelangSemarang dan Solo. Jarak tempuh (waktu itu) Magelang - Yogya hanya sekitar 3 - 4 jam saja; Solo - Yogya, sekitar 4 - 5 jam, dan Semarang - Yogya, sekitar 6 - 7 jam. Magelang dan Semarang (bagian Barat) berada di wilayah kewenangan Divisi III GM III, dan Solo berada di bawah wewenang Panglima Divisi II/GM II Kolonel Gatot Subroto. Oleh karena itu, serangan di wilayah Divisi II dan III harus dikoordinasikan dengan baik sehingga dapat dilakukan operasi militer bersama dalam kurun waktu yang ditentukan, sehingga bantuan Belanda dari Solo dapat dihambat, atau paling tidak dapat diperlambat.



Pimpinan pemerintahan sipil, Gubernur Wongsonegoro, Residen Budiono, Residen Salamun, Bupati Sangidi dan Bupati Sumitro Kolopaking ditugaskan untuk mengkoordinasi persiapan dan pasokan perbekalan di wilayah masing-masing. Pada waktu bergerilya, para pejuang sering harus selalu pindah tempat, sehingga sangat tergantung dari bantuan rakyat dalam penyediaan perbekalan. Selama perang gerilya, bahkan Camat, Lurah serta Kepala Desa sangat berperan dalam menyiapkan dan memasok perbekalan (makanan dan minuman) bagi para gerilyawan. Ini semua telah diatur dan ditetapkan oleh pemerintah militer setempat.

Untuk pertolongan dan perawatan medis, diserahkan kepada PMI. Peran PMI sendiri juga telah dipersiapkan sejak menyusun konsep Perintah Siasat Panglima Besar. Dalam konsep Pertahanan Rakyat Total - sebagai pelengkap Perintah Siasat No. 1 - yang dikeluarkan oleh Staf Operatif (Stop) tanggal 3 Juni 1948, butir 8 menyebutkan: Kesehatan terutama tergantung kepada Kesehatan Rakyat dan P.M.I. karena itu evakuasi para dokter dan rumah obat mesti menjadi perhatian.



Walaupun dengan risiko besar, Sutarjo Kartohadikusumo, Ketua DPA yang juga adalah Ketua PMI (Palang Merah Indonesia), mengatur pengiriman obat-obatan bagi gerilyawan di front. Beberapa dokter dan staf PMI kemudian banyak yang ditangkap oleh Belanda dan ada juga yang mati tertembak sewaktu bertugas. Setelah rapat selesai, Komandan Wehrkreise II dan para pejabat sipil pulang ke tempat masing-masing guna mempersiapkan segala sesuatu, sesuai dengan tugas masing-masing. Kurir segera dikirim untuk menyampaikan keputusan rapat di Gunung Sumbing pada 18 Februari 1949 kepada Panglima Besar Sudirman dan Komandan Divisi II/Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto.



Sebagaimana telah digariskan dalam pedoman pengiriman berita dan pemberian perintah, perintah yang sangat penting dan rahasia, harus disampaikan langsung oleh atasan kepada komandan pasukan yang bersangkutan. Maka rencana penyerangan atas Yogyakarta yang ada di wilayah Wehrkreise I di bawah pimpinan Letkol. Suharto, akan disampaikan langsung oleh Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng. Kurir segera dikirim kepada Komandan Wehrkreise III/Brigade 10, Letkol. Suharto, untuk memberitahu kedatangan Panglima Divisi III serta mempersiapkan pertemuan. Diputuskan untuk segera berangkat sore itu juga guna menyampaikan grand design kepada pihak-pihak yang terkait. Ikut dalam rombongan Panglima Divisi selain Letkol. dr. Hutagalung, antara lain juga dr. Kusen (dokter pribadi Bambang Sugeng), Bambang Surono (adik Bambang Sugeng), seorang mantri kesehatan, seorang sopir dari dr. Kusen, Letnan Amron Tanjung (ajudan Letkol Hutagalung) dan beberapa anggota staf Gubernur Militer (GM) serta pengawal.



Pertama-tama rombongan singgah di tempat Kol. Wiyono dari PEPOLIT, yang bermarkas tidak jauh dari markas Panglima Divisi, dan memberikan tugas untuk mencari pemuda berbadan tinggi dan tegap serta fasih berbahasa BelandaInggris atau Prancis yang akan diberi pakaian perwira TNI. Menjelang sore hari, Panglima Divisi beserta rombongan tiba di Pedukuhan Banaran mengunjungi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kol. Simatupang. Selain anggota rombongan Bambang Sugeng, dalam pertemuan tersebut hadir juga Mr. M. Ali Budiarjo, yang kemudian menjadi ipar Simatupang.

Simatupang pada saat itu dimohonkan untuk mengoordinasi pemberitaan ke luar negeri melaui pemancar radio AURI di Playen dan di Wiladek, yang ditangani oleh Koordinator Pemerintah Pusat.Setelah Simatupang menyetujui rencana grand design tersebut, Panglima Divisi segera mengeluarkan instruksi rahasia yang ditujukan kepada Komandan Wehrkreise I Kolonel Bachrun, yang akan disampaikan sendiri oleh Kol. Sarbini.



Brigade IX di bawah komando Letkol Achmad Yani, diperintahkan melakukan penghadangan terhadap bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tanggal 19 Februari 1949. Panglima Divisi dan rombongan meneruskan perjalanan, yang selalu dilakukan pada malam hari dan beristirahat pada siang hari, untuk menghindari patroli Belanda. Penunjuk jalan juga selalu berganti di setiap desa. Dari Banaran rombongan menuju wilayah Wehrkreise III melalui pegunungan Menoreh untuk menyampaikan perintah kepada Komandan Wehrkreis III Letkol. SuhartoBambang Sugeng beserta rombongan mampir di Pengasih, tempat kediaman mertua Bambang Sugeng dan masih sempat berenang di telaga yang ada di dekat Pengasih (Keterangan dari Bambang Purnomo, adik kandung alm. Bambang Sugeng, yang kini tinggal di Temanggung). Pertemuan dengan Letkol. Suharto berlangsung di Brosot, dekat Wates. Semula pertemuan akan dilakukan di dalam satu gedung sekolah, namun karena kuatir telah dibocorkan, maka pertemuan dilakukan di dalam sebuah gubug di tengah sawah. Hadir dalam pertemuan tersebut lima orang, yaitu Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kol. Bambang Sugeng,



 Perwira Teritorial Letkol. dr. Wiliater Hutagalung beserta ajudan Letnan Amron Tanjung, Komandan Wehrkreise III/Brigade X Letkol. Suharto beserta ajudan. Kepada Suharto diberikan perintah untuk mengadakan penyerangan antara tanggal 25 Februari dan 1 Maret 1949. Kepastian tanggal baru dapat ditentukan kemudian, setelah koordinasi serta kesiapan semua pihak terkait, antara lain dengan Kol. Wiyono dari Pepolit Kementerian Pertahanan.

Setelah semua persiapan matang, baru kemudian diputuskan (keputusan diambil tanggal 24 atau 25 Februari), bahwa serangan tersebut akan dilancarkan tanggal 1 Maret 1949, pukul 06.00 pagi. Instruksi segera diteruskan ke semua pihak yang terkait.

Puncak serangan dilakukan dengan serangan umum terhadap kota Yogyakarta (ibu kota negara) pada tanggal 1 Maret 1949, dibawah pimpinan Letnan Kolonel Suharto, Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III

 

Catatan :

1.      Dikutip lansung dari https://id.wikipedia.org/wiki/Serangan_Umum_1_Maret_1949

2.      Gambar diambil dari google

(Bersambung ke Serangan Umum Part 3)