Perang perjuangan kemerdekaan Indonesia berlansung setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Banyak peristiwa menyedihkan dan menyayat perasaan yang dialami pejuang kemerdekaan Indonesia karena perlakuan Belanda yang diluar pri kemanusiaan. Ada yang berupa pembantaia, penyiksaan yang membuat rakyat sangat menderita.
Salah satu kekejaman Belanda itu adalah apa yang disebut
Peristiwa Gerbang Maut Bondowoso. Peristiwa gerbong maut merupakan suatu peristiwa kemanusiaan yang terjadi di Bondowoso pada saat pemindahan tahanan dari penjara Bondowoso menuju penjara Surabaya dengan menggunakan sarana
kereta api (gerbong kereta barang yang atapnya terbuat dari plat besi dan
tidak berventilasi) sehingga memakan banyak korban jiwa. Peristiwa itu
terjadi pada 23 November 1947 atau
beberapa bulan setelah Agresi Militer Belanda I, sebanyak 116 pejuang Indonesia
ditangkap Belanda.
Sesampainya mereka di Stasiun Bondowoso,
terdapat tiga buah gerbong barang yang menunggu para tawanan. Para tawanan
segera dimasukkan ke dalam gerbong. 36 tawanan dimasukkan ke gerbong pertama
GR5769, 34 tawanan di gerbong kedua GR4416, dan 30 orang lainnya berada di
gerbong ketiga GR10152.
Para tawanan yang berdesakan di dalam gerbong
barang yang tertutup rapat tersebut tidak kemudian berangkat. Mereka masih
harus menunggu dua jam hingga sekitar jam 7.30 untuk berangkat karena masih
menunggu kereta dari arah Situbondo. Siksaan tersebut tidak berhenti begitu
saja, setibanya mereka di Stasiun Kalisat terdapat bunyi ledakan granat dari
arah rel. Ledakan tersebut merupakan upaya sabotase yang dilakukan untuk
menggagalkan pemindahan, namun naas karena ledakan tersebut tidak memberikan
kerusakan pada gerbong kereta, maka kereta tetap berjalan dengan pengawasan
yang lebih ketat.
Gerbong yang sesak, tanpa udara membuat para
tawanan tersiksa. Ketika mereka menggedor gerbong untuk meminta air, pengawal
yang bertugas hanya menjawab "Air dan angin tidak ada, yang ada hanya
peluru". Mereka harus menahan panas dan haus selama kurang lebih tiga jam
karena kereta masih harus berhenti di Stasiun Jember.
Lega dirasa oleh para tawanan ketika terjadi
hujan lebat saat memasuki Stasiun Klakah, para tawanan yang masih hidup
berusaha untuk menjilat tetesan air yang masuk melalui lubang kecil di gerbong
barang yang tertutup rapat tersebut. Tetapi hal itu tidak berlaku bagi gerbong
ketiga GR10152 yang merupakan gerbong baru, sehingga masih belum ada lubang
yang dapat sedikit mengurangi haus para tawanan di dalam gerbong.
Memasuki Stasiun Probolinggo, terdengar keras
para tawanan yang memukul gerbong. disebutkan bahwa tahanan yang berada dalam
gerbong berteriak kepanasan. Selanjutnya diceritakan terdengar jeritan yang
mengatakan bahwa 30 orang tawanan telah mati, namun Belanda menjawab dengan
tenang "Biar mati semua, saya lebih senang daripada ada yang masih
hidup". Pertolongan yang mereka harapkan tidak akan pernah datang dari
para pengawal yang kejam.
Setelah menempuh perjalanan panjang, kereta
tiba di Stasiun Wonokromo pada pukul 22.00 yang merupakan pemberhentian
terakhir mereka. Ketika tiga gerbong tersebut dibuka, tidak seorang pun keluar
dari gerbong sebab tidak sanggup berdiri. Boerhanuddin dan Karsono (almarhum)
merangkak keluar dengan sisa tenaga dan mulai berteriak bahwa semua orang telah
tewas.
Korban Gerbong Maut
Boerhanuddin bercerita dalam buku Monumen
Perjuangan Jawa Timur (1986) bahwa beliau berlari mencari air untuk
diberikan kepada tawanan yang masih hidup. Kemudian tawanan yang masih hidup
tersebut diperintahkan untuk mengumpulkan korban yang telah gugur.
Tercatat terdapat 46 orang meninggal dunia, 12
orang sakit parah, 30 orang yang lemas tak berdaya, serta 12 orang saja yang
dapat dikatakan sehat. Dari 46 orang yang meninggal dunia tersebut, terdapat 30
orang atau seluruh tawanan yang berada di dalam gerbong ketiga GR10152 yang
tewas, sebab gerbong baru tersebut tidak memiliki lubang yang dapat menjadi
celah bagi masuknya air maupun udara.
Para tawanan yang masih hidup harus
berhati-hati mengangkat korban yang tewas ke truk yang berada di luar peron
sebab daging korban tersebut dapat mengelupas akibat mati matang. Korban-korban
tersebut dibawa ke Rumah Sakit Karang Menjangan Surabaya serta tawanan yang
masih hidup kembali di tahan di Penjara Bubutan Surabaya pada los khusus nomor
enam.
Selama kurang lebih setengah bulan Singgih
beserta para pejuang lainnya dijaga keras dan dilarang untuk berkumpul dengan
tawanan lainnya. Korban yang tewas tidak diketahui dengan pasti dimana mereka
dimakamkan, beberapa mengatakan bahwa mayat mereka dibuang di Sungai Wonokromo
serta beberapa lainnya menyebutkan bahwa para korban dimakamkan di Sidoarjo.
Orang
Belanda yang bertanggungjawab pada peristiwa maut ini adalah J. van den Dorpe
adalah komandan Veiligheids Dienst Mariniers Brigade berpangkat letnan dua mariner.
Penjahat kemanusiaan ini tidak pernah mempertanggungjawabkan perbuatannya ini
yang tidak jauh berbeda dengan Schutzstaffel (SS) Nazi Jerman
saat mengirimkan orang-orang Yahudi ke kamp konsentrasi.
Untuk mengenang peristiwa penuh duka ini,
dibangun Monumen Gerbong Maut diresmikan oleh Pangdam VIII Brawijaya Mayjen
Witarmin. Fungsi dari monumen perjuangan Gerbong Maut ini ialah untuk
pendidikan yang memupuk rasa percaya diri serta suatu bukti kemenangan pejuang
Indonesia walaupun hanya menggunakan senjata yang sangat sederhana. Fungsi
lainnya ialah fungsi pariwisata untuk mengenang perjuangan para pahlawan
tentara Republik Indonesia.
Peristiwa gerbang maut ditetapkan sebagai
peristiwa sejarah agar generasi sekarang dapat mengetahui betapa penderitaan
rakyat kita khususnya para pejuang dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Dengan
mengenang peristiwa sejarah semoga para pemimpin kita menyadari betapa rakyat
Indonesia punya harapan yang sangat tinggi pada kemerdekaan yaitu rakyat adl
dan makmur. Semoga Indonesia jaya selalu dan tidak gontok-gontokan.
Catatan:
1.
Naskah dikutip
dari berbagai sumber diantaranya https://retizen.republika.co.id/posts/11973/peristiwa-gerbong-maut-bondowoso-1947-sejarah-pilu-yang-mulai-terlupakan
2. Gambar diambil dari google.