Rabu, 23 Oktober 2019

Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) Apa itu? (Bagian ke-2)


Mengetahui dan mendengar telah dideklerasikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) Belanda merasa di pencundangi. Mereka  telah mengumumkan keseluruh dinia  menggunakan seluruh media dan alat propaganda yang mereka milki bahwa Repuplik Indonesia telah hapus darimuka bumi. Ini mereka buktikan dengan telah ditangkapnya hampir seluruh tokoh penting Republik termasuk Presiden dan wakil Presiden. Kemudian alangkah malunya mereka  ketika  dunia mendengar melalui radio bahwa pemerintahan Indonesia masih exist.



Belanda tidak tinggal diam. Mereka memburu dan menggempur daerah-daerah yang diperkirakan dimana beradanya PDRI. Mr. T.M Hasan yang menjabat sebagai Wakil Ketua PDRI, merangkap Menteri Dalam Negeri, Agama, Pendidikan dan Kebudayaan, menuturkannya bahwa rombongan mereka kerap tidur di hutan belukar, di pinggir sungai Batanghari, dan sangat kekurangan bahan makanan. Mereka pun harus menggotong radio dan berbagai perlengkapan lain. Kondisi PDRI yang selalu bergerilya keluar masuk hutan itu diejek radio Belanda sebagai Pemerintah Dalam Rimba Indonesia. 

Sjafruddin membalas,
Kami meskipun dalam rimba, masih tetap di wilayah RI, karena itu kami pemerintah yang sah. Tapi, Belanda waktu negerinya diduduki Jerman, pemerintahnya mengungsi ke Inggris. Padahal menurut UUD-nya sendiri menyatakan bahwa kedudukan pemerintah haruslah di wilayah kekuasaannya. Apakah Inggris jadi wilayah kekuasaan Belanda? Yang jelas pemerintah Belanda tidak sah.

Sekitar satu bulan setelah agresi militer Belanda, dapat terjalin komunikasi antara pimpinan PDRI dengan keempat Menteri yang berada di Jawa. Mereka saling bertukar usulan untuk menghilangkan dualisme kepemimpinan di Sumatra dan Jawa.
Setelah berbicara jarak jauh dengan pimpinan Republik di Jawa, maka pada 31 Maret 1949 Prawiranegara mengumumkan penyempurnaan susunan pimpinan Pemerintah Darurat Republik Indonesia sebagai berikut: 

•    Mr. Syafruddin Prawiranegara, Ketua merangkap Menteri Pertahanan dan Penerangan,
•    Mr. Susanto Tirtoprojo, Wakil Ketua merangkap Menteri Kehakiman dan Menteri Pembangunan dan Pemuda,
•    Mr. Alexander Andries Maramis, Menteri Luar Negeri (berkedudukan di New Delhi, India).
•    dr. Sukiman, Menteri Dalam Negeri merangkap Menteri Kesehatan.
•    Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan.
•    Mr. Ignatius J. Kasimo, Menteri Kemakmuran/Pengawas Makanan Rakyat.
•    Kyai Haji Masykur, Menteri Agama.
•    Mr. T. Moh. Hassan, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan.
•    Ir. Indracahya, Menteri Perhubungan.
•    Ir. Mananti Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum.
•    Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Menteri Perburuhan dan Sosial.

Pejabat di bidang militer:
•    Letnan Jenderal Sudirman, Panglima Besar Angkatan Perang RI.
•    Kolonel Abdul Haris Nasution, Panglima Tentara & Teritorium Jawa.
•    Kolonel R. Hidajat Martaatmadja, Panglima Tentara & Teritorium Sumatra.
•    Kolonel Mohammad Nazir, Kepala Staf Angkatan Laut.
•    Komodor Udara Hubertus Suyono, Kepala Staf Angkatan Udara.
•    Komisaris Besar Polisi Umar Said, Kepala Kepolisian Negara.

Kemudian tanggal 16 Mei 1949, dibentuk Komisariat PDRI untuk Jawa yang dikoordinasikan oleh Mr. Susanto Tirtoprojo, dengan susunan sbb.:
•    Mr. Susanto Tirtoprojo, urusan Kehakiman dan Penerangan.
•    Mr. Ignatius J. Kasimo, urusan Persediaan Makanan Rakyat.
•    R. Panji Suroso, urusan Dalam Negeri.

Selain dr. Sudarsono, Wakil RI di India, Mr. Alexander Andries Maramis, Menteri Luar Negeri PDRI yang berkedudukan di New Delhi, India, dan Lambertus N. Palar, Ketua delegasi Republik Indonesia di PBB, adalah tokoh-tokoh yang sangat berperan dalam menyuarakan Republik Indonesia di dunia internasional sejak Belanda melakukan Agresi Militer Belanda II. Dalam situasi ini, secara de facto, Mr. Syafruddin Prawiranegara adalah Kepala Pemerintah Republik Indonesia.
Perlawanan bersenjata dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia serta berbagai laskar di Jawa, Sumatra serta beberapa daerah lain. PDRI menyusun perlawanan di Sumatra. Tanggal 1 Januari 1949, PDRI membentuk 5 wilayah pemerintahan militer di Sumatra: 

•    Aceh, termasuk Langkat dan Tanah Karo.
o    Gubernur Militer: Tgk Daud Beureu'eh di Beureu'eh
o    Wakil Gubernur Militer: Letnan Kolonel Askari
•    Tapanuli dan Sumatra Timur Bagian Selatan.
o    Gubernur Militer: dr. Ferdinand Lumban Tobing
o    Wakil Gubernur Militer: Letnan Kolonel Alex Evert Kawilarang
•    Riau
o    Gubernur Militer: R.M. Utoyo
o    Wakil Gubernur Militer: Letnan Kolonel Hasan Basry
•    Sumatra Barat.
o    Gubernur Militer: Mr. Sutan Mohammad Rasjid
o    Wakil Gubernur Militer: Letnan Kolonel Dahlan Ibrahim
•    Sumatra Selatan.
o    Gubernur Militer: dr. Adnan Kapau Gani
o    Wakil Gubernur Militer: Letnan Kolonel Maludin Simbolon.


Sesungguhnya, sebelum Soekarno dan Hatta menyerah, mereka sempat mengetik dua buah kawat. Pertama, memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr. Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan darurat di Sumatra. Kedua, jika ikhtiar Sjafruddin gagal, maka mandat diberikan kepada Mr. A.A.Maramis untuk mendirikan pemerintah dalam pengasingan di New Delhi, India. Tetapi Sjafruddin sendiri tidak pernah menerima kawat itu. Berbulan-bulan kemudian barulah ia mengetahui tentang adanya mandat tersebut. 

Menjelang pertengahan 1949, posisi Belanda makin terjepit. Dunia internasional mengecam agresi militer Belanda. Sedang di Indonesia,pasukannya tidak pernah berhasil berkuasa penuh. Ini memaksa Belanda menghadapi RI di meja perundingan.
Belanda memilih berunding dengan utusan Soekarno-Hatta yang ketika itu statusnya tawanan. Perundingan itu menghasilkan Perjanjian Roem-Royen. Hal ini membuat para tokoh PDRI tidak senang, Jendral Sudirman mengirimkan kawat kepada Sjafruddin, mempertanyakan kelayakan para tahanan maju ke meja perundingan. Tetapi Sjafruddin berpikiran untuk mendukung dilaksanakannya perjanjian Roem-Royen. 

Setelah Perjanjian Roem-Royen, Mohammad Natsir meyakinkan Syafruddin Prawiranegara untuk datang ke Jakarta, menyelesaikan dualisme pemerintahan RI, yaitu PDRI yang dipimpinnya, dan Kabinet Hatta, yang secara resmi tidak dibubarkan.
Setelah Persetujuan Roem-Royen ditandatangani, pada 13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. Pada sidang tersebut, Pemerintah Hatta mempertanggungjawabkan peristiwa 19 Desember 1948. Wakil Presiden Hatta menjelaskan 3 soal, yakni hal tidak menggabungkan diri kepada kaum gerilya, hal hubungan Bangka dengan luar negeri dan terjadinya Persetujuan Roem-Royen. 

Sebab utama Soekarno-Hatta tidak ke luar kota pada tanggal 19 Desember sesuai dengan rencana perang gerilya, adalah berdasarkan pertimbangan militer, karena tidak terjamin cukup pengawalan, sedangkan sepanjang yang diketahui dewasa itu, seluruh kota telah dikepung oleh pasukan payung Belanda. Lagi pula pada saat yang genting itu tidak jelas tempat-tempat yang telah diduduki dan arah-arah yang diikuti oleh musuh. Dalam rapat di istana tanggal 19 Desember 1948 antara lain KSAU Soerjadi Soerjadarma mengajukan peringatan pada pemerintah, bahwa pasukan payung biasanya membunuh semua orang yang dijumpai di jalan-jalan, sehingga jika mereka ke luar maka haruslah dengan pengawalan senjata yang kuat. 

Pada sidang tersebut, secara formal Syafruddin Prawiranegara menyerahkan kembali mandatnya, sehingga dengan demikian, M. Hatta, selain sebagai Wakil Presiden, kembali menjadi Perdana Menteri. Setelah serah terima secara resmi pengembalian Mandat dari PDRI, tanggal 14 Juli, Pemerintah RI menyetujui hasil Persetujuan Roem-Royen, sedangkan KNIP baru mengesahkan persetujuan tersebut tanggal 25 Juli 1949. 

Begitulah kisah heroic perjuangan PDRI untuk melanjutkan keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang nyaris bubar oleh serangan Belanda pada agresi kedua. Seharusnya moment penting dalam sejarah ini menjadi bacaan wajib di sekolah sehingga generasi milenial ini mengetahui betapa berat perjuangan generasi 45 dalam mempertahankan kemerdekaan yang kita  nikmati sekarang

1.Sumber tulisan
-https://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_Darurat_Republik_Indonesia
- Fajar Rillah Veski, “ Tambiluak” Tentang PDRI dan Peristiwa Situjuh, Citra Budaya Indonesia, Padang.
2. Gambar diambil dari google



 

Minggu, 20 Oktober 2019

Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) Apa itu? (Bagian Pertama)


Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya. Begitu salah satu ungkapan tentang sejarah. Namun kalau kita bincang-bincang tentang beberapa momen sejarah banyak dari generasi milenial ini seperti merasa asing dan tidak mengetahuinya sama sekali. Salah satunya adalah tentang PDRI, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, banyak yang tidak tahu. Bahkan saya pernah dengar seorang tokoh mengacaukan antara PDRI dan PRRI. Dengan pertimbangan itulah maka tulisan ini dibuat



Dibandingkan dengan Negara-negara di Asia Tenggara ini, bangsa Indonesia adalah bangsa yang merebut kemerdekaannya melalui  perjuangan yang  pengorbanan  nyawa dan harta yang besar. Kita merebutnya dengan revolusi bersenjata yang mengorbankan ribuan  para pejuang untuk mengusir Belanda yang sebelumnya sudah terusir dengan mudah oleh Jepang. Namun dengan bantuan Inggris sebagai Negara  pemenang perang dunia ke 2 Belanda berhasil masuk kembali ke Indonesia. Kalaulah Belanda datang sendiri setelah diusir Jepang itu pastilah Negara Kesatuan Republik Indonesia ketika itu bisa menghalaunya  dengan mudah karena Belanda tidak pernah menang perang melawan suatu Negara yang berdaulat.

Perjuangan merebut kemerdekaan yang ditempuh bangsa Indonesia sungguh luar biasa rintangannya. Belanda yang sudah masuk dengan bantuan Inggris itu memiliki persenjataan lengkap dan tentara yang terlatih. Sehingga ibu kota  Negara Republik Indonesia yang ditetapkan Jakarta itu terpaksa diungsikan ke Yogyakarta. Namun Belanda yang sudah menikmati rampokannya selama hampir tiga setengah abad kekayaan Indonesia itu berjuang mati-matian untuk kembali merebutnya.

Target mereka jelas untuk menghapuskan Negara kesatuan Republik Indonesia agar mereka kembali menikmati kekayaan Indonesia yang luar biasa ini. Dan pemerintah yang telah berpusat di Yogyakarta itu pun diserbu. Dan berhasil, Bahkan mereka berhasil menawan hampir semua pimpinan kunci Republik yang baru berdiri itu, termasuk presiden dan wakil presidennya Sukarno Hatta.
Bangsa Belanda bergembira ria mereka mengumumkan kepada seluruh dunia bahwa Republik Indonesia telah hapus dari permukaan bumi. Belanda merasa sudah berhasil merebut kembali sorga mereka yang hilang.

Sementara itu di Sumatra mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki ibu kota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19 Desember sore hari, Mr. Syafruddin Prawiranegara bersama Kol. Hidayat, Panglima Tentara dan Teritorium Sumatra, mengunjungi Mr. Teuku Mohammad Hasan, Gubernur Sumatra/Ketua Komisaris Pemerintah Pusat di kediamannya, untuk mengadakan perundingan. Malam itu juga mereka meninggalkan Bukittinggi menuju Halaban, daerah perkebunan teh, 15 Km di selatan kota Payakumbuh. 

Sejumlah tokoh pimpinan republik yang berada di Sumatra Barat dapat berkumpul di Halaban, dan pada 22 Desember 1948 mereka mengadakan rapat yang dihadiri antara lain oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara, Mr. T. M. Hassan, Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Kolonel Hidayat, Mr. Lukman Hakim, Ir. Indracahya, Ir. Mananti Sitompul, Maryono Danubroto, Direktur BNI Mr. A. Karim, Rusli Rahim dan Mr. Latif. Walaupun secara resmi kawat Presiden Soekarno belum diterima, tanggal 22 Desember 1948, sesuai dengan konsep yang telah disiapkan, maka dalam rapat tersebut diputuskan untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), dengan susunan sebagai berikut: 

•    Mr. Syafruddin Prawiranegara, Ketua PDRI/Menteri Pertahanan/ Menteri Penerangan/Menteri Luar Negeri ad interim
•    Mr. T. M. Hassan, Wakil Ketua PDRI/Menteri Dalam Negeri/Menteri PPK/Menteri Agama,
•    Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Menteri Keamanan/Menteri Sosial, Pembangunan, Pemuda,
•    Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan/Menteri Kehakiman,
•    Ir. Mananti Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum/Menteri Kesehatan,
•    Ir. Indracaya, Menteri Perhubungan/Menteri Kemakmuran.

 
Keesokan harinya, 23 Desember 1948, Sjafruddin berpidato:
"... Belanda menyerang pada hari Minggu, hari yang biasa dipergunakan oleh kaum Nasrani untuk memuja Tuhan. Mereka menyerang pada saat tidak lama lagi akan merayakan hari Natal Isa AS, hari suci dan perdamaian bagi umat Nasrani. Justru karena itu semuanya, maka lebih-lebih perbuatan Belanda yang mengakui dirinya beragama Kristen, menunjukkan lebih jelas dan nyata sifat dan tabiat bangsa Belanda: Liciknya, curangnya, dan kejamnya.
Karena serangan tiba-tiba itu mereka telah berhasil menawan Presiden, Wakil Presiden, Perdana Menteri, dan beberapa pembesar lain. Dengan demikian, mereka menduga menghadapi suatu keadaan negara republik Indonesia yang dapat disamakan dengan Belanda sendiri pada suatu saat negaranya diduduki Jerman dalam Perang Dunia II, ketika rakyatnya kehilangan akal, pemimpinnya putus asa dan negaranya tidak dapat ditolong lagi.
Tetapi kita membuktikan bahwa perhitungan Belanda itu sama sekali meleset. Belanda mengira bahwa dengan ditawannya pemimpin-pemimpin kita yang tertinggi, pemimpin-pemimpin lain akan putus asa. Negara RI tidak tergantung kepada Sukarno-Hatta, sekalipun kedua pemimpin itu sangat berharga bagi kita. Patah tumbuh hilang berganti.
Kepada seluruh Angkatan Perang Negara RI kami serukan: Bertempurlah, gempurlah Belanda di mana saja dan dengan apa saja mereka dapat dibasmi. Jangan letakkan senjata, menghentikan tembak-menembak kalau belum ada perintah dari pemerintah lisyang kami pimpin. Camkanlah hal ini untuk menghindarkan tipuan-tipuan musuh."


Sejak itu PDRI menjadi musuh nomor satu Belanda. Tokoh-tokoh PDRI harus bergerak terus sambil menyamar untuk menghindari kejaran dan serangan Belanda.  (Bersambung ke bagian ke-2)
Catatan:

1.Sumber tulisan

-https://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_Darurat_Republik_Indonesia

- Fajar              - Fajar Rillah Veski, “ Tambiluak” Tentang PDRI dan Peristiwa Situjuh, Citra Budaya Indonesia, Padang.
2. Gam              2. Gambar  diambil dari google

Jumat, 11 Oktober 2019

Amir Syarifudin, dari Seorang Pejuang, Perdana Mentri dan Berakhir Sebagai Seorang Pemberontak (Bagian Ke-dua)

 

Kekecewaan Amir Syarifudin berlanjut. Mundur sebagai perdana mentri dengan kecaman yang bertubi-tubi dari lawan politiknya dia menemukan golongan kiri yang seharus memihak dan membelanya juga mengecamnya. Kelompok kiri yang sehaluan dengannya menyalahkannya karena dianggap lemah dan mau begitu saja menyerahkan tampuk kekusasaan sebagai Perdana mentri. Sebuah rapat sengaja diadakan oleh golongan kiri untuk mengadilinya.

 

Semua yang hadir dalam rapat itu menyalahkan Amir Syarifudin karena mundur begitu saja sebagai Perdana Mentri.  Pemimpin Partai Komunis Indonesia ketika itu, Muso menyerang ketidak  berdayaan Amir. Menurut dia, kaum  komunis saat itu melupakan ajaran Lenin yang menyatakan tujuan utama  dari revolusi adalah kekuasaan Negara. “Mundurnya Amir memberi jalan elemen borjuis memegang kendali pemerintah”


Semua berlansung cepat: Amir Syarifudin mendapati dirinya sekonyong-konyong menjadi musuh bersama. Tak mengherankan malam itu  di belakang rumah Sukarno dihabiskan sampai larut malam dengan minum wiski dan bernyanyi. Hari berikutnya dia berangkat ke Solo membentuk Front Demokrasi Rakyat. Tak berapa lama kemudian ia terlibat secara aktif bersama Muso dalam pemberontakan Madiun.


Pemberontakan gagal. Hanya dalam hitungan minggu Madiun berhasil direbut kembali oleh TNI atau tepatnya pasukan Siliwangi. Muso, Amir dan pucuk pimpinan lain dari Partai Komunis Indonesia buru-buru mengundurkan diri ke Dungus dan Ngebel Ponorogo. Mereka dikawal pasukan tentara merah dan ribuan Pemuda Sosialis Indonesia bersenjata lengkap berikut kaum ibu dan anak-anak.


Sampai di Balong Ponorogo, Muso berselisih dengan Amir Syarifudin.  Mereka berbeda pendapat tentang basis penyerangan baru setelah madiun jatuh. Muso menghendaki ke selatan sedangkan Amir ingin ke utara. Di sini mereka berpisah. Muso dikawal beberapa orang bertualang ke selatan  dan terdampar di sekitar pergunungan Ponorogo. Dia tewas dalam penyergapan pada 31 Oktober 1948.


Sedangkan induk pasukan Amir Syarifudin meneruskan perjalanan. Mereka menyusuri jalan menuju Tegalombo ke Pacitan. Kelompok Amir ini dapat bertahan dari kejaran pasukan TNI sampai akhir bulan November. Meski melalui medan yang sulit, Amir berusaha untuk memelihara semangat pasukannya dengan meyakinkan kemenangan di pihak mereka. Pengembaraan Amir mengitari Gunung Wilis dan Gunung Lawu tiba di daerah Pati dan Purwodadi.


Pada 28 Novembe 1948, Kolonel Djokosoedjono, Maruto Darusman, Sajogo, dan kawan-kawannya ditangkap oleh satu seksi TNI yang patroli di Desa Peringan, dekat Purwodadi. Dalam pengakuannya, Djoko Soedjono menyatakan bahwa ia terpisah hanya 200 meter dari Amir Sjarifuddin. Berdasarkan keterangan ini, pihak TNI menyimpulkan rombongan Amir pasti berada di sekitar Purwodadi. Pengejaran dan patroli kian digencarkan.


Keesokan harinya, TNI dapat melacak lokasi persembunyian Amir di Desa Klambu. Pengepungan dilakukan oleh pasukan Komando Pertempuran Panembahan Senopati. Amir mencoba meloloskan diri melewati rawa-rawa dan hutan-hutan namun tertangkap juga. Pasukan yang meringkus Amir adalah Batalyon Kala Hitam pimpinan Mayor Kemal Idris dari Divisi Siliwangi.


Saat tertangkap, keadaan Amir sudah payah, kurus, dan agak pincang. Dia menderita penyakit disentri. Dalam catatan sejarawan Belanda Harry Poeze, mantan menteri dan perdana menteri itu hanya memakai piyama, sarung, dan tidak lagi bersepatu. Kacamatanya masih bagus; pipa cangklongnya yang tak terpisahkan sudah hilang seperti halnya anjing gembala Jerman-nya yang bernama Zero (ternyata Zero sudah terlebih dahulu ditangkap dan lantas menjadi peliharaan seorang perwira Divisi Siliwangi). Sedangkan senjata yang ada padanya hanya sepucuk pistol.
Menurut keterangan tentara yang menangkap Amir, “Ia (Amir) menderita penyakit itu (disentri), ialah karena takutnya, hingga ia dalam menahan ketakutan melarikan diri sampai ‘buang-buang air,” dikutip koresponden khusus Sin Po, 5 Februari 1949.


Amir bersama pimpinan PKI kelas kakap lainnya dibawa ke Kudus kemudian Yogyakarta. Mereka harus menghadapi penghinaan di muka umum. Ketika digiring di antara kerumunan massa, rakyat di sepanjang jalan mencacimaki bahkan hampir jadi korban main hakim sendiri.
Saat sampai di stasiun Yogyakarta, rakyat berjejal-jejal untuk melihat wajah Amir. Ia terlihat tenang dan di kereta api masih sempat menekuni novel romantik karya William Shakespeare, Romeo and Juliet milik Kapten Soeharto, perwira TNI yang mengawalnya. Sedangkan Soeripno, Amir, dan Hardjono ditahan di penjara Benteng Yogyakarta. Mereka ada dalam kondisi memprihatinkan: hanya memakai kolor dan berbaju lusuh, serta duduk melantai namun masih terlihat santai.

 

19 Desember 1948, sekitar tengah malam, di kompleks makam desa Ngalihan, kepala Amir Sjarifuddin ditembak dengan pistol oleh seorang letnan Polisi Militer, sebuah satuan khusus dalam Angkatan Bersenjata Indonesia. Sebelum ditembak Amir Syarifudin yang malang bersama beberapa orang temannya yang akan ditembak mati menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Internasionale. Pada detik-detik terakhir sebelum peluru menembus tubuhnya Amir berteriak “ Bersatulah kaum buruh seluruh dunia! Aku mati untuk mu “

 

Begitulah akhir kisah hidup seorang yang sebenarnya hidup mewah di zaman penjajahan Belanda namun tetap memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, berjuang dibawah tanah pada masa peemrintahan Jepang, tertangkap; disiksa secara sadis. Priode revolusi kemerdekaan mejadi tokoh penting, sempat memegang tumpuk tertinggi pemerintahan sebagai perdana mentri kemudian ikut memberontak dan dihukum mati oleh bangsanya sendiiri yang ia turut memperjuangkan kemerdekaannya
Catatan
-    Sumber tulisan:
1.    https://id.wikipedia.org/wiki/Amir_Sjarifoeddin
2.    Seri buku Tempo, MUSO, Si Merah di Simpang Jalan, PT. Gramedia Jakarta



Amir Syarifudin, dari Seorang Pejuang, Perdana Mentri dan Berakhir Sebagai Seorang Pemberontak (Bagian Pertama)


Kalau kita menyimak sejarah Indonesia terutama yang berhubungan dengan Partai Komunis Indonesia, perasaan kita bisa jadi trenyuh akan nasib dari pada tokoh-tokohnya. Mereka rata-rata pejuang yang ulung untuk membangun partai yang sudah hancur lebur, justru kemudian mereka hancur sendiri ketika mereka sudah mendekati impian  yang mereka cita-citakan yaitu jadi penguasa di Republik ini. Kegagalan ketika sampai ke puncak ini  membawa kematian yang tragis bagi pucuk pimpinannya. Inilah yang dialami oleh dua tokoh komunis Indonesia Dipa Negara Aidid dan Amir Syarifudin

 Amir Syarifudin termasuk pejuang yang membangun lagi kekuatan kaum komunis yang dihancur leburkan oleh pemerintah colonial Belanda ketika kaum komunis memberontak kepada pemerintah colonial pada tahun 1926. Ketika zaman Jepang ia berjuang melawan Jepang sehingga ditangkap dan disiksa secara sadis oleh polisi Jepang. Ketika Indonesia Merdeka ia termasuk tokoh penting dan sempat menjadi perdana mentri dan kemudian ikut memberontak bersama Muso sehingga ditumpas oleh TNI dan dihukum tembak.

Demikian juga DN Aidid secara tangguh ia membangun kemabali sisa-siasa kekuatan komunis yang dicerai beraikan oleh TNI karena pemberontakan Madiun, sukses pada pemilu Indonesia pertama menjadi pejabat penting dan dekat dengan Sukarno sang presiden. Gestapu meletus , kekuasaan yang  sudah di depan mata tinggal selangkah lagi akhirnya lenyap secara menyedihkan  dan  akhirnya mengalami nasib yang sama dengan Amir Syarifudin, tertangkap  dalam pelarian dan ditembak mati.

Amir Syarifuddin Harahap lahir di Medan, Sumatra Utara, 27 April 1907 – adalah seorang politikus sosialis dan salah satu pemimpin terawal Republik Indonesia. Ia menjabat sebagai Perdana Menteri ketika Revolusi Nasional Indonesia sedang berlangsung. Berasal dari keluarga Angkola Muslim, Amir menjadi pemimpin sayap kiri terdepan pada masa Revolusi. Pada tahun 1948


Tokoh komunis yang  satu ini pada zaman Belanda tidak termasuk rakyat yang menderita  karena penjajahan. Ia berasal dari keluarga kaya aristokrasi Sumatra di kota Medan, latar belakang Amir yang kaya dan kemampuan intelektual yang luar biasa memungkinkan dia untuk masuk ke sekolah-sekolah paling elit; ia dididik di Haarlem dan Leiden di Belanda sebelum memperoleh gelar sarjana hukum di Batavia (sekarang Jakarta).Selama waktunya di Belanda ia belajar filsafat Timur dan Barat di bawah pengawasan Theosophical Society. Amir pindah dari Islam ke Kristen pada tahun 1931.Ada bukti khotbah ia berikan dalam gereja Protestan terbesar di Batak Batavia.
Ayahnya, Djamin gelar Baginda Soripada (1885-1949), seorang jaksa di Medan. Ibunya, Basunu Siregar (1890-1931), dari keluarga Batak yang telah membaur dengan masyarakat Melayu-Islam di Deli. Ayahnya keturunan keluarga kepala adat dari Pasar Matanggor di Padang Lawas, Tapanuli.


Amir menikmati pendidikan di ELS atau sekolah dasar Belanda di Medan pada tahun 1914 hingga selesai Agustus 1921. Atas undangan saudara sepupunya, T.S.G. Mulia yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad dan belajar di kota Leiden sejak 1911, Amir pun berangkat ke Leiden. Tak lama setelah kedatangannya dalam kurun waktu 1926-1927 dia menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem, selama masa itu pula Amir aktif terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok kristen misalnya dalam CSV-op Java yang menjadi cikal bakal GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Ia tinggal di rumah guru pemeluk Kristen Calvinis, Dirk Smink, dan di sini juga Mulia menumpang. 

Namun pada September 1927, sesudah lulus ujian tingkat kedua, Amir kembali ke kampung halaman karena masalah keluarga, walaupun teman-teman dekatnya mendesak agar menyelesaikan pendidikannya di Leiden. Kemudian Amir masuk Sekolah Hukum di Batavia, menumpang di rumah Mulia (sepupunya) yang telah menjabat sebagai direktur sekolah pendidikan guru di Jatinegara. Kemudian Amir pindah ke asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106, ia ditampung oleh senior satu sekolahnya, Mr. Muhammad Yamin.


Menjelang invasi Jepang ke Hindia Belanda, Amir berusaha—menyetujui dan menjalankan garis Komunis Internasional agar kaum kiri menggalang aliansi dengan kekuatan kapitalis untuk menghancurkan Fasisme. Barangkali ini mempunyai hubungan dengan pekerjaan politik Musso dengan kedatangannya ke Hindia Belanda dalam tahun 1936. 

Ia kemudian dihubungi oleh anggota-anggota kabinet Gubernur Jenderal, menggalang semua kekuatan anti-fasis untuk bekerja bersama dinas rahasia Belanda dalam menghadapi serbuan Jepang. Rencana itu tidak banyak mendapat sambutan. Rekan-rekannya sesama aktivis masih belum pulih kepercayaan terhadapnya akibat polemik pada awal tahun 1940-an, serta tidak paham akan strateginya melawan Jepang. Mereka ingin menempuh taktik lain yaitu, berkolaborasi dengan Jepang dengan harapan Jepang akan memberi kemerdekaan kepada Hindia Belanda setelah kolonialis Belanda dikalahkan. Dalam hal ini garis Amir yang terbukti benar. 

Pada bulan Januari 1943 ia tertangkap oleh fasis Jepang, di tengah gelombang-gelombang penangkapan yang berpusat di Surabaya. Kejadian ini dapat ditafsirkan sebagai terbongkarnya jaringan suatu organisasi anti fasisme Jepang yang sedikit banyak mempunyai hubungan dengan Amir. Terutama dari sisa-sisa kelompok inilah Amir, kelak ketika menjadi Menteri Pertahanan, mengangkat para pembantunya yang terdekat. Namun identifikasi penting kejadian Surabaya itu, dari sedikit yang kita ketahui melalui sidang-sidang pengadilan mereka tahun 1944, hukuman terberat dijatuhkan pada bekas para pemimpin Gerindo dan Partindo Surabaya. 

Sebuah dokumen NEFIS (Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service), instansi rahasia yang dipimpin Van Mook, tertanggal 9 Juni 1947 menulis tentang Amir; "ia mempunyai pengaruh besar di kalangan massa dan orang yang tak mengenal kata takut". Belanda mungkin tahu bahwa penghargaan berbau mitos terhadapnya di kalangan Pesindo berasal dari cerita para tahanan sesamanya. Bagaimana ia menghadapi siksaan fisik dan moral yang dijatuhkan Jepang. Diceritakan, misalnya, bagaimana ia tertawa ketika para penyiksa menggantungnya dengan kaki di atas. 

Dalam Persetujuan Renville yang Belanda hanya mengakui kedaulatan Negara Republik Indonesia hanya Jawa, Sumatra dan Madura saja, tanggungjawab yang berat ini terletak dipundak kaum Komunis, khususnya Amir Syarifudin sebagai Perdana Mentri dan sebagai negosiator utama dari Republik Indonesia. Meskipun persetujuan yang sangat merugikan Indonesia itu direstui Presiden Sukarno, Hatta dan tokoh- tokoh Republik lainnya,  namun mendapat protes yang keras dari dalam negeri terutama sekali dari  Partai Masyumi dan golongan Nasionalis.


Dalam menghadapi gelombang protes itu Amir merasa Sukarno tidak membantunya. Ia merasa  dijebak dan dikhianati. Tidak tahan dengan semua  itu  Kabinet Amir Sjarifuddin mengundurkan diri dengan sukarela dan tanpa perlawanan sama sekali.
 
(Bersambung pada bagian ke-2 )
Catatan:
1.    Bahan dilengkapi dari https://id.wikipedia.org/wiki/Amir_Sjarifoeddin
2.    Gambar diambil dari googe