Kamis, 15 April 2021

Gajah Mada, Sumpah Palapa dan Akhir Kejayaannya

 


Sosok Gajah Mada sebagai Maha Patih Majapahit tidak pernah terlepas dari kisahnya tentang SUMPAH PALAPA yang melegenda. Yaitu sumpah untuk mempersatukan Nusantara di bawah panji-panji Kerajaan Majapahit.



Mengutip jurnal Suluk yang bertajuk "Sejarah Peristiwa Sumpah Palapa Dalam Kitab Pararaton" karya Dwi Susanto dan kawan-kawan dituliskan bahwa Gajah Mada mengikrarkan Sumpah Palapa setelah pelantikannya. Sumpah Amukti Palapa merupakan manifestasi program politik Gajah Mada terhadap Majapahit agar dapat menyatukan Nusantara, yang berbunyi:



 "Lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, Samana isun amukti Palapa."

 Sumpah yang diucapkan saat pelantikan Gajah Mada sebagai Mahapatih Majapahit di hadapan Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi itu bermakna:


 "Jika telah menyatukan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikian saya (baru akan) melepaskan puasa."

Wafatnya Gajah Mada

 Karier Gajah Mada ini makin memuncak setelah Tribhuana Wijayatunggadewi turun tahta pada 1351 M, Majapahit dipimpin oleh Hayam Wuruk. Bersama dengan Gajah Mada, Hayam Wuruk memimpin Majapahit dan mencapai masa kejayaannya.

Namun kegemilangan Gajah Mada pun meredup ketika, Perang Bubat 1357 M. Pada perang tersebut terjadi pertempuran tidak seimbang antara pasukan Majapahit dengan pasukan Kerajaan Sunda yang akhirnya menimbulkan banyak korban dari Sunda.



Tindakan Gajah Mada ini sangat disayangkan oleh Hayam Wuruk. Saat itu Hayam Wuruk menganugerahi Gajah Mada berupa tanah di daerah Probolingo. Namun, penganugerahan ini pun disinyalir sebagai bentuk anjuran halus dari agar Gajah Mada menjauh dari Majapahit.

Gajah Mada pun mangkat pada 1364 M. Setelah wafatnya, Hayam Wuruk pun melanjutkan kepemimpinannya di Majapahit hingga akhirnya ia meninggal pada 1389 M. Sepeninggal dua orang ini Majapahit di masa-masa selanjutnya mengalami penurunan dan akhirnya runtuh pada 1527 M.

Catatan:

1.      Naskah dikutip lansung dari https://tirto.id/sejarah-hidup-gajah-mada-mahapatih-majapahit-isi-sumpah-palapa-f9ST

2.      Gambar diambil dari google


Rabu, 07 April 2021

Gajah Mada, Siapa Dia?

 

Setiap kali kita membicarakan kerajaan Majapahit salah satu kerjaan terbesar yang pernah ada di Nusantara, Sosok Gajah Mada tidak pernah tertinggal. Ia dengan sumpah Palapanya berhasil mempersatukan Nusantara. Namun generasi sekarang sudah banyak yang melupakan. Karena itulah tulisan ini ditampilkan



Dikutip lansung dari Tirto. Id, Maha patih Gajah Mada bersama Raja Hayam Wuruk membawa Kerajaan Majapahit mengguratkan sejarah emas dalam peradaban Indonesia. Lewat Sumpah Amukti Palapa, Gajah Mada berikrar akan menyatukan wilayah-wilayah Nusantara di bawah naungan Kemaharajaan Majapahit.

Siapa Gajah Mada sebenarnya banyak versi yang menampilkan.  Muhammad Yamin dalam salah satu bukunya menyatakan  bahwa Gajah Mada tidak memiliki ayah dan ibu. Ia terlahir dari dalam buah kelapa, sebagai penjelmaan Sang Hyang Narayana (Dewa Wisnu) ke dunia. Dengan kata lain, Gajah Mada terlahir atas kehendak dewa-dewa.



Akan tetapi, menurut Serat Pararaton, Gajah Mada merupakan anak dari Gajah Pagon yakni seorang seorang petinggi Kerajaan Majapahit dan pengikut setia Raden Wijaya. Dikisahkan saat itu terjadi peperangan dengan tentara Kadiri dan kemudian Raden Wijaya mengungsi ke Desa Pandakan, Madura. Saat peperangan tersebut, Gajah Pagon terluka dan dititipkan kepada Macan Kuping, Kepala Desa Pandakan. Lalu, Gajah Pagon menikah dengan anak Macan Kuping yang kemudian melahirkan Gajah Mada. Mengutip karya jurnal yang ditulis Yusak Farchan dan Firdaus Syam bahwa sifat dari Gajah Mada serupa dengan ayahnya Gajah Pagon. Dua orang yang memiliki nama Gajah tersebut bersifat pemberani, tahan mental, tidak mudah menyerah, setia kepada tuannya dan berperilaku seperti hewan gajah dalam menghalau semua  penghalang.

Peran Gajah Mada di Kerajaan Majapahit

Terlepas dari latar belakang Gajah Mada yang masih belum diketahui terang, sosok ini punya peranan penting dalam sejarah Majapahit. Gajah Mada memulai kariernya di Majapahit pada masa pemerintahan Jayanegara. Saat itu ia menjadi bekel atau prajurit di kesatuan khusus bhayangkara. Peran sentralnya dapat dilihat ketika terjadi pemberontakan Ra Kuti pada 1319 M.

Dalam Serat Pararaton dijelaskan bahwa saat Ra Kuti melakukan pemberontakan, yang menjadi bekel jaga di Kerajaan Majapahit adalah Gajah Mada. Atas jasanya menyelamatkan Raja Jayanegara, ia diangkat sebagai patih (1319-1321 M) untuk mendampingi Rani Kahuripan yang saat itu dijabat Tribhuwana Tunggadewi. Dua tahun setelahnya Gajah Mada diangkat menjadi Patih Daha untuk menggantikan Patih Arya Tilam yang telah mangkat.

Peran sentral Gajah Mada di Majapahit semakin menguat, ketika pada 1336 M Gajah Mada diangkat menjadi Mahapatih Amangkubhumi Majapahit. Pengangkatan tersebut didasarkan atas jasanya yang berhasil memadamkan pemberontakan di daerah Sadeng pada 1331 M.

Catatan:

1.      Naskah dikutip lansung dari https://tirto.id/sejarah-hidup-gajah-mada-mahapatih-majapahit-isi-sumpah-palapa-f9ST

2.      Gambar diambil dari google


Kamis, 01 April 2021

Syekh Yusuf Tokoh Perlawanan Rakyat Banten Melawan Penjajah Belanda

Penjajahan yang menindas rakyat membuat kegelisahan yang akhirnya menimbulkan pemberontakan yang berdarah melawan penjajah. Dan ini hampir terjadi di seluruh Nusantara yang merasakan pahit getir hidup di bawah penjajah. Kali ini akan kita bicarakan perlawanan rakyat Banten yang dipimpin Syekh Yusuf seorang ulama yang kharismatik ketika itu 



Sebenarnya Syekh Yusuf tidak lahir di Banten ia berasal dari Sulawesi. Ia datang ke Banten setelah hampir 20 tahun bolak balik Mekah- Yaman untuk memperdalam agama. Ia datang ke Banten tahun 1669 karena pemimpin Kesultanan Banten Ketika itu adalah sahabatnya. Di sana dia diangkat jadi penasihat Sultan. Berikut ini beberapa fakta tentang Syekh Yusuf mengenai perlawanannya dengan rakyat Banten melawan penjajah Belanda.

1. Hubungan Kesultanan Banten dan VOC tak harmonis



Saat Syekh Yusuf datang, hubungan Banten dan VOC tengah meruncing. Usai perang 1658-1659 yang diakhiri dengan perjanjian gencatan senjata 10 Juli 1659, monopoli dagang kompeni kian terasa. Masa status quo malah digunakan kedua pihak untuk mempersenjatai diri lebih banyak, sembari terlibat dalam beberapa kontak senjata akibat penyerangan loji-loji dagang VOC. Perang selanjutnya seolah tinggal menunggu waktu.

Syekh Yusuf bergabung dengan jalan pedang saat perlawanan dikobar mulai tahun 1682. Menurut sejarawan, ada beberapa faktor latar belakang. Pertama, hubungan diplomatik antara kedua kesultanan. Syahril Kila, dalam artikel jurnal "Syekh Yusuf: Pahlawan Nasional Dua Bangsa" (Walasuji, Vol. 9, No. 2, Desember 2018), menjabarkan bahwa Banten dan Gowa-Tallo telah memiliki hubungan dagang jauh sebelum Perang Makassar pecah (1666-1669).

Namun, hubungan tersebut dibayangi oleh sterotype bahwa orang-orang Makassar saat itu banyak menjadi perompak di laut lepas. Barulah pada masa pemerintahan Sultan Ageng (1651-1680) muncul inisiatif mendatangkan banyak pemuka agama untuk menggembleng mental para prajurit. Salah satunya adalah Syekh Yusuf.

2. Alasan lain mengapa Syekh Yusuf melibatkan diri di Perang Banten



Faktor lainnya, Syekh Yusuf memiliki hubungan emosional dengan lingkar dalam Kesultanan Banten. Ketika pertama kali mendarat di Banten (sebelum lanjutkan perjalanan ke Makkah via Aceh) pada 1644, Syekh Yusuf bersahabat dengan Pangeran Surya yang kelak menjadi Sultan Ageng. Selain menjabat mufti penguasa tanah Banten, ia bahkan jadi menantu setelah menikahi putri Sultan Ageng, yaitu Ratu Aminah.

Terakhir, bayang-bayang Perjanjian Bongaya tahun 1667 yang melucuti supremasi maritim Gowa-Tallo. Ada kekhawatiran bahwa Banten, kerajaan maritim dan pusat rempah-rempah Nusantara lainnya, akan bernasib sama. VOC merasa di atas angin setelah membuat Gowa-Tallo tunduk. Benteng Somba Opu jatuh pada 1669, dan Syekh Yusuf tak bisa kembali ke kampung halaman.

Saat Pangeran Haji naik tahta di tahun 1680, sejumlah kebijakan yang terkesan sangat bersahabat dengan Batavia membuat Sultan Ageng tak terima. Banten nan garang di barat Pulau Jawa malah melunak kepada kompeni. Lantaran kecewa, Sultan Ageng mengobar perlawanan bersama rakyat. Syekh Yusuf turut bergabung sebagai pemimpin pasukan.

3. Dua tahun setelah perang meletus, pasukan Sultan Haji dibantu VOC berhasil memukul mundur kubu Sultan Ageng



Pada dua tahun awal perang saudara, kubu Sultan Haji terus terdesak mundur oleh pasukan Sultan Ageng. Upaya mempertahankan loji VOC di Banten ternyata jauh lebih sulit dari yang diduga. Sultan Haji akhirnya meminta bantuan pada kompeni, dan menyanggupi syarat dari Gubernur Jenderal Cornelis Speelman di mana VOC akan diberi monopoli perdagangan secara penuh.

Seketika, jalannya perang berubah total. Bala bantuan dari Batavia perlahan berhasil memukul mundur pasukan kubu Sultan Ageng. Pada 7 April 1682, loji VOC dan istana Banten di Serang berhasil dibebaskan. Zainal Abidin dalam "Capita Selecta Sejarah
Sulawesi Selatan" (SIGn Institute, 2017) menulis bahwa Sultan Ageng terpaksa mundur sejauh 10 kilometer ke Desa Margasana.

Tak lama kemudian, kubu Sultan Ageng harus menyingkir ke arah timur menuju Desa Tirtayasa setelah tak sanggup menghalau serbuan kubu Sultan Haji - VOC. Desember 1682, sejumlah komando pasukan Sultan Ageng menyerahkan diri di saat sang pemimpin perlawanan bertahan di Tirtayasa. Syekh Yusuf, bersama pengikutnya yang mencapai dua ribu orang (terdiri dari orang-orang Makassar, Bugis, Jawa dan Melayu) mundur menuju wilayah Priangan bersama dua putra Sultan Ageng, Pangeran Purbaya dan Pangeran Kidul, untuk bergerilya.

4. Syekh Yusuf menyerahkan diri setelah memimpin perang gerilya di pedalaman Jawa Barat


Saat Sultan Ageng menyerahkan diri pada 16 Maret 1683, pasukan Syekh Yusuf mundur 135 kilometer ke selatan, tepatnya di wilayah Cikaniki, Jawa Barat. Medan berat dan hutan lebat membuat mereka aman dari pengejaran VOC. Di Cikaniki inilah Syekh Yusuf kembali menyusun rencana penyerangan dan memulihkan mental bertempur pengikutnya.
Tak disangka, pasukan VOC pimpinan Letnan Maurits van Happel berhasil melacak keberadaan Syekh Yusuf, memaksa sisa-sisa kekuatan Sultan Ageng menyingkir lebih jauh ke arah timur. Puncaknya, kedua pihak terlibat pertempuran hebat di Desa Tunggilis (kini di Kabupaten Ciamis). Jatuh banyak korban jiwa, salah satunya adalah Pangeran Kidul. Syekh Yusuf sempat menyelamatkan diri, meski menderita luka-luka akibat pertempuran brutal.
Jadi buronan VOC, Syekh Yusuf diketahui tinggal di kaki Gunung Cereme, 130 km di utara Tunggulis. Demi memancing keluar dari persembunyian, Batavia menawan istri dan anaknya. Khawatir dengan keselamatan keluarganya, Syekh Yusuf pun menyerahkan diri pada Maret 1683 (Merle Calvin Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Serambi, 2008).
5. Syekh Yusuf wafat di Zandvliet, Afrika Selatan
Saat menjalani masa penahanan di Batavia, VOC rupanya kebingungan dengan nasib Syekh Yusuf. Komandan VOC di Makassar waktu itu, Willem Hartsink, mengusulkan agar ia lebih baik dipulangkan ke kampung halaman dan dijadikan tahanan rumah. Namun usul tersebut ditolak pejabat tinggi di Batavia, Dirk de Haas (setelah mempertimbangkan pandangan Arung Palakka), lantaran takut dengan potensi bangkitnya kembali perlawanan rakyat Gowa-Tallo.
Namun, menahannya terlalu lama juga tak menguntungkan VOC. Kerry Ward dalam buku "Networks of Empire: Forced Migration in the Dutch East India Company" (Cambridge University Press, 2009) menjelaskan bahwa Syekh Yusuf dipandang sebagai Wali dan populer di mata penduduk muslim Batavia. Alhasil, tempat penahanannya sering dikunjungi oleh orang-orang.
Keputusan pun diambil. Syekh Yusuf dibuang ke Kolombo, Sri Lanka, pada 12 September 1684 bersama istri, anak dan sejumlah pengikutnya yang mencapai 49 orang. Ia kembali dipindahkan oleh VOC ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan, pada tanggal 2 April 1694.
Wafat di Zandvliet pada 23 Mei 1699, pemerintah Indonesia memberi gelar 
Pemerintah Indonesia Memberi gelar Syekh YusufPahlawan Nasional 
pada 7 Agustus Tahun 1995

Catatan: