Rabu, 28 Agustus 2019

Perang Candu di China, Liliput Mengalahkan Raksasa

(Bagian 1)

 

Membandingkan Kerajaan Inggris dengan China baik dari jumlah penduduk maupun luas wilayah bagaikan membandingkan Manusia Liliput dengan Raksasa. Wilayah  China sangat luas dan pendudunya mungkin seratus kali penduduk Inggris. Namun begitu Inggris yang kecil punya ambisi untuk menaklukkan China yang raksasa. Maka Raksasa haruslah dilemahkan, kuncinya Candu kalau sekarang lebih popular dengan Narkoba.

 


Selama ratusan tahun, Orang-orang Cina tidak berhubungan dengan kegiatan ekonomi dunia lain. Meskipun demikian, banyak pedagang Eropa sangat ingin berdagang di Cina. Wilayah Cina saat itu terkenal sebagai produsen sutera, rempah-rempah, teh, dan porselan berkualitas. Komoditi tersebut sangat populer di Eropa. Namun, pemerintah Cina di bawah Dinasti Qing hanya mengizinkan perdagangan dilaksanakan di satu pelabuhan, yakni di Guangzhou (Kanton).

 

Untuk bisa menembus pasar China ini pedagang Eropa dalam hal ini Inggris mencari berbagai cara. Salah satu caranya dan yang ternyata ampuh adalah dengan menyeludupkan candu ke daratan China. Dan ternyata berhasil. Penduduk China banyak yang kecanduan. Untuk membiayai kecanduannya ini penduduk Cina terpaksa menjual barang-barang berharga mereka untuk ditukar dengan candu. Bangsa Cina sendiri sebenarnya telah mengenal candu sejak abad ke-15, namun Dinasti Qing melarang penghisapan candu pada tahun 1729, karena efeknya yang merusak.


Perdagangan candu sebelumnya dipelopori oleh bangsa India di bawah daulah Mughal, di mana perdagangan candu ilegal melalui Cina Selatan mendatangkan keuntungan besar. Ketika Inggris menguasai India, mereka melihat perdagangan candu sebagai peluang emas untuk memperbesar devisa.

Penyelundupan candu ke Cina meningkat pesat pada abad ke-18. Pada tahun 1730, 15 ton candu diselendupkan dan pada tahun 1773 mengalami peningkatan menjadi 75 ton. Candu-candu diselundupkan melalui laut dalam ribuan peti, yang masing-masing memuat sekitar 64 kilogram.


Membanjirnya candu di cina melemahkan rakyat Cina, jumlah pencandu mengalami peningkatan. Puncaknya ketika seorang pangeran menjadi pecandu, hal ini membuka mata Kaisar Daoguang akan bahaya terlarang ini. Pelarangan candu pun kembali ditegaskan pada tahun 1799, dan pada tahun 1810 dikeluarkan lah titah pelarangan dari kaisar.


Meskipun demikian, letak pusat pemerintahan yag terlalu jauh di sebelah utara, menyebabkan kerajaan tidak sanggup mengendalikan para pedagang dan pejabat korup yang menyelundupkan candu lewat Cina Selatan. Minimnya tindakan pemerintah menyebabkan penyelundupan candu terus mengalami peningkatan. Tercatat pada tahun 1820-an, penyelundupan candu meningkat drastis mencapai 900 ton per tahun.


Untuk mengatasi kondisi memprihatinkan masyarakat, pada tahun 1838 pemerintah Cina menjatuhkan hukuman mati bagi para penyelundup candu lokal. Penyelundupan saat itu telah mencapai angka 1.400 ton.

Pada bulan Maret tahun 1839, Kaisar mengangkat pejabat bernama Lin-Zexu untuk mengatasi penyelundupan candu di Kanton dengan kekuasaan penuh. Komisioner Tinggi Cina di Goungzhou, Lin Zexu segera mendatangi gudang penyimpanan candu Inggris.  Lin meminta pihak Inggris agar menyerahkan candu di tempat tersebut.


Namun, Charles Elliot, kepala perdagangan Inggris, menolak tuntutan ini. Akibatnya, Lin mengepung gudang tempat penyimpanan candu, yang  di dalamnya terdapat 300 pekerja. Pengepungan berlangsung selama 40 hari, para pekerja baru menyerah setelah menderita kelaparan.

Selanjutnya, candu sebanyak 22.291 peti ditenggelamkan ke laut. Lin juga memaksa Inggris agar menanda-tangani perjanjian untuk tidak menyelundupkan candu lagi. Pada bulan Mei 1839, seluruh pejabat East India Company dipaksa meninggalkan Kanton.



 Inggris menganggap tindakan pemerintah Cina sebagai penyitaan properti milik pribadi dan tidak dapat dibenarkan. Maka, Inggris mengirim kapal-kapal perang untuk mengancam pemerintah Cina dan mengepung pelabuhan.

Cina menolak membayar kompensasi, dan tetap melarang perdagangan dengan bangsa Inggris. Pada bulan November 1839, kapal perang Cina tanpa pernyataan perang ditembaki oleh kapal perang Inggris yang dikirim dari India. Akibatnya, Perang Candu I (1839-1842) antara Cina dan Inggris pun dimulai.


Perang Candu I sebagaian besar berlangsung di pantai dan di laut. Pada perang tersebut kapal-kapal Inggris yang notabene lebih modern dari kapal-kapal Cina, membombardir pantai tenggara Cina.

Keunggulan persenjataan membuat armada Inggris dengan mudah menguasai kota-kota pelabuhan Xianggang (Hongkong), Kanton, Xiamen, Ningbo, Fuzho dan Shanghai. Bahkan, pada bulan Agustus 1842, dengan kekuatan 80 kapal perang, mereka maju menuju Nanjing.


Di tengah kondisi Cina yang semakin terdesak. Kaisar Daoguang tidak menemukan jalan yang lebih baik selain menyerah kepada pihak Inggris. Pemerintah Cina dipaksa menyetujui Perjanjian Nanjing, yang banyak merugikan mereka.


Berikut point-point penting dari perjanjian Nanjing:

1.   Cina menyewakan Xianggang (Hongkong) pada Inggris.

2.   Pelabuhan-pelabuhan Kanton, Xiamen, Ningbo, Fuzhou, dan Shanghai harus dibuka bagi perdagangan dengan pihak Inggris.

3.   Cina diwajibkan membayar kerugian perang sebesar 21 juta mata uang perak.

4.   Memberikan hak istimewa bagi Inggris, serta membuka daerah khusus (ekstrateritorial) sebagai tempat tinggal warga Inggris.

5.   Hubungan antara pejabat-pejabat Cina dan Inggris harus berdasarkan asas sama rata.

6.   Inggris berhak mengangkat konsul di tiap-tiap pelabuhan yang dibuka bagi aktivitas perdagangan mereka.

Perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 29 Agustus 1842, sama sekali tidak menyelesaikan masalah penyelundupan candu. Penyelundupan masih berlangsung, meskipun secara resmi tetap dilarang. Dan pemerintah China yang sudah lemah tidak berdaya menghadapinya. Semoga apa yang dialami pemerintah China pada pertengahan abad 19 ini tidak dialami oleh Bangsa kita nantinya
(Berlanjut bagaian 2)



Catatan:

1.      Naskah berasal  dari https://wawasansejarah.com/perang-candu-di-cina/

2.      Gambar diambil dari google

 



 



Jumat, 09 Agustus 2019

Benteng Bukit Tajadi, Saksi Bisu Kisah Heroik Anak Bangsa Mempertahankan Tanah airnya


Benteng Bukit Tajadi atau kadang salah dieja Bukit Tak Jadi namun penduduk lebih senang menyebutnya gunung tak jadi  adalah bekas benteng pertahanan Kaum Padri yang terletak di Kampung Chaniago, Nagari Ganggo Hilie, Kecamatan Bonjol, Kabupaten Pasaman, Sumatra Barat, Indonesia. Saat meletusnya Perang Padri, benteng ini menjadi pusat komando pasukan Padri. Area benteng meliputi bukit berbentuk persegi panjang yang memiliki kemeringan hampir tegak lurus ke atas. Di atas bukit, pasukan Padri dulunya membangun struktur menyerupai benteng sebagai basis pertahanan Tuanku Imam Bonjol dan pengikutnya dari serangan pasukan Belanda sehingga dalam literatur Belanda area ini disebut sebagai Benteng Bonjol

Dalam catatan harian seorang seorang prajurit Belanda berpangkat Letnan I Boelhouwer, Benteng Bonjol digambarkan memiliki tembok-tembok yang terbuat dari batu-batu besar dengan teknik pembuatan hampir sama seperti benteng-benteng di Eropa. Sisi bukit dikelilingi oleh parit pertahanan dan rumpun bambu berduri yang sulit ditembus. Sejak 1833, pasukan Belanda berkali-kali melancarkan serangan untuk menaklukan Benteng Bonjol, tetapi menuai kegagalan. Belanda baru dapat menjatuhkan Benteng Bonjol setelah serangkaian serangan bertubi-tubi pada 15 Agustus 1837. 

Pada 2007, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatra Barat menetapkan bekas Benteng Bonjol sebagai cagar budaya. Namun, kondisinya saat ini tak terawat. Tidak ditemukan lagi struktur bangunan yang mengindikasikan sebuah bangunan pertahanan. Di puncak bukit, didirikan monumen untuk mengenang perjuangan Tuanku Imam Bonjol. Dari atas bukit, terhampar pemandangan daerah Bonjol dan sekitarnya


Bukit Tajadi memanjang sekitar 1 kilometer. Topografi tanahnya berundak hingga ketinggian 400 sampai 500 meter. Sisi bukit mempunyai sudut kemiringan yang terjal, bahkan hampir tegak lurus. Jejeran rumpun bambu berduri ditanam rapat-rapat mengelilingi sisi bukit yang dulunya berfungsi sebagai sistem pertahanan yang sulit ditembus oleh musuh, sementara Kaum Padri dapat mengamati gerak musuh tanpa terlihat.

Bukit Tajadi berbentuk segi empat panjang yang dipisahkan oleh sebuah sungai dengan aliran yang deras. Dalam buku Kenang-kenangan Sewaktu di Sumatera Barat tahun 1831–1834, seorang prajurit Belanda berpangkat Letnan I Boelhouwer menyebut Benteng Bonjol dibangun dengan teknik pembuatan hampir sama seperti benteng-benteng di Eropa. Tiga sisi Bonjol dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis setinggi kurang lebih 3 meter. Tembok luar terdiri dari batu-batu besar, yang menurut Boelhouwer, merupakan tembok benteng yang kokoh. Di antara kedua tembok benteng, dibuat parit yang dalam dengan lebar 4 meter. Di atas tembok benteng, ditanami bambu berduri "yang sudah hampir berupa hutan duri yang tidak dapat ditembus". Orang-orang Padri, sebut Boelhouwer merujuk pada Kaum Padri, menempatkan pengintai dan penembak jitu dibalik bambu berduri untuk memantau pergerakan pasukan Belanda.

Di beberapa tempat terlihat meriam-merian kaliber 12 pon dengan pedati beroda kayu tanpa jari-jari untuk mengangkutnya. Di dekat meriam tersebut, terdapat batu bulat sebagai pengganti peluru. Boelhouwer menulis, "Sungguh mengherankan bagaimana mereka dapat membawa meriam sebesar itu ke atas bukit, sedangkan kami (maksudnya Belanda) hanya mampu membawa meriam kaliber tiga pon. Itu pun harus dipereteli.

Di luar Bonjol, terdapat masjid berbentuk segi empat yang dibangun tanpa paku dan besi dengan atap terdiri dari lima lapis yang makin lama makin kecil dan tertutup sirap, bahan yang sama dengan yang dipakai untuk atap gereja-gereja di Eropa dan dapat menampung kurang lebih 3.000 orang. "Sebenarnya jika ada kemauan, bangsa Minang ini dapat mencapai kemajuan peradaban setara dengan Eropa," tulis Boelhouwer

Pemerintah kolonial menuai sejumlah kegagalan dalam usahanya untuk menaklukan Benteng Bonjol, pusat komando pasukan Padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Gagalnya penyerangan ke Bonjol dimuat dalam laporan Gubernur-Jenderal Hindia Belanda Van den Bosch bertanggal 21 September 1833. Sulitnya menembus Benteng Bonjol adalah salah satu faktor yang memperlambat gerak laju serangan Belanda dalam melumpuhkan Kaum Padri.

Pada 21 April 1835, operasi militer terhadap Bonjol kembali dilancarkan, dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer. Pada tengah malam 16 Juni 1835, pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol "dalam jarak kira-kira hanya 250 langkah".[9] Berapa kubu pertahanan Kaum Padri yang berada di sekitar Bukit Tajadi direbut pada awal September 1835, tetapi pasukan Belanda belum berhasil menguasai Bukit Tajadi. Pasukan Belanda justru kembali menuai kegagalan setelah Kaum Padri ke luar benteng menyerbu pasukan Belanda dan menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yang dibuat di sekitar Bukit Tajadi. 

Belanda baru dapat menjebol sebagian Benteng Bonjol pada akhir 1836, tetapi Kaum Padri dengan kegigihan dan semangat juang yang tinggi berhasil memukul mundur pasukan Belanda dari benteng. Setelah kegagalan penaklukan Bonjol, Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang baru Dominique Jacques de Eerens menunjuk Mayor Jenderal Cochius, seorang perwira tinggi Belanda yang memiliki keahlian dalam strategi perang Benteng Stelsel, untuk memimpin serangan besar-besaran ke Benteng Bonjol yang kesekian kalinya. 

Pada 16 Maret 1837, serangan intensif ke Bonjol oleh pasukan Belanda dimulai. Pada 3 Agustus 1837 dipimpin oleh Letnan Kolonel Michiels, Belanda sedikit demi sedikit menguasai keadaan. Benteng Bonjol jatuh pada 15 Agustus 1837, dan keesokan harinya, Benteng Bonjol dapat ditaklukkan secara keseluruhan. Walaupun demikian, Tuanku Imam Bonjol lolos dari pengepungan dan keluar dari benteng didampingi oleh beberapa pengikutnya. Imam Bonjol mencoba mengadakan konsolidasi terhadap pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, setelah lebih dari tiga tahun bertempur melawan Belanda. Hanya sedikit saja lagi pasukan yang masih siap bertempur. Melihat kenyataan semacam ini, Imam Bonjol menyerukan kepada pasukannya yang telah bercerai-berai agar kembali ke kampung halaman masing-masing.


Kini benteng yang punya kisah heroic anak bangsa dalam mempertahankan tanah airnya itu hanyalah sebuah bukit biasa  yang ditumbuhi semak belukar dan di lereng-lerengnya ditanami kebun kelapa sawit. Tembok-tembok dan parit-parit pertahanan sudah tidak ada. Juga meriam-meriam juga tidak ada  Bukit itu sunyi, hanya  desauan angin yang terdengar lirih. Jalan setapak sampai ke puncak disemenisasi sehingga kenderaan roda dua bisa sampai ke puncak, walaupun dibeberapa bagian tanjakannya sampai 60 derjat. Kadang kala ketika 17 Agustusan anak sekolah mengadakan upacara di sana. Pada puncaknya dibangun monument yang menyerupai manusia yang sedang berdiri. Pada dasar monument tertulis kata-kata yang memilukan “MENGHADAPI  KOLONIAL  BELANDA BUKAN SOALAN BAGIKU  TAPI  MEMPERSATUKAN  BONJOL AKU TERLUKA  KARENANYA”  Tak jauh dari situ pada sebuah tiang bendera merah putih berkibar ditiup angin siang dan malam.
Catatan: