Senin, 15 Juni 2020

DATUK TABANO SENDIRIAN MENGHADAPI KEROYOKAN SERDADU BELANDA


Setiap daerah di Indonesia ada tokoh-tokoh sejarah yang daibanggakan yang kadangkala kisah tentang mereka sudah dibumbui sedemikian rupa. Seperti di Riau, Kepulauan meranti ada si Koyan yang ceritanya sangat melegenda. Kalau di Kampar ditanyakan tokoh legendarisnya, urutan pertamanya pastilah Datuk Tabano. Siapa dia?

Datuk Tabano adalah seorang panglima perang di Kanagarian Lima Koto Kampar. Selama hidupnya, ia dikenal gigih melawan Belanda. Datuk Tabano memimpin rakyat Kampar dalam perang terbuka saat Belanda hendak masuk ke Lima Koto Kampar. Untuk mengantisipasi serangan Belanda itu, bersama rakyat Kampar, ia membangun benteng di atas sebuah bukit bernama Batu Dinding di Sungai Mahat. Sungai Mahat saat itu adalah satu-satunya jalur masuk bagi Belanda untuk bisa merangsek ke Lima Koto Kampar.

Di benteng itu Pasukan datuk tabano membuat jebakan dari kayu balok yang diikat dan ditumpuk diberi tali. Ketika serdadu Belanda datang melewati sungai itu dengan 20 perahu yang berisi 250 serdadu belanda, tali pengikat yang telah disiapkan lalu dilepaskan. Hasilnya, pasukan Belanda tenggelam akibat himpitan kayu-kayu besar yang dijatuhkan dari atas bukit. Sebagian yang masih hidup melarikan diri dan menyampaikan berita ke markas Belanda di Pangkalan Koto Baru.

Tidak terima dengan kekalahan itu, Belanda mempersiapkan serangan baru. Belanda menyerang Lima Koto Kampar dengan kekuatan pasukan seribu personil, melalui jalur darat yakni Pulau Godang dan Kuok. Mula-mula pasukan Belanda ini berhasil menawan Pucuk Adat Limo Koto Kampar Datuk Bandaro Sati dan memaksanya menunjukkan rumah Datuk Tabano. Di bawah tekanan keras Belanda, Datuk Bandaro Sati terpaksa menurut dan meminta Datuk Tabano menyerahkan diri.

Dengan tegas Datuk Tabano menolak, maka terjadilah pertempuran seru yang tidak seimbang antara  Datuk Tabano  yang dikroyok oleh puluhan sedadu Belanda. Perkelahian terjadi di dalam rumah datuk Tabano. Satu per satu tentara Belanda itu berhasil dibunuh Datuk Tabano. Lantai rumahnya pun penuh dengan genangan darah. Datuk Tabano berhasil membunuh 18  orang dari serdadu yang mengeroyoknya. Pada suatu kesempatan  seorang sersan belanda yang bernama Smith mencoba menyerang Datuk Tabano, ketika Smith menyerang Datuk  Tabano melompat mengelak, Smith jatuh tersungkur namun ketika Datuk Tabano balik menyerang melompati Smith, kakinya  juga tergelincir di  tikar yang sudah licin  terkena darah. Dia terjatuh dan dester yang di kepalanya terlepas, namun saat dia terjatuh itu ia masih sempat menyabetkan pedangnya dan menewaskan Smith. Smith ini merupakan serdadu yang ke – 19 yang tewas oleh Datuk Tabano. Seorang perwira belanda yang bernama Stein yang dari tadi berdiri siaga dipintu rumah melihat Datuk Tabano tergelincir, menggunakan kesempatan itu melepaskan tembakan kearah tubuh tabano, peluru senapan Stein yang sengaja telah disiapkan sejak awal menembus tubuh Tabano, kemudian ia menghujamkan sangkurnya ke leher Pahlawan yang heroik ini, dan amebrkhirnya manusia super dari Kampar itupun tewas.

Meskipun hanya seorang diri Datuk Tabano berhasil menewaskan 19 serdadu Belanda yang terdiri atas 10 orang Belanda dan 9 lainnya adalah tentara sewaan. Jenazah Datuk Tabano pun akhirnya  dikebumikan di Muara Uwai sementara serdadu Belanda yang tewas dibawa ke Pangkalan Koto Baru.

Catatan:

1. Sumber tulisan( Sumber : Pratama 88.8 ; http://kumpulanmakalahilmiah.blogspot.com/2011/04/l)
2. Gambar dari google

Jumat, 12 Juni 2020

Mac Arthur dan Jepang


Jenderal seperti manusia yang lain, bisa bermacam-macam. Salah satu dari mereka pernah hidup antara 1880-1964. Namanya Douglas Mac Arthur. Kepadanya Jepang menyerah tahun 1945, setelah perang panjang yang pedih. Tapi kepadanya juga Jepang berutang budi.

Akhir Agustus 1945, Jendera; Mac Arthur mendarat di lapangan Atsugi. Suatu langkah yang menegangkan. Kaisar Hirohito memang telah berseru kepada bangsanya untuk meletakkan senjata. Tapi ancaman belum habis. Sejumlah pemuda militant bergabung dalam Sonno Joi Gigun  menampik untuk takluk. Mereka membakar dua rumah mentri, malah mencoba menyerbu istana. Beberap pilot kamikaze juga dikabarkan untuk merencanakan untuk berperang sampai titik darah terkhir.
Mac Arthur yang angkuh tidak peduli dengan nasehat stafnya. Ia mendarat di Atsugi- tempat latihan pilot kamikaze- dan berniat  membuka markasnya cepat-cepat di Tokyo.

Sementara para perwira bawahannya berdebar-debar mencemaskan situasi keamanan. Mac Arthur dengan tenang naik mobil Lincoln tua yang disediakan pemerintah Jepang. Dari Atsugi ke The New Grand Hotel, Tokyo 25 km jaraknya.
Di hotel ia makan malam dengan stafnya. Ketika di hidangkan steak ia mengunyahnya tanpa curiga- meskipun salah saorang bawahannya menginginkan agar daging panggang itu dicicipi dulu oleh seorang Jepang, kalau-kalau diracun.

Tapi Mac Arthur memang lain. Manager hotel saking terharunya akan sikap tanpa curiga panglima Amerika itu, berpidato mengucapkan terimakasih. Mac Arthur senang. Ia tahu bahwa ia telah memberi syarat kepada bangsa Jepang bahwa pasukan pendudukan AS akan bersikap murah hati.
Di samping itu memang ada pertimbangan yang lebih sederhana, tapi dalam keadaan berantakan oleh perang. Tokyo bukanlah tempat yang mudah untuk mendapatkan steak.. Esoknya sang panglima hanya memperoleh sebutir telur untuk sarapannya- itupun setelah tentara dikerahkan mencari semalam suntuk.

Isyarat murah hati Mac Arthur lain: sebuah instruksi pagi hari itu, bahwa pasukan pendudukan dilarang mengambil makanan setempat. Tapi pasti yang lebih dikenang adalah pidatonya pada upacara penandatatanganan dokumen pernyataan takluk Jepang di kapal perang Missouri.

Hari itu 2 September 1945. Udara panas, menurut catatan perwira Amerika. Delegasi Jepang datang dipimpin oleh menteri luar neggeri Moramu Shigemitsu. Lelaki tua ini berkaki satu. Yang sebelah sudah kena bom teroris di Shanghai. Jalannya bertongkat tertatih-tatih, apalagi waktu naik ke kapal. Para perwira sekutu menyaksikan itu. Menurut catatan reporter yang hadir dengan “ rasa senang yang ganas”

Meskipun demikian, dan meskipun seorang anggota delegasi sekutu yang agak mabuk malah bertingkah kasar kepada delegasi Jepang, peristiwa itu telah dibikin Mac Arthur bukan sebagai pertunjukan kemenangan. Ia muncul tanpa sebuah medalipun di dadanya. Sikap tegaknya sempurna, tapi tangannya agak gemetar, ketika ia membaca pidato yang ia siapkan sendiri: “ Kita berkumpul di sini, para wakil kekuatan-kekuatan utama yang berperang untuk menyimpul suatu persetujuan yang khidmat, yang merupakan jalan menuju perdamaian”
Bagi para penakluk dan pihak yang ditaklukkan harus bangkit kearah suatu kehidupan yang ditujukan  bagi “kemerdekaan, toleransi dan keadilan”

Toshikazu Kase, seorang anggota delegasi Jepang agak kaget mendengar pidato seperti itu. Menurut Kase yang pernah dididik di Amerika itu, Mac Arthur  bisa mendiktekan hukuman yang berat dan menghina kepada bangsa Jepang. Tapi tidak. Dek kapal Missouri pagi itu tiba-tiba berubah menjadi altar perdamaian.


Dalam bahasa jawa ada petuah agar kita menang tanpa ngasorake, atau menang tanpa merendahkan martabat musuh. Memang ada batas juga bagi permusuhan dan kemenangan dalam dunia yang tidak abadi ini.

Catatan:
1.    Tulisan  bersumber dari Gunawan Mohamad, Catatan Pinggir,grafitipers.
2.    Gambar diambil dari google
 

Kamis, 04 Juni 2020

Mengenang Pembantaian Rakyat Banda oleh Belanda tahun 1621

 
Selama menguasai Kepulauan Nusantara, Belanda sering melakukan pembunuhan berskala  besar  terhadap penduduk Nusantara dengan berbagai cara. Ada yang pembantaian secara lansung dan ada pula pembunuhan dengan cara kerja paksa yang mengakibatkan rakyat tewas karena kelelahan dan kelaparan


Sekurangnya selama mengangkangi nusantara  ada empat kali pembunuhan besar-besaran yang dilakukan  Belanda terhadap rakyat Nusantara, yaitu Pembantaian di Pulau Banda, Kerja Paksa membangun Jalan dari Anyer ke Panarukan yang berjarak seribu kilometer dan yang terakhir ketika Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya yaitu pembantaian yang dilakukan Westerling dan pasukannya. Di samping pembunuhan- pembunuhan lainnya ketika memadamkan pemberontakan dan menaklukan suatu daerah.

Berbicara masalah pembantaian di pulau Banda ini pembicaraan tidak bisa luput mengenai sosok Jan Pieterszoon Coen yang bertanggungjawab lansung terhadap pembantaian itu. Ketika itu JP Coen menjabat Gubernur Jenderal. Ia datang ke Banda dari Batavia tanggal 27 Februari 1621 dengan tujuan menciptakan monopoli perdagangan pala. Selain pasukan tentara-tentara VOC, JP Coen membawa tentara VOC yang telah habis masa kontrak, orang-orang mardijkers (orang-orang Portugis di Batavia yang dibebaskan setelah mereka menganut Kristen Protestan seperti orang-orang Belanda), dan musketiers (para relawan). Ia juga membawa orang-orang hukuman dari Pulau Jawa untuk bekerja sebagai pendayung perahu dan tentara bayaran Jepang yang disebut Ronin (samurai yang tidak mempunyai pimpinan lagi).

Operasi penaklukan Banda dimulai 3 Maret 1621. JP Coen dan pasukannya mulai menyerang Banda Besar di pagi hari tanggal 11 Maret 1621. Hanya dalam sehari semalam mereka berhasil menguasai seluruh pulau itu. Desa Selamon – tempat awal Islam masuk ke Banda – dijadikan markas besar mereka di sana. Selain menguasai desa mereka juga menyita balai desa untuk digunakan sebagai kantor Gubernur Banda yang baru yaitu Kapten Martin ‘t Sionck, dan mesjid di sebelah balai untuk penginapan pasukan. Orang Kaya Jareng dari Selamon menolak mesjid digunakan untuk para pasukan Belanda. Ia tidak berkeberatan jika mesjid digunakan oleh Gubernur Sionck. Namun Sionck tidak peduli dengan tanggapan Orang Kaya Jareng tersebut. Ia juga tidak mengizinkan Orang Kaya Jareng dan penduduk desa menggunakan mesjid untuk ibadah yang akan dilaksanakan dua hari kemudian.

Hari-hari tegang dan mencekam, namun belum terjadi insiden berarti. Hingga suatu malam, terdengar suara keras dari dalam masjid. Rupanya, lampu gantung jatuh dengan tiba-tiba. Namun, kegaduhan itu membuat Belanda curiga dan menuduh warga sedang mempersiapkan serangan .

Kericuhan tidak terhindarkan karena VOC segera merespons dengan tindakan keras, bahkan kejam. Warga dibantai tanpa ampun, tidak hanya di Pulau Lontor dan Naira, melainkan di pulau-pulau lainnya. Yang berhasil melarikan diri hanya sekitar 300-an orang saja.
Pasukan VOC beserta para serdadu bayarannya menghancurkan apapun yang mereka temui, termasuk rumah-rumah penduduk dan perahu-perahu milik warga, selain terus membunuhi orang-orang yang tidak sempat kabur. 

JP Coen menangkap para Orang Kaya Banda. Mereka dipaksa mengaku sebagai pemicu kerusuhan. Satu kurungan bambu berbentuk bulat dibangun di luar Benteng Nassau. Delapan Orang Kaya paling berpengaruh digiring masuk ke dalam kurungan. Mereka dituduh bersekongkol untuk membunuh Gubernur Jenderal JP Coen. Enam orang serdadu algojo Jepang kemudian diperintahkan masuk ke dalam kurungan. Dengan pedangnya yang tajam mereka memotong kedelapan Orang Kaya ini menjadi empat bagian. Berikutnya ke-36 Orang Kaya lainnya dipenggal kepala, lalu dipotong-potong badannya. Potongan kepala dan badan ditancapkan pada ujung bambu untuk dipertontonkan kepada masyarakat.

Coen memang bertindak sangat kejam sebagai perwujudan balas dendam. Hampir seluruh penduduk di Kepulauan Banda dimusnahkan dengan sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan Diperkirakan dari 15 ribuan penduduk Kepulauan Banda saat itu, yang tersisa kurang dari 1000 orang saja akibat pembantaian VOC tersebut.

Setelah berhasil  membantai hampir seluruh  penduduknya, Belanda lalu sepenuhnya menguasai Kepulauan Banda yang amat kaya dengan rempah-rempah itu dan mendapatkan keuntungan besar selama berpuluh-puluh tahun kemudian.

Note:
1.    Sumber tulisan - https://tirto.id/pembantaian-orang-orang-banda-czNl dan http://rizanoanders.staff.unja.ac.id/pembantaian-belanda-paling-kejam
2.    Gambar diambil dari google