Rabu, 30 Maret 2022

Serangan Umum 1 Maret 1949 yang Menggemparkan Belanda dan Dunia (Part 3)

Jalannya Serangan Umum

Tanggal 1 Maret 1949, pagi hari, serangan secara besar-besaran yang serentak dilakukan di seluruh wilayah Divisi III/GM III dimulai, dengan fokus serangan adalah Ibu kota Republik yakni kota Yogyakarta, serta koar-besaran oleh pasukan Brigade X yang diperkuat dengan satu Batalyon dari Brigade IX, sedangkan serangan terhadap pertahanan Belanda di Magelang dan penghadangan di jalur [[Magelta-kota di sekitar Yogyakarta, terutama Magelang, sesuai Instruksi Rahasia yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng kepada Komandan Wehrkreis I, Letkol Bahrun dan Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini.



  Pada saat yang bersamaan, serangan juga dilakukan di wilayah Divisi II/GM II, dengan fokus penyerangan adalah kota Surakarta, guna mengikat tentara Belanda dalam pertempuran agar tidak dapat mengirimkan bantuan ke Yogyakarta.

Pos komando ditempatkan di desa Muto. Pada malam hari menjelang serangan umum itu, pasukan telah merayap mendekati kota dan dalam jumlah kecil mulai disusupkan ke dalam kota. Pagi hari sekitar pukul 06.00, sewaktu sirene dibunyikan serangan segera dilancarkan ke segala penjuru kota. Dalam penyerangan ini Letkol Soeharto langsung memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas Malioboro. Sektor Timur dipimpin Ventje Sumual, sektor selatan dan timur dipimpim Mayor Sardjono, sektor utara oleh Mayor Kusno. Sedangkan untuk sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki sebagai pimpinan. TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Tepat pukul 12.00 siang, sebagaimana yang telah ditentukan semula,seluruh pasukkan TNI mundur



Serangan terhadap kota Surakarta yang juga dilakukan secara besar-besaran, dapat menahan Belanda di Surakarta sehingga tidak dapat mengirim bantuan dari Surakarta ke Yogyakarta, yang sedang diserang secara besar-besaran – Yogyakarta yang dilakukan oleh Brigade IX, hanya dapat memperlambat gerak pasukan bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tentara Belanda dari Magelang dapat menerobos hadangan gerilyawan Republik, dan sampai di Yogyakarta sekitar pukul 11.00.

Kerugian di kedua belah pihak



Dari pihak Belanda, tercatat 6 orang tewas, dan di antaranya adalah 3 orang anggota polisi; selain itu 14 orang mendapat luka-luka. Segera setelah pasukan Belanda melumpuhkan serangan terebut, keadaan di dalam kota menjadi tenteram kembali. Kesibukan lalu-lintas dan pasar kembali seperti biasa, malam harinya dan hari-hari berikutnya keadaan tetap tenteram.

Pada hari Selasa siang pukul 12.00 Jenderal Meier (Komandan teritorial merangkap komandan pasukan di Jawa Tengah), Dr. Angent (Teritoriaal Bestuurs-Adviseur), Kolonel van Langen (komandan pasukan di Yogyakarta) dan Residen Stock (Bestuurs-Adviseur untuk Yogyakarta) telah mengunjungi kraton guna membicarakan keadaan dengan Sri Sultan.



Dalam serangan terhadap Yogyakarta, pihak Indonesia mencatat korban sebagai berikut: 300 prajurit tewas, 53 anggota polisi tewas, rakyat yang tewas tidak dapat dihitung dengan pasti. Menurut majalah Belanda De Wappen Broeder terbitan Maret 1949, korban di pihak Belanda selama bulan Maret 1949 tercatat 200 orang tewas dan luka-luka.

Perkembangan setelah Serangan Umum 1 Maret



Mr. Alexander Andries Maramis, yang berkedudukan di New Delhi menggambarkan betapa gembiranya mereka mendengar siaran radio yang ditangkap dari Burma, mengenai serangan besar-besaran Tentara Nasional Republik Indonesia terhadap Belanda. Berita tersebut menjadi Headlines di berbagai media cetak yang terbit di India. Hal ini diungkapkan oleh Mr. Maramis kepada dr. W. Hutagalung, ketika bertemu pada tahun 50-an di Pulo MasJakarta.



Serangan Umum 1 Maret mampu menguatkan posisi tawar dari Republik Indonesia, mempermalukan Belanda yang telah mengklaim bahwa RI sudah lemah. Tak lama setelah Serangan Umum 1 Maret terjadi Serangan Umum Surakarta yang menjadi salah satu keberhasilan pejuang RI yang paling gemilang karena membuktikan kepada Belanda, bahwa gerilya bukan saja mampu melakukan penyergapan atau sabotase, tetapi juga mampu melakukan serangan secara frontal ke tengah kota Solo yang dipertahankan dengan pasukan kavelerie, persenjataan berat - artileri, pasukan infantri dan komando yang tangguh. Serangan umum Solo inilah yang menyegel nasib Hindia Belanda untuk selamanya.

(Bersambung ke Serangan Umum Part 4)

 

Catatan :

1.      Artikel dikutip lansung dari https://id.wikipedia.org/wiki/Serangan_Umum_1_Maret_1949

2.      Gambar diambil dari google

 

 

Sabtu, 19 Maret 2022

Serangan Umum 1 Maret 1949 yang Menggemparkan Belanda dan Dunia (Part 2)

  


Selain itu sejak dikeluarkan Perintah Siasat tertanggal 1 Januari 1949 dari Panglima Divisi III/Gubernur Militer III untuk selalu mengadakan serangan terhadap tentara Belanda, telah dilancarkan beberapa serangan umum di wilayah Divisi III/GM III. Seluruh Divisi III dapat dikatakan telah terlatih dalam menyerang pertahanan tentara Belanda.

Selain itu, sejak dimulainya perang gerilya pimpinan pemerintah sipil dari mulai Gubernur Wongsonegoro serta para Residen dan Bupati selalu diikutsertakan dalam rapat dan pengambilan keputusan yang penting dan kerjasama selama ini sangat baik. Oleh karena itu, dapat dipastikan dukungan terutama untuk logistik dari seluruh rakyat.



Selanjutnya dibahas, pihak-pihak mana serta siapa saja yang perlu dilibatkan, akan dicari beberapa pemuda berbadan tinggi dan tegap, lancar berbahasa BelandaInggris atau Prancis dan akan dilengkapi dengan seragam perwira TNI dari mulai sepatu sampai topi. Mereka sudah harus siap di dalam kota, dan pada waktu penyerangan telah dimulai, mereka harus masuk ke Hotel Merdeka guna menunjukkan diri kepada anggota-anggota UNCI serta wartawan-wartawan asing yang berada di hotel tersebut. Kolonel Wiyono, Pejabat Kepala Bagian PEPOLIT Kementerian Pertahanan yang juga berada di Gunung Sumbing akan ditugaskan mencari pemuda-pemuda yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, terutama yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris


.

Hal penting yang kedua adalah, dunia internasional harus mengetahui adanya Serangan Tentara Nasional Indonesia terhadap tentara Belanda, terutama terhadap Yogyakarta, Ibu kota Republik. Dalam menyebarluaskan berita ini ke dunia internasional maka dibantu oleh Kol. T.B. Simatupang yang bermarkas di Pedukuhan Banaran, desa Banjarsari, untuk menghubungi pemancar radio Angkatan Udara RI (AURI) di Playen, dekat Wonosari, agar setelah serangan dilancarkan berita mengenai penyerangan besar-besaran oleh TNI atas Yogyakarta segera disiarkan.

Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, TB Simatupang lebih kompeten menyampaikan hal ini kepada pihak AURI daripada perwira Angkatan Darat. Diperkirakan apabila Belanda melihat bahwa Yogyakarta diserang secara besar-besaran, dipastikan mereka akan mendatangkan bantuan dari kota-kota lain di Jawa Tengah, dimana terdapat pasukan Belanda yang kuat seperti MagelangSemarang dan Solo. Jarak tempuh (waktu itu) Magelang - Yogya hanya sekitar 3 - 4 jam saja; Solo - Yogya, sekitar 4 - 5 jam, dan Semarang - Yogya, sekitar 6 - 7 jam. Magelang dan Semarang (bagian Barat) berada di wilayah kewenangan Divisi III GM III, dan Solo berada di bawah wewenang Panglima Divisi II/GM II Kolonel Gatot Subroto. Oleh karena itu, serangan di wilayah Divisi II dan III harus dikoordinasikan dengan baik sehingga dapat dilakukan operasi militer bersama dalam kurun waktu yang ditentukan, sehingga bantuan Belanda dari Solo dapat dihambat, atau paling tidak dapat diperlambat.



Pimpinan pemerintahan sipil, Gubernur Wongsonegoro, Residen Budiono, Residen Salamun, Bupati Sangidi dan Bupati Sumitro Kolopaking ditugaskan untuk mengkoordinasi persiapan dan pasokan perbekalan di wilayah masing-masing. Pada waktu bergerilya, para pejuang sering harus selalu pindah tempat, sehingga sangat tergantung dari bantuan rakyat dalam penyediaan perbekalan. Selama perang gerilya, bahkan Camat, Lurah serta Kepala Desa sangat berperan dalam menyiapkan dan memasok perbekalan (makanan dan minuman) bagi para gerilyawan. Ini semua telah diatur dan ditetapkan oleh pemerintah militer setempat.

Untuk pertolongan dan perawatan medis, diserahkan kepada PMI. Peran PMI sendiri juga telah dipersiapkan sejak menyusun konsep Perintah Siasat Panglima Besar. Dalam konsep Pertahanan Rakyat Total - sebagai pelengkap Perintah Siasat No. 1 - yang dikeluarkan oleh Staf Operatif (Stop) tanggal 3 Juni 1948, butir 8 menyebutkan: Kesehatan terutama tergantung kepada Kesehatan Rakyat dan P.M.I. karena itu evakuasi para dokter dan rumah obat mesti menjadi perhatian.



Walaupun dengan risiko besar, Sutarjo Kartohadikusumo, Ketua DPA yang juga adalah Ketua PMI (Palang Merah Indonesia), mengatur pengiriman obat-obatan bagi gerilyawan di front. Beberapa dokter dan staf PMI kemudian banyak yang ditangkap oleh Belanda dan ada juga yang mati tertembak sewaktu bertugas. Setelah rapat selesai, Komandan Wehrkreise II dan para pejabat sipil pulang ke tempat masing-masing guna mempersiapkan segala sesuatu, sesuai dengan tugas masing-masing. Kurir segera dikirim untuk menyampaikan keputusan rapat di Gunung Sumbing pada 18 Februari 1949 kepada Panglima Besar Sudirman dan Komandan Divisi II/Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto.



Sebagaimana telah digariskan dalam pedoman pengiriman berita dan pemberian perintah, perintah yang sangat penting dan rahasia, harus disampaikan langsung oleh atasan kepada komandan pasukan yang bersangkutan. Maka rencana penyerangan atas Yogyakarta yang ada di wilayah Wehrkreise I di bawah pimpinan Letkol. Suharto, akan disampaikan langsung oleh Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng. Kurir segera dikirim kepada Komandan Wehrkreise III/Brigade 10, Letkol. Suharto, untuk memberitahu kedatangan Panglima Divisi III serta mempersiapkan pertemuan. Diputuskan untuk segera berangkat sore itu juga guna menyampaikan grand design kepada pihak-pihak yang terkait. Ikut dalam rombongan Panglima Divisi selain Letkol. dr. Hutagalung, antara lain juga dr. Kusen (dokter pribadi Bambang Sugeng), Bambang Surono (adik Bambang Sugeng), seorang mantri kesehatan, seorang sopir dari dr. Kusen, Letnan Amron Tanjung (ajudan Letkol Hutagalung) dan beberapa anggota staf Gubernur Militer (GM) serta pengawal.



Pertama-tama rombongan singgah di tempat Kol. Wiyono dari PEPOLIT, yang bermarkas tidak jauh dari markas Panglima Divisi, dan memberikan tugas untuk mencari pemuda berbadan tinggi dan tegap serta fasih berbahasa BelandaInggris atau Prancis yang akan diberi pakaian perwira TNI. Menjelang sore hari, Panglima Divisi beserta rombongan tiba di Pedukuhan Banaran mengunjungi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kol. Simatupang. Selain anggota rombongan Bambang Sugeng, dalam pertemuan tersebut hadir juga Mr. M. Ali Budiarjo, yang kemudian menjadi ipar Simatupang.

Simatupang pada saat itu dimohonkan untuk mengoordinasi pemberitaan ke luar negeri melaui pemancar radio AURI di Playen dan di Wiladek, yang ditangani oleh Koordinator Pemerintah Pusat.Setelah Simatupang menyetujui rencana grand design tersebut, Panglima Divisi segera mengeluarkan instruksi rahasia yang ditujukan kepada Komandan Wehrkreise I Kolonel Bachrun, yang akan disampaikan sendiri oleh Kol. Sarbini.



Brigade IX di bawah komando Letkol Achmad Yani, diperintahkan melakukan penghadangan terhadap bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tanggal 19 Februari 1949. Panglima Divisi dan rombongan meneruskan perjalanan, yang selalu dilakukan pada malam hari dan beristirahat pada siang hari, untuk menghindari patroli Belanda. Penunjuk jalan juga selalu berganti di setiap desa. Dari Banaran rombongan menuju wilayah Wehrkreise III melalui pegunungan Menoreh untuk menyampaikan perintah kepada Komandan Wehrkreis III Letkol. SuhartoBambang Sugeng beserta rombongan mampir di Pengasih, tempat kediaman mertua Bambang Sugeng dan masih sempat berenang di telaga yang ada di dekat Pengasih (Keterangan dari Bambang Purnomo, adik kandung alm. Bambang Sugeng, yang kini tinggal di Temanggung). Pertemuan dengan Letkol. Suharto berlangsung di Brosot, dekat Wates. Semula pertemuan akan dilakukan di dalam satu gedung sekolah, namun karena kuatir telah dibocorkan, maka pertemuan dilakukan di dalam sebuah gubug di tengah sawah. Hadir dalam pertemuan tersebut lima orang, yaitu Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kol. Bambang Sugeng,



 Perwira Teritorial Letkol. dr. Wiliater Hutagalung beserta ajudan Letnan Amron Tanjung, Komandan Wehrkreise III/Brigade X Letkol. Suharto beserta ajudan. Kepada Suharto diberikan perintah untuk mengadakan penyerangan antara tanggal 25 Februari dan 1 Maret 1949. Kepastian tanggal baru dapat ditentukan kemudian, setelah koordinasi serta kesiapan semua pihak terkait, antara lain dengan Kol. Wiyono dari Pepolit Kementerian Pertahanan.

Setelah semua persiapan matang, baru kemudian diputuskan (keputusan diambil tanggal 24 atau 25 Februari), bahwa serangan tersebut akan dilancarkan tanggal 1 Maret 1949, pukul 06.00 pagi. Instruksi segera diteruskan ke semua pihak yang terkait.

Puncak serangan dilakukan dengan serangan umum terhadap kota Yogyakarta (ibu kota negara) pada tanggal 1 Maret 1949, dibawah pimpinan Letnan Kolonel Suharto, Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III

 

Catatan :

1.      Dikutip lansung dari https://id.wikipedia.org/wiki/Serangan_Umum_1_Maret_1949

2.      Gambar diambil dari google

(Bersambung ke Serangan Umum Part 3)

 

Senin, 14 Maret 2022

Serangan Umum 1 Maret 1949 yang Menggemparkan Belanda dan Dunia (Part 1)


 Serangan umum 1 Maret 1949 adalah peristiwa heroic yang dilakukan Tentara Nasional Indonesia dalam rangka menunjukkan pada dunia tentang Eksistensi Negara Republik Indonesia Setelah Belanda merbut ibukota Republik Indonesi yang waktu itu Yogyakarta pada agresi mileter ke -2. Dan ini adalah peristiwa sejarah yang akan selalu diingat oleh generasi bangsa Indonesia sampai kapanpun.



Namun peristiwa sejarah itu ahir-akhir ini hangat dibicarakan karena keluar Keppres Nomor 2 tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara yang yang diduga oleh banyak kalangan adalah upaya untuk menghlangkan peran Pak Harto Presiden Republik Indonesia ke 2 oleh rezim yang berkuasa yang hampir semuanya adalah penikmat kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan nyawa dan darah oleh generasi pejuang kemerdekaan.

Karena kisah ini adalah peristiwa sejarah maka untuk menulisnya tidak bisa dikarang maka saya mengutipnya lansung dari Wikpedia. Org. Dan juga karena kisah panjang maka saya tulis dalam beberapa seri. Selamat mengikuti.

 


Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah serangan yang terjadi pada tanggal 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Serangan ini telah dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan pimpinan pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng. Serangan ini bertujuan untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih ada dan cukup kuat, dengan harapan dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB. Perundingan tersebut memiliki tujuan utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu menjabat sebagai Komandan Brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.



Kurang lebih satu bulan setelah Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan pada Desember 1948Tentara Nasional Indonesia (TNI) mulai menyusun strategi untuk melakukan pukulan balik terhadap tentara Belanda. Strategi tersebut antara lain dimulai dengan memutuskan telepon, merusak jalan Kereta api, menyerang konvoi Belanda, serta tindakan lainnya.

Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos di sepanjang jalan-jalan besar penghubung kota-kota yang telah diduduki. Hal ini berarti kekuatan pasukan Belanda tersebar pada pos-pos kecil di seluruh daerah republik yang kini merupakan medan gerilya. Dalam keadaaan pasukan Belanda yang sudah terpencar-pencar, Tentara Nasional Indonesia (TNI) mulai melakukan serangan terhadap Belanda.

Sekitar awal Februari 1948, di perbatasan Jawa Timur, Letkol. dr.Wiliater Hutagalung - yang diangkat sebagai Perwira Teritorial sejak September 1948, ditugaskan untuk membentuk jaringan pesiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III. Ia bertemu dengan Panglima Besar Sudirman untuk melaporkan mengenai resolusi Dewan Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut dan melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Melalui Radio Rimba RayaPanglima Besar Sudirman juga telah mendengar berita tersebut. Panglima Besar Sudirman menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil untuk memutar balikkan propaganda Belanda.



Hutagalung yang membentuk jaringan di wilayah Divisi II dan III, dapat selalu berhubungan dengan Panglima Besar Sudirman, ia menjadi penghubung antara Panglima Besar Sudirman dengan Panglima Divisi II, Kolonel Gatot Subroto dan Panglima Divisi III, KolBambang Sugeng. Selain itu, sebagai dokter spesialis paru-paru, setiap ada kesempatan, Hutagalung juga ikut merawat Panglima Besar Sudirman yang saat itu menderita penyakit paru-paru. Setelah bergerilya turun gunung pada bulan September dan Oktober 1949, Hutagalung dan keluarganya tinggal di Paviliun rumah Panglima Besar Sudirman duli di Jalan Widoro No. 10, Yogyakarta.



Pemikiran yang dikembangkan oleh Hutagalung adalah perlunya meyakinkan dunia internasional terutama Amerika Serikat dan Inggris, bahwa Negara Republik Indonesia masih kuat, memiliki pemerintahan (Pemerintah Darurat Republik Indonesia – PDRI), dan memiliki Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sebagai pembuktian hal ini, maka untuk menembus resolusi harus diadakan serangan, yang tidak bisa disembunyikan oleh Belanda, dan harus diketahui oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI) dan wartawan asing untuk disebarluaskan ke seluruh dunia. Untuk menyampaikan kepada UNCI dan para wartawan asing bahwa Negara Republik Indonesia masih ada, diperlukan para Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dapat berbahasa InggrisBelanda, atau PrancisPanglima Besar Sudirman menyetujui gagasan tersebut dan menginstruksikan Hutagalung agar mengoordinasikan pelaksanaan gagasan tersebut dengan Panglima Divisi II dan III.



LetkoldrHutagalung masih tinggal beberapa hari untuk membantu merawat Panglima Besar Sudirman, sebelum kembali ke markasnya di Gunung Sumbing. Sesuai tugas yang diberikan oleh Panglima Besar Sudirman, dalam rapat Pimpinan Tertinggi Militer dan Sipil di wilayah Gubernur Militer III, yang dilaksanakan pada tanggal 18 Februari 1949 di markas yang terletak di lereng Gunung Sumbing. Selain Gubernur Militer/Panglima Divisi III Kol. Bambang Sugeng dan Letkol Wiliater Hutagalung, juga hadir Komandan Wehrkreis II, Letkol. Sarbini Martodiharjo, dan pucuk pimpinan pemerintahan sipil, yaitu Gubernur Sipil, Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro, Residen Banyumas R. Budiono, Residen Kedu Salamun, Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro Kolopaking, dan Bupati Sangidi.

Letkol Wiliater Hutagalung yang pada waktu itu juga menjabat sebagai penasihat Gubernur Militer III menyampaikan gagasan yang telah disetujui oleh Panglima Besar Sudirman, dan kemudian dibahas bersama-sama yaitu:



1.     Serangan dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III, yang melibatkan Wehrkreise I, II dan III,

2.     Mengerahkan seluruh potensi militer dan sipil di bawah Gubernur Militer III,

3.     Mengadakan serangan terhadap satu kota besar di wilayah Divisi III,

4.     Harus berkoordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar,

5.     Serangan tersebut harus diketahui dunia internasional, untuk itu perlu mendapat dukungan dari:

·         Wakil Kepala Staf Angkatan Perang guna koordinasi dengan pemancar radio yang dimiliki oleh AURI dan Koordinator Pemerintah Pusat,

·         Unit PEPOLIT (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan.



Tujuan utama penyerangan yang dilakukan adalah untuk menunjukkan eksistensi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan dengan demikian juga menunjukkan eksistensi Republik Indonesia kepada dunia internasional, maka anggota UNCI, wartawan asing serta para pengamat militer harus melihat perwira-perwira yang berseragam Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Setelah dilakukan pembahasan yang mendalam, grand design yang diajukan oleh Hutagalung disetujui, dan khusus mengenai "serangan spektakuler" terhadap satu kota besar, Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng bersikukuh, bahwa yang harus diserang secara spektakuler adalah Yogyakarta.

Tiga alasan penting yang dikemukakan Bambang Sugeng untuk memilih Yogyakarta sebagai sasaran utama adalah:



1.      Yogyakarta adalah Ibu kota RI, sehingga bila dapat direbut walau hanya untuk beberapa jam, akan berpengaruh besar terhadap perjuangan Indonesia melawan Belanda.

2.      Keberadaan banyak wartawan asing di Hotel Merdeka Yogyakarta, serta masih adanya anggota delegasi UNCI, serta pengamat militer dari PBB.

3.      Langsung di bawah wilayah Divisi III/GM III sehingga tidak perlu persetujuan Panglima/GM lain dan semua pasukan memahami dan menguasai situasi/daerah operasi.

 

Catatan :

1. Sumber tulisan https://id.wikipedia.org/wiki/Serangan_Umum_1_Maret_1949

2. Gambar diambil dari google

                                                                                  (Bersambung ke Part 2)