Jumat, 18 September 2020

Akhir Perjuangan Tuanku Imam Bonjol

 Lanjutan dari  “Tragedy Pada Suatu Malam Dalam Perjuangan Tuanku Imam Bonjol Melawan Belanda
 

Pada waktu akan berangkat meninggalkan Bonjol, jatuh berderai air mata Tuanku Imam
Keadaan nya ketika itu  diibaratkan sebagai sampan  yang menempuh ombak besar  tapi pengayuh tidak ada. Walaupun demikian  dalam keadaan serba kritis itu, Tuanku Imam berpesan  kepada Datuk Sajati, Datuk Gamuk dan Bagindo Suman agar nanti mereka  membayar utang berupa emas kepada datuk Bandaro, yaitu utang untuk  membiayai  pengiriman kemenakannya ke Mekah dahulu


Demikian Juga ia berpesan kepada Datuk Batuah agar anaknya, Sutan Caniago dipelihara dengan  baik   dirumah bakonya di Kampung Koto.  Hal demikian diutarakan Tuanku Imam, karena ia berpendapat, bahwa perang tidak akan berakhir sebelum Belanda dapat menangkapnya, dan ia akan berkelana ke mana saja sampai ajalnya datang dalam berjuang menentang Belanda. 


Beberapa kali Tuanku Imam mengalami kegoncangan jiwa dan beberapa peristiwa lama muncul ke permukaan, namun pada akhirnya dapat diatasinya dengan pikiran yang rasional. Setelah Belanda menyerang Koto Merapak, Tuanku Imam dan rombongannya beserta 12 orang Jawa, mengungsi ke Ladang Rimbo. Tuanku Imam berkata, inilah kampung yang akan ganti kampung Bonjol sekiranya penghulu sepakat dengan hulubalang, inilah kampung yang aman tenteram. Namun beberapa hari kemudian datanglah seorang Jawa melaporkan kepada Tuanku Imam yang menyatakan bahwa Ladang Rimbo diserang Belanda dan banyak wanita yang diangkutnya ke Bonjol. Tuanku  Sinai dipenggal dan kepalanya dibawa ke Bonjol.


 Mendengar laporan ini  Tuanku Imam memerintahkan Sutan Caniago mempersiapkan senjatanya  tetapi Tuanku Haji Tuo menyabarkan hati Tuanku Imam  sambil menunggu berita Haji Muhammat  Amin. Mereka memperkuat  Pertahananan dan memasang perangkap batu.  Selama sebulan  mereka keadaan siaga, Kondisi serba kekurangan sehingga mereka makan talas saja. 

 


Sementara itu datang Bagindo Saidi dan Bagindo Tan Labih kepadanTuanku Imam untuk  menyampai kan surat  Residen Francis,  yang isinya  meminta Tuanku Imam Menyerah kepada wakilnya  Kapten Stenmetz. Setelah bermusyawarah  dengan seluruh anggota keluarga Tuanku Imam sepakat  mengirim utusan yang terdiri dari dua anaknya Sutan Caniago dan Sutan Saidi, dan sementara yang  sekaligus dubalang Tuanku Imam, Bagindo Tan Labih. Mereka ditugaskan berunding dengan Steinmetz di Bukittinggi. 

 


 Akhirnya, Tuanku Imam bersedia mengbentikan perlawanan, dan dalam perundingan di Palupuh, Tuanku Imam diperdayakan Belanda  dan ditangkap yang kemudian diperlakukan sebagai tawanan perang dibawa ke Bukitinggi dan ditandu sampai di Padang. Pemerintah kolonial Belanda memutuskan untuk mengasingkannya ke Cianjur. Setahun kemudian dipindahkan ke Ambon dan terakhir ke Lotak, distrik Kakaskasen, keresidenan Manado,  Daerah Minahasa pada waktu itu merupakan wilayah Awsten Residen Manado yang terbagi atas tiga distrik. Lotak meriipakan ibu negeri distrik Kakaskassen yang ber-penduduk 5.000 jiwa, yang terletak 9 km dari Manado ke arah selatan.

Tuanku Imam dibuang bersama seorang anaknya Sutan Saidi, kemenakannya AbdulWahab gelar Haji Muhammad Amin dan seorang semenda Datuk Bagindo Tan Labih serta seorang Jawa yang setia bernama Galito. Pada waktu sampai di Manado mereka ditempatkan di Koka, suatu desa yang terletak 3 km  dari Manado. Dengan demikian berakhir lah perjuangan Tuanku Imam Bonjol. Dan Perang Padri masih berlanjut dengan Panglimanya Perangnya Tuanku Tambusai.

Catatan :

1.      Sumber tulisan: Sjafnir ABoe Nain, Tuanku Imam Bonjol, Sejarah Intelektual Islam di Minang Kabau, 1784-1832, Penerbit  Esa Padang  hal. 80-81

2.       Beberapa gambar diambil dari google