Di
manapun negaranya di dunia ini setiap terjadi pergantian pemerintahan tentu
rakyat punya harapan pemerintahan baru pasti akan mendatangkan harapan baru
berupa kedamaian dan kesejahteraan. Demikian juga Rakyat Kamboja pada tahun
1975 ketika gerilyan Khemer Merah berhasil menggulingkan pemerintahan Lon Nol
rakyat berharap pemerintahan baru akan membawa angina baru. Namun yang terjadi
sebaliknya, bumi kamboja menjadi kuburan bagi sekitar 2 juta penduduknya
Kamboja merupakan negara berbentuk monarki konstitusional
yang terletak di Asia Tenggara yang berbatasan dengan Vietnam, Laos, dan
Thailand. Sebelum rezim Khmer Merah memimpin Kamboja di tahun 1975,
awalnya mereka adalah gerakan radikal yang berideologi komunis. Saat
kepemimpinan Lon Nol, Kamboja menjalankan gaya kepemimpinan berideologi liberal
anti-komunis dan juga dalam sistem perekonomiannya yang liberal dengan harapan
dapat mampu bersaing secara global.

Dalam praktiknya, rezim Lon Nol ternyata
berjalan buruk. Banyak kasus korupsi yang dilakukan pejabat hingga perang
sipil. Hal itu membuat gerakan komunis yang terinisiasi dalam Front Uni National du Kampuchea yang
mengajak dan mengumpulkan orang-orang yang bersimpati kepada Khmer Merah dengan
tujuan untuk menggulingkan pemerintahan Lon Nol. Khmer Merah beserta para
petingginya seperti Pol Pot dan kawan-kawan berhasil menggulingkan pemerintahan
Lon Nol tepatnya pada 17 April 1975. Masyarakat Kamboja saat itu senang karena
rezim yang korupsi telah dikalahkan. Pada saat itu juga pemerintahan Khmer
Merah langsung melakukan pekerjaanya sebagaimana ideologi mereka yakni ingin
menghapuskan bank dan pasar, hidup seperti dari awal dengan mengandalkan tenaga
manusia dan menggantungkan pada komoditas pertanian di desa-desa.

Pol Pot dan kawan-kawan mengawali
jalannya era pemerintahan dengan kebijakan untuk mengosongkan seluruh isi kota.
Masyarakat di kota dipaksa untuk meninggalkan rumah mereka, pekerjaan, harta
benda, dan segalanya yang ada di kota-kota terutama ibukota yaitu Phnom Penh
yang menjadi awal mula pasukan Khmer Merah memaksa masyarakat dengan
perlengkapan senjata. Mereka diperintahkan pasukan Pol Pot untuk meninggalkan
kota dan berjalan kaki menuju desa-desa masing-masing atau desa yang telah
ditentukan oleh kelompok ini. Hanya beberapa kelompok pekerjaan yang tidak
meninggalkan kota yakni pekerja pabrik, teknisi di perusahaan air, dan
perusahaan listrik kota. Kekejaman sudah dimulai dirasakan masyarakat Kamboja
pada awal pemerintahan ini, pasukan Khmer Merah tidak segan untuk membunuh
orang yang menolak perintah mereka. Khmer Merah memberikan alasan ke penduduk
kota untuk meninggalkan kota dan berjalan kaki ke desa yaitu tentang evakuasi
untuk menghindari bahaya pengeboman yang dilakukan Amerika Serikat di kota dan
proses evakuasi berlangsung hanya tiga hari. Namun, pada kenyataannya mereka
tidak pernah kembali ke kota dan rumah masing-masing.

Pada saat awal menjabat
sebagai pemimpin Kamboja, Pol Pot memproklamirkan bahwa Kamboja berganti nama
menjadi Democratic Kampuchea.
Kemudian ia juga menyebutkan akan menerapkan Chnam Saun yang memiliki arti
bahwa segala sesuatu dalam kegiatan bernegara ingin dibangun dari awal atau
titik nol dalam pemerintahannya. Dalam pandangan pemerintahan Pol Pot yang
berideologi dan menerapkannya konsep Marxisme-Leninisme ini melakukan percobaan
yang terbilang radikal untuk menciptakan sebuah utopia agrarian dengan konsep
Cham Saun. Orang-orang selain kelompok Khmer Merah itu dipaksa untuk membangun
pertanian dengan mengerahkan seluruh tenaga, karena prioritas pemerintahan
Khmer Merah adalah pembangunan pertanian yang maju dan modern yang akan menjadi
andalan komoditas dalam sektor perekonomian negara Kamboja

Banyak sekali hal yang awalnya
masyarakat Kamboja hidup dengan kenormalan, tetapi di rezim Khmer Merah ini
terjadi perubahan yang cukup mengejutkan masyarakat Kamboja. Contohnya adalah
pengaruh budaya Barat, kehidupan kota, kapitalisme, agama, dan semuanya yang
ada pengaruh dari asing harus dihilangkan. Semua orang asing yang ada di
Kamboja saat itu diusir, kedutaan ditutup, dan setiap bantuan ekonomi atau
medis dari negara lain ditolak mentah-mentah. Penggunaan bahasa asing dilarang.
Surat kabar dan stasiun televisi ditutup, radio dan sepeda disita, dan surat
dan telepon penggunaan dibatasi. Uang dilarang dan bank dihapuskan. Semua
bisnis yang ditutup, agama dilarang, pendidikan dihentikan, perawatan kesehatan
dihilangkan, dan hukum Kamboja dihilangkan. Sehingga dengan ini Kamboja
tertutup dari dunia luar.
Kemudian kebengisan dari rezim
Khmer Merah diawali dengan membunuh massal para pejabat pemerintahan
sebelumnya. Selain dari golongan pejabat, mereka juga mengincar beberapa
profesi atau golongan seperti polisi, tentara, pegawai pemerintahan, dan
perangkat jabatan lainnya juga ikut dieksekusi secara sadis dan tanpa ampun.
Yang paling membuat miris lagi adalah pembunuhan terhadap orang-orang yang
berpendidikan dan para pendeta Buddha juga ikut dibantai. Padahal orang
berpendidikan dapat berperan baik untuk memajukan negara. Pembunuhan dilakukan
dengan beragam cara dan mayatnya ada yang dikuburkan dalam kuburan massal atau
dibiarkan saja hanyut ke sungai.

Orang tua, anak muda, hingga
anak-anak semuanya dipaksa untuk bekerja setiap hari dengan jam kerja yang lama
dan panjang. Tak ada pilihan lain bagi masyarakat Kamboja untuk menjalani
paksaan dari Khmer Merah, mungkin rasanya bagai siksaan dunia yang tidak
berujung. Untuk pembagian makanan, mereka hanya dapat jatah sekali dalam
sehari, itu pun makanan yang diberikan oleh kelompok radikal ini makanan yang
seadanya bahkan dapat dikatakan sebagai makanan tidak layak. Untuk
menyiasatinya, para tahanan terkadang harus memakan apapun yang dapat dimakan
agar menghilangkan rasa laparnnya. Namun, mereka dilarang keras untuk memakan
makanan hasil panen dari yang mereka tanam seperti buah-buahan, sayur-sayuran,
dan beras. Begitu masa panen tiba, komoditas-komoditas tersebut langsung
diangkut oleh truk milik Khmer Merah.

Dalam proses kegiatan pemaksaan
kerja paksa yang dilakukan oleh pasukan Khmer Merah terhadap masyarakat
Kamboja, mereka hanya difasilitasi dengan alat-alat pertanian dan perkebunan
yang sangat sederhana. Hanya ada cangkul, palu, arit, alat gabah, dan
peralatan-peralatan lainnya yang berbentuk secara tradisional. Hal itu tentu
saja membuat masyarakat kelelahan dan memberatkan. Apalagi ditambah jam bekerja
yang memakan waktu belasan jam dan jatah makan hanya sedikit setiap orangnya.
Karena faktor-faktor tersebut, menghasilkan masyarakat Kamboja menderita sakit.
Beragam penyakit menjangkit para pekerja paksa yang dirampas haknya itu. Namun,
rezim Khmer Merah tidak menyediakan pertolongan tim medis sama sekali. Mereka
menganggap kegiatan medis adalah produk kapitalisme Barat yang harus
dihapuskan. Akhirnya masyarakat Kamboja yang sakit, hanya dapat diobati dengan
obat-obatan tradisional dan yang merawat juga belum tentu ahli dalam
pengobatan. Orang-orang yang jatuh sakit akibat kerja terlalu letih tidak
mendapat perawatan secara layak, sehingga hanya mengandalkan pengobatan
seadanya. Penyakit yang diderita pun banyak ragamnya, hingga pada akhirnya satu
per satu meninggal karena tidak adanya pengobatan yang baik. Mayatnya pun hanya
dikubur seadanya tanpa adanya prosesi atau upacara.

Genosida yang berlangsung selama
kurang lebih empat tahun itu memberikan luka yang amat serius bagi para korban
terutama para keluarga yang ditinggalkan karena aksi brutal Khmer merah dalam
menjalankan kegiatan pemerintahan. Diperkirakan jumlah korban tewas dari masa
terpuruk ini mencapai 1,7-2 juta penduduk yang diperkirakan sekitar 21 persen
dari total populasi Kamboja pada pertengahan 1970-an.
Berdasarkan
bukti-bukti yang ditemukan, jutaan penduduk tewas saat Pol Pot memerintah
Kamboja. Tempat-tempat yang diduga dan disangka dijadikan ladang pembantaian
pada saat itu, dijadikan museum untuk mengenang para korban. Hal ini salah satu
tragedi terburuk di dunia.
Catatan
:
1.
Tulisan dikutip dari https://retizen.republika.co.id/posts/12860/genosida-khmer-merah-yang-kelam-di-kamboja
2.
Gambar diambil dari google