Selain itu sejak dikeluarkan Perintah
Siasat tertanggal 1 Januari 1949 dari Panglima Divisi III/Gubernur
Militer III untuk selalu mengadakan serangan terhadap tentara Belanda, telah dilancarkan
beberapa serangan umum di wilayah Divisi III/GM III. Seluruh Divisi III dapat
dikatakan telah terlatih dalam menyerang pertahanan tentara Belanda.
Selain itu, sejak dimulainya perang
gerilya pimpinan pemerintah sipil dari mulai Gubernur Wongsonegoro serta
para Residen dan Bupati selalu diikutsertakan dalam rapat dan pengambilan
keputusan yang penting dan kerjasama selama ini sangat baik. Oleh karena itu,
dapat dipastikan dukungan terutama untuk logistik dari seluruh rakyat.
Selanjutnya dibahas, pihak-pihak mana serta siapa saja yang perlu dilibatkan, akan dicari beberapa pemuda berbadan tinggi dan tegap, lancar berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis dan akan dilengkapi dengan seragam perwira TNI dari mulai sepatu sampai topi. Mereka sudah harus siap di dalam kota, dan pada waktu penyerangan telah dimulai, mereka harus masuk ke Hotel Merdeka guna menunjukkan diri kepada anggota-anggota UNCI serta wartawan-wartawan asing yang berada di hotel tersebut. Kolonel Wiyono, Pejabat Kepala Bagian PEPOLIT Kementerian Pertahanan yang juga berada di Gunung Sumbing akan ditugaskan mencari pemuda-pemuda yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, terutama yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris
.
Hal penting yang kedua adalah, dunia
internasional harus mengetahui adanya Serangan Tentara Nasional Indonesia terhadap tentara Belanda, terutama
terhadap Yogyakarta,
Ibu kota Republik. Dalam
menyebarluaskan berita ini ke dunia internasional maka dibantu oleh Kol. T.B. Simatupang yang
bermarkas di Pedukuhan Banaran, desa Banjarsari, untuk
menghubungi pemancar radio Angkatan Udara RI (AURI) di Playen, dekat Wonosari, agar setelah
serangan dilancarkan berita mengenai penyerangan besar-besaran oleh TNI
atas Yogyakarta segera
disiarkan.
Dalam kapasitasnya sebagai Wakil
Kepala Staf Angkatan Perang, TB Simatupang lebih kompeten menyampaikan hal ini
kepada pihak AURI daripada perwira Angkatan Darat. Diperkirakan apabila Belanda melihat
bahwa Yogyakarta diserang
secara besar-besaran, dipastikan mereka akan mendatangkan bantuan dari
kota-kota lain di Jawa Tengah, dimana terdapat pasukan Belanda yang kuat
seperti Magelang, Semarang dan Solo. Jarak tempuh (waktu itu) Magelang - Yogya hanya sekitar 3 - 4 jam saja; Solo - Yogya, sekitar 4 - 5 jam, dan Semarang - Yogya, sekitar 6 - 7 jam. Magelang dan Semarang (bagian
Barat) berada di wilayah kewenangan Divisi III GM III, dan Solo berada di bawah wewenang Panglima
Divisi II/GM II Kolonel Gatot Subroto. Oleh karena
itu, serangan di wilayah Divisi II dan III harus dikoordinasikan dengan baik
sehingga dapat dilakukan operasi militer bersama dalam kurun waktu yang
ditentukan, sehingga bantuan Belanda dari Solo dapat dihambat, atau paling tidak
dapat diperlambat.
Pimpinan pemerintahan sipil,
Gubernur Wongsonegoro,
Residen Budiono, Residen Salamun, Bupati Sangidi dan Bupati Sumitro Kolopaking ditugaskan untuk
mengkoordinasi persiapan dan pasokan perbekalan di wilayah masing-masing. Pada
waktu bergerilya, para pejuang sering harus selalu pindah tempat, sehingga
sangat tergantung dari bantuan rakyat dalam penyediaan perbekalan. Selama
perang gerilya, bahkan Camat, Lurah serta Kepala Desa sangat berperan dalam
menyiapkan dan memasok perbekalan (makanan dan minuman) bagi para gerilyawan.
Ini semua telah diatur dan ditetapkan oleh pemerintah militer setempat.
Untuk pertolongan dan perawatan medis,
diserahkan kepada PMI. Peran PMI sendiri juga telah dipersiapkan sejak
menyusun konsep Perintah Siasat Panglima Besar. Dalam konsep Pertahanan Rakyat Total -
sebagai pelengkap Perintah Siasat No. 1 - yang dikeluarkan oleh Staf Operatif
(Stop) tanggal 3 Juni 1948, butir 8 menyebutkan: Kesehatan terutama
tergantung kepada Kesehatan Rakyat dan P.M.I. karena itu evakuasi para dokter
dan rumah obat mesti
menjadi perhatian.
Walaupun dengan risiko besar, Sutarjo Kartohadikusumo, Ketua DPA yang juga adalah Ketua PMI (Palang Merah Indonesia), mengatur
pengiriman obat-obatan bagi gerilyawan di front. Beberapa dokter dan staf PMI
kemudian banyak yang ditangkap oleh Belanda dan ada juga
yang mati tertembak sewaktu bertugas. Setelah rapat selesai, Komandan Wehrkreise II
dan para pejabat sipil pulang ke tempat masing-masing guna mempersiapkan segala
sesuatu, sesuai dengan tugas masing-masing. Kurir segera dikirim untuk
menyampaikan keputusan rapat di Gunung Sumbing pada 18 Februari 1949 kepada Panglima
Besar Sudirman dan Komandan
Divisi II/Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto.
Sebagaimana telah digariskan dalam
pedoman pengiriman berita dan pemberian perintah, perintah yang sangat penting
dan rahasia, harus disampaikan langsung oleh atasan kepada komandan pasukan
yang bersangkutan. Maka rencana penyerangan atas Yogyakarta yang ada di
wilayah Wehrkreise I di bawah pimpinan
Letkol. Suharto, akan disampaikan
langsung oleh Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng. Kurir segera
dikirim kepada Komandan Wehrkreise III/Brigade 10, Letkol. Suharto, untuk memberitahu
kedatangan Panglima Divisi III serta mempersiapkan pertemuan. Diputuskan untuk
segera berangkat sore itu juga guna menyampaikan grand design kepada
pihak-pihak yang terkait. Ikut dalam rombongan Panglima Divisi selain Letkol.
dr. Hutagalung, antara lain juga dr. Kusen (dokter pribadi Bambang Sugeng), Bambang Surono (adik Bambang Sugeng), seorang
mantri kesehatan, seorang sopir dari dr. Kusen, Letnan Amron Tanjung (ajudan Letkol Hutagalung)
dan beberapa anggota staf Gubernur Militer (GM) serta pengawal.
Pertama-tama rombongan singgah di
tempat Kol. Wiyono dari PEPOLIT, yang bermarkas tidak jauh dari
markas Panglima Divisi, dan memberikan tugas untuk mencari pemuda berbadan
tinggi dan tegap serta fasih berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis yang akan
diberi pakaian perwira TNI. Menjelang sore hari, Panglima Divisi beserta
rombongan tiba di Pedukuhan Banaran mengunjungi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang
Kol. Simatupang. Selain anggota rombongan Bambang Sugeng, dalam
pertemuan tersebut hadir juga Mr. M. Ali Budiarjo, yang
kemudian menjadi ipar Simatupang.
Simatupang pada saat itu dimohonkan
untuk mengoordinasi pemberitaan ke luar negeri melaui pemancar radio AURI
di Playen dan di Wiladek, yang ditangani oleh Koordinator Pemerintah
Pusat.Setelah Simatupang menyetujui rencana grand design tersebut, Panglima
Divisi segera mengeluarkan instruksi rahasia yang ditujukan kepada
Komandan Wehrkreise I Kolonel Bachrun, yang akan disampaikan sendiri oleh Kol. Sarbini.
Brigade IX di bawah komando Letkol Achmad Yani, diperintahkan melakukan penghadangan terhadap bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tanggal 19 Februari 1949. Panglima Divisi dan rombongan meneruskan perjalanan, yang selalu dilakukan pada malam hari dan beristirahat pada siang hari, untuk menghindari patroli Belanda. Penunjuk jalan juga selalu berganti di setiap desa. Dari Banaran rombongan menuju wilayah Wehrkreise III melalui pegunungan Menoreh untuk menyampaikan perintah kepada Komandan Wehrkreis III Letkol. Suharto. Bambang Sugeng beserta rombongan mampir di Pengasih, tempat kediaman mertua Bambang Sugeng dan masih sempat berenang di telaga yang ada di dekat Pengasih (Keterangan dari Bambang Purnomo, adik kandung alm. Bambang Sugeng, yang kini tinggal di Temanggung). Pertemuan dengan Letkol. Suharto berlangsung di Brosot, dekat Wates. Semula pertemuan akan dilakukan di dalam satu gedung sekolah, namun karena kuatir telah dibocorkan, maka pertemuan dilakukan di dalam sebuah gubug di tengah sawah. Hadir dalam pertemuan tersebut lima orang, yaitu Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kol. Bambang Sugeng,
Perwira
Teritorial Letkol. dr. Wiliater Hutagalung beserta ajudan
Letnan Amron Tanjung, Komandan Wehrkreise III/Brigade X Letkol. Suharto beserta
ajudan. Kepada Suharto diberikan
perintah untuk mengadakan penyerangan antara tanggal 25 Februari dan 1 Maret 1949. Kepastian tanggal baru dapat ditentukan kemudian,
setelah koordinasi serta kesiapan semua pihak terkait, antara lain dengan
Kol. Wiyono dari Pepolit Kementerian Pertahanan.
Setelah semua persiapan matang, baru
kemudian diputuskan (keputusan diambil tanggal 24 atau 25 Februari), bahwa
serangan tersebut akan dilancarkan tanggal 1 Maret 1949, pukul 06.00 pagi. Instruksi segera
diteruskan ke semua pihak yang terkait.
Puncak serangan dilakukan dengan
serangan umum terhadap kota Yogyakarta (ibu kota
negara) pada tanggal 1 Maret 1949, dibawah pimpinan Letnan Kolonel Suharto, Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III
Catatan :
1. Dikutip lansung dari https://id.wikipedia.org/wiki/Serangan_Umum_1_Maret_1949
2. Gambar diambil dari google
(Bersambung ke Serangan Umum Part 3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar