Sabtu, 20 Juni 2015

MENYIMAK SEPAK TERJANG SI JAGAL WESTERLING DI INDONESIA (7)

MEMBENTUK PASUKAN RATU ADIL

Di Sulawesi Selatan pasukan belanda dengan pimpinannya Westerling sukses membantai rakyat Indonesia dengan bengisnya. Namun di Pulau Jawa, meskipun berhasil merebut kota-kota besar  termasuk ibukota RI ketika itu, Yogyakarta, pada agresi ke-2 nya, pasukan belanda mendapat perlawanan yang gigih  secara gerilya dari pasukan TNI. Puncaknya ketika Yogyakarta berhasil dikuasai selama 6 jam oleh TNI, mata dunia terbuka. Bahwa klaim Belanda bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada adalah tidak benar. Kenyataan ini merupakan tamparan  bagi belanda. Yang akhirnya, meskipun tidak ikhlas terpaksa mengakui kedaulatan  Indonesia pada Konfresi meja Bundar.
Yang paling kecewa dengan pengakuan kedaulatan ini adalah  pihak meliter dengan pimpinan tertingginya Jenderal Simon Spoor. Ia berusaha agar Belanda untuk tetap berkuasa di Indonesia. Maka  mulailah ia mengadakan intrik-intrik untuk mengacau Indonesia. Untuk itu ia memerlukan dukungan si Jagal Westerling.

Panglima tentara Belanda di Indonesia, Letnan Jenderal Hendrik Simon Spoor yang begitu ambisius untuk menduduki Indonesia merasa sangat kecewa dengan sikap para politisi Belanda yang menginginkan perdamaian dengan pihak Republik. Diam-diam Spoor mengajak bekas kapten KNIL, Raymond Paul Pierre Westerling untuk melancarkan sebuah kudeta terhadap Republik.

Spoor bertemu dengan Westerling di bulan Februari 1949, dan sejak bulan Maret 1949 Westerling begitu bersemangat menanggapi ide Spoor serta kemudian mempersiapkan diri baik dari sarana, prasarana dan logistik untuk melakukan kudeta. Spoor sendiri tidak bisa melihat aksi yang dilakukan oleh Westerling karena keburu meninggal pada bulan Mei 1949.

Kapten Westerling sebenarnya adalah bagian dari Korps Speciale Troepen/Regiment Speciale Troepen (KST/RST) yang ditunjuk oleh Spoor untuk memimpin penyerangan ke Maguwo dan Yogyakarta di bulan Desember 1948, tapi satu bulan sebelumnya Westerling dipecat dari dinas militer karena melakukan pembantaian terhadap 156 penduduk Tjikalong-Tasikmalaja serta membakar habis 165 rumah dan 800 ton beras, penduduk Tjikalong yang dibantai dituduh oleh Westerling membantu gerilya pasukan Siliwangi. Setelah dipecat dari dinas militer dia menjalankan usaha transport onderneming di sekitar wilayah Bandung dan Jakarta.

Langkah awal yang dilakukan Westerling adalah membentuk RAPI (Ratu Adil Persatuan Indonesia), penggunaan kata “Ratu Adil” dimaksudkan untuk mendapatkan dukungan yang luas dari masyarakat kelas bawah khususnya di daerah Pasundan yang begitu mendambakan kedatangan “Ratu Adil” atau Imam Mahdi atau Heru Cokro. Dan terbukti kemudian strateginya ini berhasil.

Setelah itu dia membentuk sayap militer RAPI yang disebut APRA (Angkatan Perang Ratu Adil), masyarakat desa yang terbius dengan “Ratu Adil” segera ditampung ke dalam APRA dalam bentuk Tentara Keamanan Desa (TKD) yang didoktrin oleh Westerling untuk menjaga tanah Pasundan dari intervensi Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Laporan tentang pembentukan RAPI oleh Westerling diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949

Namun sebenarnya kekuatan utama APRA tidak terletak pada TKD, namun pada pasukan gabungan yang Westerling bangun sendiri. Mereka terdiri dari, mantan anak buah dan rekan-rekan Westerling di KST/RST, anggota KNIL yang kecewa dengan restrukturisasi di tubuh Angkatan Perang RIS serta tidak ketinggalan beberapa anggota NEFIS (the Netherlands Forces Intelligence) turut pula membantu. Tidak terlalu sulit bagi Westerling mempengaruhi teman-teman dan anak buahnya sendiri terutama yang berada di KST/RST.

Tidak hanya membangun kekuatan militer, Westerling pun membangun kekuatan ekonomi dan politik. Kekuatan ekonomi dibangun Westerling dengan cara menjalin hubungan dengan beberapa pengusaha Cina yang anti Republik seperti Tjie Yoek Moy, Tjia Pit Kay, Nio Peng Liang dan lainnya. Perusahaan-perusahaan Belanda seperti BPM (Bataafsche Petroleum Maatscappij) dan KPM (Koninklij Packetvart Maatschapij) juga disinyalir membantu keuangan gerakan Westerling ini.

Secara politik, Westerling mendekati tokoh-tokoh Republik yang kecewa, khususnya tokoh-tokoh lokal Pasundan seperti Wiranatakusuma yang menjabat sebagai Wali Negara Pasundan. Pada aksi APRA di kota Bandung pada bulan Januari 1950, terlihat mobil kemenakan Wiranatakusuma bergabung dengan pasukan APRA. Namun demikian salah satu kesuksesan Westerling dalam membangun jaringan politik adalah dia berhasil mendekati seorang tokoh nasional yaitu Sultan Hamid II (Sultan Pontianak) untuk terlibat dalam gerakannya.

Westerling bertemu dengannya pada tanggal 22 Desember 1949 di Hotel Des Indies Jakarta. Pada pertemuan tersebut Weterling mengakui telah membentuk APRA dengan kekuatan 15.000 pasukan. Saat itu Westerling menawarkan komando kepada Hamid. Pada awalnya Sultan Hamid II menolak, tetapi di awal bulan Januari 1950, ia menerima tawaran Westerling karena merasa tidak puas dengan posisinya sebagai Menteri Negara tanpa Portofolio. Jabatan yang diinginkan oleh Sultan Hamid II adalah menteri luar negeri dan menteri pertahanan. Kemudian dalam otobiografinya, Mémoires, yang terbit tahun 1952, Westerling mengaku, bahwa telah dibentuk Kabinet Bayangan di bawah pimpinan Sultan Hamid II dari Pontianak. (Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar