Jumat, 20 September 2019

Gubernur Suryo Gubernur yang Berani Menantang Ultimatum Inggris Sehingga Meletus Perang Surabaya 10 November

Tewas Menggemaskan Dibunuh Gerombolan Pemberontak Komunis

 

Setiap tahun pada tanggal 10 November kita memperingati hari pahlawan. Yang merupakan pertempuran sengit bangsa Indonesia melawan Inggris pemenang perang dunia ke 2. Perang ini merupakan rentetan perang Surabaya phase pertama yang meluluh lantakkan dan hampir memusnahkan seluruh tentara Inggris di Surabaya saat itu. Pasukan Inggris terhindar dari kepunahan setelah pejuang kita mau dibujuk Presiden Sukarno untuk berdamai.

 


Dalam rangka menjaga perdamaian inilah terjadi insiden yang menewaskan pimpinan tetara Inggris Brigjen Mallaby. Meskipun kematian jenderal Inggris masih misteri pihak mana yang menembaknya, namun Mayor Jenderal E.C Mansergh sebagai pengganti Mallaby naik pitam dan mengeluarkan ultimatum kepada bangsa Indonesia di Surabaya. Isi ultimatumnya agar semua penduduk Surabaya yang memiliki senjata api segera menyerahkan senjata mereka di tempat-tempat yang telah ditentukan oleh Inggris, selambat-lambatnya pukul 06.00 pada 10 November 1945. 

 

Saat itu yang menjadi gubernur Jawa Timur adalah Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo atau lebih dikenal dengan sebutan Gubernur Suryo merupakan gubernur pertama Provinsi Jawa Timur (1945-1948). Sebelumnya, dia menjabat bupati di Magetan dari tahun 1938 hingga tahun 1943. 

 

Gubernur yang gagah berani ini pantang pula digertak, setelah berkonsultasi dengan Presiden Sukarno dan pejabat lainnya di Surabaya diputuskan bahwa ultimatum itu ditolak. "Berulang-ulang telah kita katakan, bahwa sikap kita ialah lebih baik hancur daripada dijajah kembali. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris, kita akan memegang teguh sikap ini. Kita tetap menolak ultimatum," begitu kata Gubernur Suryo dengan lantang melalui radio ketika itu.

 

 Maka terjadilah perang Surabaya phase ke 2 yang kita peringati setiap 10 November itu. Perang paling brutal yang paling dasyat dialami pasukan Inggris setelah perang dunia ke 2 berakhir. Kalau dalam perang dunia kedua tubuh mereka ditembus peluru namun dalam perang Surabaya ini tubuh-tubuh mereka dikoyak dan dicabik-cabik oleh bamboo runcing,  kematian yang mengerikan bagi pasukan Inggris.


Gubernur Suryo yang lahir di Magetan, Jawa Timur, 9 Juli 1898 ini dikenal sebagai sosok pemberani. Saat masa pendudukan Jepang, Suryo yang saat itu menjabat bupati Magetan kedatangan tamu seorang perwira Jepang. Tanpa diketahui sebabnya, perwira Jepang yang datang bersama ajudannya itu marah-marah, mengeluarkan kata-kata dalam bahasa Jepang yang tidak dimengerti oleh Bupati. Perwira itu juga menghunus samurainya.
Suasana kala itu cukup tegang. Mereka yang menyaksikan adegan itu tampak cemas karena sering mendengar cerita tentang kekejaman Jepang. Tetapi, Suryo tampak tenang. Dia lalu berjalan menghampiri perwira Jepang itu. Dengan suara lantang, Suryo berkata dalam bahasa Jawa yang artinya kurang lebih sebagai berikut: "Tanpa sebab musabab dan tanpa memberi salam kau datang dan marah. Saya tidak bersalah dan saya tidak takut".Perwira Jepang itu terdiam, menyarungkan samurainya kembali, lalu melangkah meninggalkan kantor bupati. 

 Singkat cerita, pemerintah melihat potensi yang ada dalam diri Suryo. Juni 1947, Suryo diangkat menjadi wakil ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) berkedudukan di Yogyakarta. Lalu, Suryo menjadi ketua dewan tersebut karena sang ketua, Ahmad Wiranatakusumah, dalam keadaan sakit.
Pada tanggal 18 September 1948, PKI melancarkan pemberontakan di Madiun. Mereka berhasil pula menguasai beberapa kota lain. Pemerintah segera bertindak. Tanggal 30 September Madiun direbut kembali oleh pasukan yang setia kepada pemerintah, tetapi keamanan belum pulih seluruhnya. Di beberapa tempat, orang-orang komunis masih melakukan pengacauan.

Dalam kondisi seperti itulah, Suryo pada tanggal 10 November 1948 berangkat dari Yogyakarta menuju Madiun. Dia bermaksud menghadiri peringatan 40 hari meninggalnya adiknya yang dibunuh orang-orang PKI.
Sejumlah sahabat, termasuk Wakil Presiden Mohammad Hatta, meminta agar Suryo mengurungkan maksudnya. Tetapi, Suryo ngotot pada pendiriannya. Tanda-tanda kurang baik terlihat. Baru saja tiba di luar Kota Yogya, ban mobilnya pecah. Sesudah itu mobil kehabisan bensin. Suryo terpaksa dua kali kembali ke kota untuk menambal ban dan untuk mengisi bensin. Meski teman-temannya mengatakan bahwa itu pertanda buruk, Suryo tidak mempercayainya.
Suryo tiba sore hari di Surakarta. Sudiro yang ketika itu menjadi residen Surakarta menahan Suryo supaya bermalam dan perjalanan diteruskan esok hari. Suryo melanjutkan perjalanannya ke Madiun pagi-pagi sekali. Di Desa Gendingan, sekali lagi diperingatkan supaya Suryo tidak meneruskan perjalanan. Namun, peringatan itu juga diabaikan.

 Di Desa Bogo, Kedunggalar, Ngawi, mobil Suryo berpapasan dengan sisa-sisa gerombolan PKI. Pada saat itu pula dari arah Madiun datang mobil yang ditumpangi oleh Komisaris Besar (Kolonel) Polisi M Duryat dan Komisaris (Mayor) Polisi Suroko dalam perjalanan ke Yogyakarta. Kedua mobil itu diperintahkan berhenti oleh gerombolan PKI tersebut. 


 Suryo, Duryat, dan Suroko diperintahkan turun dari mobil. Mereka dibawa ke hutan. Di tempat inilah Gubernur Suryo dan dua orang lainnya itu dihabisi PKI. Empat hari kemudian, jenazah Suryo ditemukan penduduk di Kali Kakah, Dukuh Ngandu, Desa Bangunrejo, Kedunggalar, Ngawi, lalu dibawa ke Madiun dan dimakamkan di Sawahan, Desa Kepalrejo, Magetan.

 Diperintahkan Amir Sjarifoeddin

Dalam bukunya yang lain, Madiun: Dari Republik ke Republik (2006: 181), Himawan Soetanto mengisahkan bahwa pada 9 November 1948 ada pergerakan pasukan dari arah Lawu menuju utara, menyeberangi jalan poros itu. Warga desa Plang Lor terheran-heran melihat banyaknya rombongan pasukan. Ada yang berseragam militer, ada juga yang berpakaian hitam seperti warok (pendekar Ponorogo).
“Tiba-tiba dari arah barat meluncur suatu mobil sedan berwarna hitam. Dari mobil itu keluar tiga orang yang langsung ditodong dengan senapan, dilucuti dan diseret beramai-ramai,” aku Kromo Astro, seorang kamitua Prang Lor, seperti dicatat dalam Lubang-lubang Pembantaian: Petualangan PKI di Madiun (1990: 156-157).
Para pengepung menebak bahwa mereka yang berada di mobil hitam itu adalah pembesar yang pulang dari Yogyakarta. “Wah, ini pembesar yang kerjanya makan enak tidur enak,” kata orang-orang FDR itu.

Kromo Astro mengaku, ketika para penumpang mobil itu hendak dibunuh, ia berusaha mencegahnya. Jika dibunuh di pasar, maka warga desa akan merasa ngeri.
Kemudian datanglah seseorang dengan mengendarai kuda. Para pengepung memanggilnya "Pak Amir". Dalam catatan kaki di buku Harry Poeze disebutkan bahwa beberapa sumber menyatakan Amir Sjarifoeddin berada di lokasi kejadian dan sempat berbincang-bincang dengan tawanan.
Amir Sjarifudin ini adalah tokoh PKI yang mencapai puncak karir politiknya sebagai  Perdana Mentri ketika diadakan perundingan Renvile dengan Belanda
“Pak Amir memerintahkan agar ketiga orang itu dibunuh di saja di hutan yang lebih jauh. Ketiga orang itu kemudian diarak beramai-ramai ke dalam hutan sambil terus disoraki dan dicaci maki,” aku Kromo Astro.
Tiga orang yang dibunuh itu memang pejabat negara. Belakangan diketahui, para korban adalah Komisaris Besar Doeryat, Komisaris Polisi Soeroko, dan Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo. Nama terakhir adalah mantan Gubernur Jawa Timur. Meski tak jadi gubernur lagi ketika disergap, orang-orang tetap mengenalnya sebagai Gubernur Soerjo.
Di sekitar tempat pembunuhan itu, kemudian dibangun sebuah monumen untuk mengenang Ario Soerjo. “Laporan tentang peletakan batu pertama monumen pada 14 Juli 1973 mencantumkan tanggal 10 November, dan menyebut Maladi Jusuf sebagai pimpinan dari kelompok PKI yang menahan Soerjo dan rombongannya,” catat Poeze (2011: 265).
Di tempat Gubernur Suryo, Kolonel Polisi Duryat dan Mayor Polisi Suroko dihabisi oleh gerombolan PKI tersebut kini berdiri Monumen Suryo. Monumen tersebut diresmikan pada 28 Oktober 1975 oleh Pangdam Brawijaya Mayjen TNI Witarm
in

 

Begitulah PKI yang beraliran komunis, nama besar gubernur Suryo sebagai penanggungjawab dan pemimpin dalam peristiwa besar perang Surabaya tidak ada pengaruhnya bagi mereka. Orang yang berjasa besar membela Republik Indonesia itu tetap mereka bunuh tanpa prikemanusian. Masih ada jugakan rakyat Indonesia yang bercita-cita menghidupkan kembali PKI. Kalau ada ini sungguh keterlaluan.

Catatan:

1.      Bahan  diambil dari https://id.wikipedia.org/wiki/Pembunuhan_Ario_Soerjo dan https://tirto.id/bagaimana-gubernur-soerjo-dibunuh-pengikut-pki-cUEr

                          2 Gambar diambil dari google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar