Jumat, 12 Juni 2020

Mac Arthur dan Jepang


Jenderal seperti manusia yang lain, bisa bermacam-macam. Salah satu dari mereka pernah hidup antara 1880-1964. Namanya Douglas Mac Arthur. Kepadanya Jepang menyerah tahun 1945, setelah perang panjang yang pedih. Tapi kepadanya juga Jepang berutang budi.

Akhir Agustus 1945, Jendera; Mac Arthur mendarat di lapangan Atsugi. Suatu langkah yang menegangkan. Kaisar Hirohito memang telah berseru kepada bangsanya untuk meletakkan senjata. Tapi ancaman belum habis. Sejumlah pemuda militant bergabung dalam Sonno Joi Gigun  menampik untuk takluk. Mereka membakar dua rumah mentri, malah mencoba menyerbu istana. Beberap pilot kamikaze juga dikabarkan untuk merencanakan untuk berperang sampai titik darah terkhir.
Mac Arthur yang angkuh tidak peduli dengan nasehat stafnya. Ia mendarat di Atsugi- tempat latihan pilot kamikaze- dan berniat  membuka markasnya cepat-cepat di Tokyo.

Sementara para perwira bawahannya berdebar-debar mencemaskan situasi keamanan. Mac Arthur dengan tenang naik mobil Lincoln tua yang disediakan pemerintah Jepang. Dari Atsugi ke The New Grand Hotel, Tokyo 25 km jaraknya.
Di hotel ia makan malam dengan stafnya. Ketika di hidangkan steak ia mengunyahnya tanpa curiga- meskipun salah saorang bawahannya menginginkan agar daging panggang itu dicicipi dulu oleh seorang Jepang, kalau-kalau diracun.

Tapi Mac Arthur memang lain. Manager hotel saking terharunya akan sikap tanpa curiga panglima Amerika itu, berpidato mengucapkan terimakasih. Mac Arthur senang. Ia tahu bahwa ia telah memberi syarat kepada bangsa Jepang bahwa pasukan pendudukan AS akan bersikap murah hati.
Di samping itu memang ada pertimbangan yang lebih sederhana, tapi dalam keadaan berantakan oleh perang. Tokyo bukanlah tempat yang mudah untuk mendapatkan steak.. Esoknya sang panglima hanya memperoleh sebutir telur untuk sarapannya- itupun setelah tentara dikerahkan mencari semalam suntuk.

Isyarat murah hati Mac Arthur lain: sebuah instruksi pagi hari itu, bahwa pasukan pendudukan dilarang mengambil makanan setempat. Tapi pasti yang lebih dikenang adalah pidatonya pada upacara penandatatanganan dokumen pernyataan takluk Jepang di kapal perang Missouri.

Hari itu 2 September 1945. Udara panas, menurut catatan perwira Amerika. Delegasi Jepang datang dipimpin oleh menteri luar neggeri Moramu Shigemitsu. Lelaki tua ini berkaki satu. Yang sebelah sudah kena bom teroris di Shanghai. Jalannya bertongkat tertatih-tatih, apalagi waktu naik ke kapal. Para perwira sekutu menyaksikan itu. Menurut catatan reporter yang hadir dengan “ rasa senang yang ganas”

Meskipun demikian, dan meskipun seorang anggota delegasi sekutu yang agak mabuk malah bertingkah kasar kepada delegasi Jepang, peristiwa itu telah dibikin Mac Arthur bukan sebagai pertunjukan kemenangan. Ia muncul tanpa sebuah medalipun di dadanya. Sikap tegaknya sempurna, tapi tangannya agak gemetar, ketika ia membaca pidato yang ia siapkan sendiri: “ Kita berkumpul di sini, para wakil kekuatan-kekuatan utama yang berperang untuk menyimpul suatu persetujuan yang khidmat, yang merupakan jalan menuju perdamaian”
Bagi para penakluk dan pihak yang ditaklukkan harus bangkit kearah suatu kehidupan yang ditujukan  bagi “kemerdekaan, toleransi dan keadilan”

Toshikazu Kase, seorang anggota delegasi Jepang agak kaget mendengar pidato seperti itu. Menurut Kase yang pernah dididik di Amerika itu, Mac Arthur  bisa mendiktekan hukuman yang berat dan menghina kepada bangsa Jepang. Tapi tidak. Dek kapal Missouri pagi itu tiba-tiba berubah menjadi altar perdamaian.


Dalam bahasa jawa ada petuah agar kita menang tanpa ngasorake, atau menang tanpa merendahkan martabat musuh. Memang ada batas juga bagi permusuhan dan kemenangan dalam dunia yang tidak abadi ini.

Catatan:
1.    Tulisan  bersumber dari Gunawan Mohamad, Catatan Pinggir,grafitipers.
2.    Gambar diambil dari google
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar