Penjajahan yang menindas rakyat membuat kegelisahan yang akhirnya menimbulkan pemberontakan yang berdarah melawan penjajah. Dan ini hampir terjadi di seluruh Nusantara yang merasakan pahit getir hidup di bawah penjajah. Kali ini akan kita bicarakan perlawanan rakyat Banten yang dipimpin Syekh Yusuf seorang ulama yang kharismatik ketika itu
Sebenarnya
Syekh Yusuf tidak lahir di Banten ia berasal dari Sulawesi. Ia datang ke Banten
setelah hampir 20 tahun bolak balik Mekah- Yaman untuk memperdalam agama. Ia
datang ke Banten tahun 1669 karena pemimpin Kesultanan Banten Ketika itu adalah
sahabatnya. Di sana dia diangkat jadi penasihat Sultan. Berikut ini beberapa
fakta tentang Syekh Yusuf mengenai perlawanannya dengan rakyat Banten melawan
penjajah Belanda.
1. Hubungan Kesultanan Banten dan VOC tak harmonis
Saat Syekh Yusuf datang, hubungan Banten dan VOC tengah meruncing. Usai perang 1658-1659 yang diakhiri dengan perjanjian gencatan senjata 10 Juli 1659, monopoli dagang kompeni kian terasa. Masa status quo malah digunakan kedua pihak untuk mempersenjatai diri lebih banyak, sembari terlibat dalam beberapa kontak senjata akibat penyerangan loji-loji dagang VOC. Perang selanjutnya seolah tinggal menunggu waktu.
Syekh Yusuf bergabung dengan jalan pedang saat perlawanan dikobar mulai tahun 1682. Menurut sejarawan, ada beberapa faktor latar belakang. Pertama, hubungan diplomatik antara kedua kesultanan. Syahril Kila, dalam artikel jurnal "Syekh Yusuf: Pahlawan Nasional Dua Bangsa" (Walasuji, Vol. 9, No. 2, Desember 2018), menjabarkan bahwa Banten dan Gowa-Tallo telah memiliki hubungan dagang jauh sebelum Perang Makassar pecah (1666-1669).
Namun, hubungan tersebut dibayangi oleh sterotype bahwa orang-orang Makassar saat itu banyak menjadi perompak di laut lepas. Barulah pada masa pemerintahan Sultan Ageng (1651-1680) muncul inisiatif mendatangkan banyak pemuka agama untuk menggembleng mental para prajurit. Salah satunya adalah Syekh Yusuf.
2. Alasan lain mengapa Syekh Yusuf melibatkan diri di Perang Banten
Faktor lainnya, Syekh Yusuf memiliki hubungan emosional dengan lingkar dalam Kesultanan Banten. Ketika pertama kali mendarat di Banten (sebelum lanjutkan perjalanan ke Makkah via Aceh) pada 1644, Syekh Yusuf bersahabat dengan Pangeran Surya yang kelak menjadi Sultan Ageng. Selain menjabat mufti penguasa tanah Banten, ia bahkan jadi menantu setelah menikahi putri Sultan Ageng, yaitu Ratu Aminah.
Terakhir, bayang-bayang Perjanjian Bongaya tahun 1667 yang melucuti supremasi maritim Gowa-Tallo. Ada kekhawatiran bahwa Banten, kerajaan maritim dan pusat rempah-rempah Nusantara lainnya, akan bernasib sama. VOC merasa di atas angin setelah membuat Gowa-Tallo tunduk. Benteng Somba Opu jatuh pada 1669, dan Syekh Yusuf tak bisa kembali ke kampung halaman.
Saat Pangeran Haji naik tahta di tahun 1680, sejumlah kebijakan yang terkesan sangat bersahabat dengan Batavia membuat Sultan Ageng tak terima. Banten nan garang di barat Pulau Jawa malah melunak kepada kompeni. Lantaran kecewa, Sultan Ageng mengobar perlawanan bersama rakyat. Syekh Yusuf turut bergabung sebagai pemimpin pasukan.
3. Dua tahun setelah perang meletus, pasukan Sultan Haji dibantu VOC berhasil memukul mundur kubu Sultan Ageng
Pada dua tahun awal perang saudara, kubu Sultan Haji terus terdesak mundur oleh pasukan Sultan Ageng. Upaya mempertahankan loji VOC di Banten ternyata jauh lebih sulit dari yang diduga. Sultan Haji akhirnya meminta bantuan pada kompeni, dan menyanggupi syarat dari Gubernur Jenderal Cornelis Speelman di mana VOC akan diberi monopoli perdagangan secara penuh.
Seketika, jalannya perang berubah total. Bala bantuan dari Batavia perlahan berhasil memukul mundur pasukan kubu Sultan Ageng. Pada 7 April 1682, loji VOC dan istana Banten di Serang berhasil dibebaskan. Zainal Abidin dalam "Capita Selecta Sejarah
Sulawesi Selatan" (SIGn Institute, 2017) menulis bahwa Sultan Ageng terpaksa mundur sejauh 10 kilometer ke Desa Margasana.
Tak lama kemudian, kubu Sultan Ageng harus menyingkir ke arah timur menuju Desa Tirtayasa setelah tak sanggup menghalau serbuan kubu Sultan Haji - VOC. Desember 1682, sejumlah komando pasukan Sultan Ageng menyerahkan diri di saat sang pemimpin perlawanan bertahan di Tirtayasa. Syekh Yusuf, bersama pengikutnya yang mencapai dua ribu orang (terdiri dari orang-orang Makassar, Bugis, Jawa dan Melayu) mundur menuju wilayah Priangan bersama dua putra Sultan Ageng, Pangeran Purbaya dan Pangeran Kidul, untuk bergerilya.
Tak disangka, pasukan VOC pimpinan Letnan Maurits van Happel berhasil melacak keberadaan Syekh Yusuf, memaksa sisa-sisa kekuatan Sultan Ageng menyingkir lebih jauh ke arah timur. Puncaknya, kedua pihak terlibat pertempuran hebat di Desa Tunggilis (kini di Kabupaten Ciamis). Jatuh banyak korban jiwa, salah satunya adalah Pangeran Kidul. Syekh Yusuf sempat menyelamatkan diri, meski menderita luka-luka akibat pertempuran brutal.
Jadi buronan VOC, Syekh Yusuf diketahui tinggal di kaki Gunung Cereme, 130 km di utara Tunggulis. Demi memancing keluar dari persembunyian, Batavia menawan istri dan anaknya. Khawatir dengan keselamatan keluarganya, Syekh Yusuf pun menyerahkan diri pada Maret 1683 (Merle Calvin Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Serambi, 2008).
5. Syekh Yusuf wafat di Zandvliet, Afrika Selatan
Keputusan pun diambil. Syekh Yusuf dibuang ke Kolombo, Sri Lanka, pada 12 September 1684 bersama istri, anak dan sejumlah pengikutnya yang mencapai 49 orang. Ia kembali dipindahkan oleh VOC ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan, pada tanggal 2 April 1694.
1. Tulisan dikutip lansung darihttps://banten.idntimes.com/life/education/ahmad-hidayat-alsair/kobar-di-tanah-banten-saat-syekh-yusuf-pimpin-perlawanan-rakyat-regional-banten/2
2. Beberapa gambar diambil dari google
Tidak ada komentar:
Posting Komentar