Serangan umum 1 Maret 1949 adalah peristiwa heroic yang dilakukan Tentara Nasional Indonesia dalam rangka menunjukkan pada dunia tentang Eksistensi Negara Republik Indonesia Setelah Belanda merbut ibukota Republik Indonesi yang waktu itu Yogyakarta pada agresi mileter ke -2. Dan ini adalah peristiwa sejarah yang akan selalu diingat oleh generasi bangsa Indonesia sampai kapanpun.
Namun peristiwa sejarah itu ahir-akhir ini hangat dibicarakan
karena keluar Keppres Nomor 2 tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan
Negara yang yang diduga oleh banyak kalangan adalah upaya untuk menghlangkan
peran Pak Harto Presiden Republik Indonesia ke 2 oleh rezim yang berkuasa yang
hampir semuanya adalah penikmat kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan
nyawa dan darah oleh generasi pejuang kemerdekaan.
Karena kisah ini adalah peristiwa sejarah maka untuk
menulisnya tidak bisa dikarang maka saya mengutipnya lansung dari Wikpedia. Org. Dan juga karena kisah
panjang maka saya tulis dalam beberapa seri. Selamat mengikuti.
Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah serangan yang
terjadi pada tanggal 1
Maret 1949 di Yogyakarta. Serangan ini telah
dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan
mengikutsertakan pimpinan pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi dari
Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng. Serangan ini bertujuan
untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih ada dan cukup kuat,
dengan harapan dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang
sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB. Perundingan tersebut memiliki tujuan utama untuk mematahkan
moral pasukan Belanda serta membuktikan pada
dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan
untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu
menjabat sebagai Komandan Brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di
wilayah Yogyakarta.
Kurang lebih
satu bulan setelah Agresi
Militer Belanda II yang
dilancarkan pada Desember 1948, Tentara Nasional Indonesia (TNI) mulai menyusun strategi untuk melakukan
pukulan balik terhadap tentara Belanda. Strategi tersebut antara lain
dimulai dengan memutuskan telepon, merusak jalan Kereta api, menyerang konvoi Belanda, serta tindakan lainnya.
Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos di
sepanjang jalan-jalan besar penghubung kota-kota yang telah diduduki. Hal ini
berarti kekuatan pasukan Belanda tersebar pada pos-pos kecil di
seluruh daerah republik yang kini merupakan medan gerilya. Dalam keadaaan pasukan Belanda yang sudah
terpencar-pencar, Tentara Nasional Indonesia (TNI) mulai melakukan serangan terhadap Belanda.
Sekitar awal
Februari 1948, di perbatasan Jawa Timur, Letkol. dr.Wiliater Hutagalung -
yang diangkat sebagai Perwira Teritorial sejak September 1948, ditugaskan untuk
membentuk jaringan pesiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III. Ia bertemu
dengan Panglima Besar Sudirman untuk melaporkan mengenai
resolusi Dewan Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut dan
melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi.
Melalui Radio
Rimba Raya, Panglima Besar Sudirman juga telah mendengar berita
tersebut. Panglima Besar
Sudirman menginstruksikan
untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil untuk memutar
balikkan propaganda Belanda.
Hutagalung
yang membentuk jaringan di wilayah Divisi II dan III, dapat selalu berhubungan
dengan Panglima Besar Sudirman, ia menjadi penghubung antara Panglima Besar Sudirman dengan Panglima Divisi II, Kolonel Gatot Subroto dan Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng. Selain itu, sebagai dokter spesialis
paru-paru, setiap ada kesempatan, Hutagalung juga ikut merawat Panglima Besar Sudirman yang saat itu menderita penyakit
paru-paru. Setelah bergerilya turun gunung pada bulan September dan Oktober
1949, Hutagalung dan keluarganya tinggal di Paviliun rumah Panglima Besar Sudirman duli di Jalan Widoro No.
10, Yogyakarta.
Pemikiran yang
dikembangkan oleh Hutagalung adalah perlunya meyakinkan dunia internasional terutama Amerika Serikat dan Inggris, bahwa Negara Republik Indonesia masih kuat, memiliki
pemerintahan (Pemerintah Darurat Republik Indonesia – PDRI), dan memiliki Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sebagai pembuktian hal ini, maka untuk
menembus resolusi harus diadakan serangan, yang tidak bisa disembunyikan
oleh Belanda, dan harus diketahui oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI) dan wartawan asing untuk disebarluaskan ke
seluruh dunia. Untuk menyampaikan kepada UNCI dan para wartawan asing bahwa Negara Republik Indonesia masih ada, diperlukan para Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dapat berbahasa Inggris, Belanda, atau Prancis. Panglima Besar Sudirman menyetujui gagasan tersebut dan
menginstruksikan Hutagalung agar mengoordinasikan pelaksanaan gagasan tersebut dengan
Panglima Divisi II dan III.
Letkol. dr. Hutagalung masih tinggal beberapa hari
untuk membantu merawat Panglima Besar Sudirman, sebelum kembali ke markasnya
di Gunung
Sumbing. Sesuai tugas
yang diberikan oleh Panglima Besar Sudirman, dalam rapat Pimpinan Tertinggi
Militer dan Sipil di wilayah Gubernur Militer III, yang dilaksanakan
pada tanggal 18 Februari 1949 di markas yang terletak di lereng Gunung Sumbing. Selain Gubernur Militer/Panglima Divisi
III Kol. Bambang Sugeng dan Letkol Wiliater Hutagalung, juga
hadir Komandan Wehrkreis II, Letkol. Sarbini Martodiharjo, dan pucuk
pimpinan pemerintahan sipil, yaitu Gubernur Sipil, Mr. K.R.M.T.
Wongsonegoro, Residen Banyumas R. Budiono, Residen Kedu Salamun, Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro Kolopaking, dan Bupati
Sangidi.
Letkol
Wiliater Hutagalung yang pada waktu itu juga menjabat sebagai penasihat Gubernur Militer III menyampaikan gagasan
yang telah disetujui oleh Panglima Besar Sudirman, dan kemudian dibahas bersama-sama
yaitu:
1. Serangan dilakukan secara serentak di seluruh
wilayah Divisi III, yang melibatkan Wehrkreise I, II dan III,
2. Mengerahkan seluruh potensi militer dan sipil
di bawah Gubernur Militer III,
3. Mengadakan serangan terhadap satu kota besar
di wilayah Divisi III,
4. Harus berkoordinasi dengan Divisi II agar
memperoleh efek lebih besar,
5. Serangan tersebut harus diketahui dunia
internasional, untuk itu perlu mendapat dukungan dari:
·
Wakil
Kepala Staf Angkatan Perang guna koordinasi dengan pemancar radio yang dimiliki
oleh AURI dan Koordinator Pemerintah Pusat,
·
Unit
PEPOLIT (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan.
Tujuan utama penyerangan yang
dilakukan adalah untuk menunjukkan eksistensi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan dengan demikian juga menunjukkan
eksistensi Republik Indonesia kepada dunia internasional, maka anggota UNCI, wartawan asing serta para pengamat militer harus melihat perwira-perwira
yang berseragam Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Setelah dilakukan pembahasan yang
mendalam, grand design yang diajukan oleh Hutagalung disetujui, dan khusus mengenai
"serangan spektakuler" terhadap satu kota besar, Panglima Divisi
III/GM III Kolonel Bambang Sugeng bersikukuh, bahwa yang harus
diserang secara spektakuler adalah Yogyakarta.
Tiga alasan penting yang dikemukakan
Bambang Sugeng untuk memilih Yogyakarta sebagai sasaran utama adalah:
1. Yogyakarta adalah Ibu kota RI, sehingga bila
dapat direbut walau hanya untuk beberapa jam, akan berpengaruh besar terhadap
perjuangan Indonesia melawan Belanda.
2. Keberadaan banyak wartawan asing di Hotel
Merdeka Yogyakarta, serta masih adanya anggota delegasi UNCI,
serta pengamat militer dari PBB.
3. Langsung di bawah wilayah Divisi III/GM III
sehingga tidak perlu persetujuan Panglima/GM lain dan semua pasukan memahami
dan menguasai situasi/daerah operasi.
Catatan :
1. Sumber tulisan
https://id.wikipedia.org/wiki/Serangan_Umum_1_Maret_1949
2. Gambar diambil dari google
(Bersambung ke Part 2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar