Senin, 14 Maret 2022

Serangan Umum 1 Maret 1949 yang Menggemparkan Belanda dan Dunia (Part 1)


 Serangan umum 1 Maret 1949 adalah peristiwa heroic yang dilakukan Tentara Nasional Indonesia dalam rangka menunjukkan pada dunia tentang Eksistensi Negara Republik Indonesia Setelah Belanda merbut ibukota Republik Indonesi yang waktu itu Yogyakarta pada agresi mileter ke -2. Dan ini adalah peristiwa sejarah yang akan selalu diingat oleh generasi bangsa Indonesia sampai kapanpun.



Namun peristiwa sejarah itu ahir-akhir ini hangat dibicarakan karena keluar Keppres Nomor 2 tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara yang yang diduga oleh banyak kalangan adalah upaya untuk menghlangkan peran Pak Harto Presiden Republik Indonesia ke 2 oleh rezim yang berkuasa yang hampir semuanya adalah penikmat kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan nyawa dan darah oleh generasi pejuang kemerdekaan.

Karena kisah ini adalah peristiwa sejarah maka untuk menulisnya tidak bisa dikarang maka saya mengutipnya lansung dari Wikpedia. Org. Dan juga karena kisah panjang maka saya tulis dalam beberapa seri. Selamat mengikuti.

 


Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah serangan yang terjadi pada tanggal 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Serangan ini telah dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan pimpinan pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng. Serangan ini bertujuan untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih ada dan cukup kuat, dengan harapan dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB. Perundingan tersebut memiliki tujuan utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu menjabat sebagai Komandan Brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.



Kurang lebih satu bulan setelah Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan pada Desember 1948Tentara Nasional Indonesia (TNI) mulai menyusun strategi untuk melakukan pukulan balik terhadap tentara Belanda. Strategi tersebut antara lain dimulai dengan memutuskan telepon, merusak jalan Kereta api, menyerang konvoi Belanda, serta tindakan lainnya.

Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos di sepanjang jalan-jalan besar penghubung kota-kota yang telah diduduki. Hal ini berarti kekuatan pasukan Belanda tersebar pada pos-pos kecil di seluruh daerah republik yang kini merupakan medan gerilya. Dalam keadaaan pasukan Belanda yang sudah terpencar-pencar, Tentara Nasional Indonesia (TNI) mulai melakukan serangan terhadap Belanda.

Sekitar awal Februari 1948, di perbatasan Jawa Timur, Letkol. dr.Wiliater Hutagalung - yang diangkat sebagai Perwira Teritorial sejak September 1948, ditugaskan untuk membentuk jaringan pesiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III. Ia bertemu dengan Panglima Besar Sudirman untuk melaporkan mengenai resolusi Dewan Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut dan melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Melalui Radio Rimba RayaPanglima Besar Sudirman juga telah mendengar berita tersebut. Panglima Besar Sudirman menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil untuk memutar balikkan propaganda Belanda.



Hutagalung yang membentuk jaringan di wilayah Divisi II dan III, dapat selalu berhubungan dengan Panglima Besar Sudirman, ia menjadi penghubung antara Panglima Besar Sudirman dengan Panglima Divisi II, Kolonel Gatot Subroto dan Panglima Divisi III, KolBambang Sugeng. Selain itu, sebagai dokter spesialis paru-paru, setiap ada kesempatan, Hutagalung juga ikut merawat Panglima Besar Sudirman yang saat itu menderita penyakit paru-paru. Setelah bergerilya turun gunung pada bulan September dan Oktober 1949, Hutagalung dan keluarganya tinggal di Paviliun rumah Panglima Besar Sudirman duli di Jalan Widoro No. 10, Yogyakarta.



Pemikiran yang dikembangkan oleh Hutagalung adalah perlunya meyakinkan dunia internasional terutama Amerika Serikat dan Inggris, bahwa Negara Republik Indonesia masih kuat, memiliki pemerintahan (Pemerintah Darurat Republik Indonesia – PDRI), dan memiliki Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sebagai pembuktian hal ini, maka untuk menembus resolusi harus diadakan serangan, yang tidak bisa disembunyikan oleh Belanda, dan harus diketahui oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI) dan wartawan asing untuk disebarluaskan ke seluruh dunia. Untuk menyampaikan kepada UNCI dan para wartawan asing bahwa Negara Republik Indonesia masih ada, diperlukan para Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dapat berbahasa InggrisBelanda, atau PrancisPanglima Besar Sudirman menyetujui gagasan tersebut dan menginstruksikan Hutagalung agar mengoordinasikan pelaksanaan gagasan tersebut dengan Panglima Divisi II dan III.



LetkoldrHutagalung masih tinggal beberapa hari untuk membantu merawat Panglima Besar Sudirman, sebelum kembali ke markasnya di Gunung Sumbing. Sesuai tugas yang diberikan oleh Panglima Besar Sudirman, dalam rapat Pimpinan Tertinggi Militer dan Sipil di wilayah Gubernur Militer III, yang dilaksanakan pada tanggal 18 Februari 1949 di markas yang terletak di lereng Gunung Sumbing. Selain Gubernur Militer/Panglima Divisi III Kol. Bambang Sugeng dan Letkol Wiliater Hutagalung, juga hadir Komandan Wehrkreis II, Letkol. Sarbini Martodiharjo, dan pucuk pimpinan pemerintahan sipil, yaitu Gubernur Sipil, Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro, Residen Banyumas R. Budiono, Residen Kedu Salamun, Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro Kolopaking, dan Bupati Sangidi.

Letkol Wiliater Hutagalung yang pada waktu itu juga menjabat sebagai penasihat Gubernur Militer III menyampaikan gagasan yang telah disetujui oleh Panglima Besar Sudirman, dan kemudian dibahas bersama-sama yaitu:



1.     Serangan dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III, yang melibatkan Wehrkreise I, II dan III,

2.     Mengerahkan seluruh potensi militer dan sipil di bawah Gubernur Militer III,

3.     Mengadakan serangan terhadap satu kota besar di wilayah Divisi III,

4.     Harus berkoordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar,

5.     Serangan tersebut harus diketahui dunia internasional, untuk itu perlu mendapat dukungan dari:

·         Wakil Kepala Staf Angkatan Perang guna koordinasi dengan pemancar radio yang dimiliki oleh AURI dan Koordinator Pemerintah Pusat,

·         Unit PEPOLIT (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan.



Tujuan utama penyerangan yang dilakukan adalah untuk menunjukkan eksistensi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan dengan demikian juga menunjukkan eksistensi Republik Indonesia kepada dunia internasional, maka anggota UNCI, wartawan asing serta para pengamat militer harus melihat perwira-perwira yang berseragam Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Setelah dilakukan pembahasan yang mendalam, grand design yang diajukan oleh Hutagalung disetujui, dan khusus mengenai "serangan spektakuler" terhadap satu kota besar, Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng bersikukuh, bahwa yang harus diserang secara spektakuler adalah Yogyakarta.

Tiga alasan penting yang dikemukakan Bambang Sugeng untuk memilih Yogyakarta sebagai sasaran utama adalah:



1.      Yogyakarta adalah Ibu kota RI, sehingga bila dapat direbut walau hanya untuk beberapa jam, akan berpengaruh besar terhadap perjuangan Indonesia melawan Belanda.

2.      Keberadaan banyak wartawan asing di Hotel Merdeka Yogyakarta, serta masih adanya anggota delegasi UNCI, serta pengamat militer dari PBB.

3.      Langsung di bawah wilayah Divisi III/GM III sehingga tidak perlu persetujuan Panglima/GM lain dan semua pasukan memahami dan menguasai situasi/daerah operasi.

 

Catatan :

1. Sumber tulisan https://id.wikipedia.org/wiki/Serangan_Umum_1_Maret_1949

2. Gambar diambil dari google

                                                                                  (Bersambung ke Part 2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar