Di
Bukittinggi, pada pertigaan jalan Merapi dan Jalan Setia Budi berdiri dengan
anggun monument perjuangan Tuanku Imam bonjol, Sang pejuang dari atas kudanya
mengacungkan keris dengan penuh semangat.
Melihat
monument ini saya kembali teringat pelajaran sejarah di SD dan SMP. Ada suatu
misteri dalam peperangan Kaum Paderi melawan Belanda yang tidak bisa dimengerti
oleh pikiran sehat kita. Yaitu ketika Kaum paderi berada diatas angin dan
mendapat kemenangan di segala front, mereka bersedia mengadakan perdamaian
dengan Belanda. Sedangkan waktu itu, Belanda
di Pulau Jawa sedang klabakan menghadapi pemberontakan Pangeran Diponegoro.
Dengan
perdamaian ini Belanda dengan leluasa menarik pasukannya di Sumatera Barat dan
memfokuskan kekuatannya untuk menghadapi pemberontakan di pulau jawa. Kondisi
perang Paderi saat itu adalah seperti ini yang dipaparkan oleh buku Sjafnir Aboe Nain “TUANKU IMAM BONJOL, 1988:
Tuanku Nan Renceh memimpin rakyat Koto baru dengan semangat perang sabil
pada saat Belanda menyerang negeri itu. Mereka melakukan perlawanan keras,
sehingga Belanda tidak berani menyerang karena banyak korban di pihak
mereka.Hal ini memaksa Belanda mundur ke Bukittingi. Penyerangan Belanda ke Kapau
juga banyak menelan korban pada serdadu belanda. Beberapa pucuk meriam belanda
jatuh ketangan barisan rakyat.
Dimana mana PasukanBonjol mendapat kemenangan. Pada tanggal 12 April
1823 pasukan belanda bergerak dari Pagaruyung menyerang Bukit Marapalam dengan
kekuatan 8 pucuk meriam. Pasukan Belanda dipukul mundur oleh barisan Lintau
sampai desa Tanjung, mereka kehilangan 4 pucuk meriam yang dirampas oleh barisan
Lintau. Empat hari kemudian Belanda menyeang bukit Marapalam dari desa Tanjung.
Hulubalang Bonjol datang membantu dari arah utara. Tanggal 16 April dikenal
sebagai hari keprajuritan bagi pasukan Lintau karena dapat menguasai medan
pertempuran. Pada peretempuran ini 3 orang perwira dan 45 serdadu Belanda mati:
9 orang perwira dan 178 prajurit menderita luka. Kekalahan di Marapalam ini
merupakan kekalahan belanda yang ketiga.
Belanda tidak mempunyai kekuatan untuk menyerang kaum Paderi yang bersemangat tinggi mempertahankan
negerinya masing-masing. Walaupun begitu Tuanku Nan Barampek di Bonjol membuat
perjanjian dengan Belanda di Masang pada tanggal 24 Januari 1824, yang ditanda
tangani oleh Tuanku Imam, Tuanku Nan Hitam dan tuanku nanGapuk.
Belanda meminta agar tuanku-tuanku di Bonjol mengajak para pemimpin
Paderi di Ampek Koto, sebagian Agam, lima puluh dan lintau yang masih
bermusuhan dengan Belanda untuk hidup damai dengan pemerintah belanda.
Perang
Diponegoro berlansung tahun 1825 sampai 1830. Setelah perang usai,
Belanda kembali memfokuskan pasukannya menghajar pasukan Paderi.
Seandainya kaum Paderi tidak mau menerima
tawaran Belanda untuk berdamai mungkin sejarah Indonesia akan berubah. Belanda
menghadapi dua peperangan dalam waktu yang sama. Hasilnya bisa saja kaum Paderi berhasil mengusir Belanda dari
bumi Minang Kabau dan Pangeran Diponegoro mengusir Belanda dari Jawa. Namun
begitulah, pejuang kita waktu itu tidak bisa membaca strategi Belanda yang
culas. Sehingga generasi berikutnya membutuhkan waktu lebih dari seratus tahun
untuk mengusir penjajah yang culas dan tidak pernah menang berperang jika
melawan Negara modern seperti Perancis, Jerman dan Belanda.
Beberapa gambara diambil dari Google:https://www.google.com/search?hl=id&site=imghp&tbm=isch&source=hp&biw=1024&bih=475&q=perang+paderi+di+sumatera+barat&oq=Perang+Paderi&gs_l=img.1.1.0i10j0i30j0i5i30j0i10i24l4j0i24l2j0i10i24.3408.13925.0.18628.13.13.0.0.0.0.1104.2988.2-6j1j7-1.8.0....0...1.1.64.img..5.8.2980.cWCoySiu6M0#imgrc=_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar