Sabtu, 15 Juni 2019

Laksamana Maeda, Hidup Menderita Karena Membantu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia



Kapan saja kita berbicara tentang proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia, ada satu nama yang selalu disebut. Dia  adalah seorang petinggi  meliter Jepang yang memfasilitasi penulisan naskah proklamasi di rumahnyadan menjamin keamanan peminpin republic ketika acara proklamasi berlansung. Dia adalah Maeda Tadashi penguasa perang pemerintah Jepang di Jakarta tahun 1945 tersebut. Meskipun bantuannya itu akhirnya membuat hidupnya menderita di kemudian hari.




Dikutip dari Indo ,CropCircles.com,penguasa Jepang erpangkat laksamana muda, Maeda Tadashi  yang lahir 3 Maret 1898  adalah tokoh militer tertinggi Jepang yang mendukung kemerdekaan Indonesia yang menjabat sebagai Kepala Kantor Penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat Jepang. Peran terpentingnya ketika mempersilakan dan menjamin keamanan para pemimpin Indonesia merumuskan teks proklamasi di rumahnya pada tanggal 16 Agustus 1945.

Adalah Yoshizumi dan Nishijima yang mempengaruhi Laksamana Maeda untuk menggunakan tempatnya untuk menyusun naskah proklamasi oleh Soekarno, Mohammad Hatta, dan Achmad Soebardjo ditambah Mohamad Ibnu Sayuti atau yang lebih dikenal sebagai Sayuti Melik selaku juru ketik.
Cerita kedekatan Laksamana Maeda dengan Indonesia sejatinya terjadi jauh sebelum malam jelang kemerdekaan itu. Maeda yang lahir di Kagoshima, Kyushu, Jepang, pernah menjadi atase militer Jepang di Den Haag, Belanda, dan Jerman pada masa sebelum perang atau sekitar 1930-an.
Dalam diri Maeda muncul simpati terhadap gerakan kemerdekaan Indonesia sejak dia bertugas di Belanda.

Saat itu, Maeda kerap berhubungan dengan sejumlah tokoh pelajar dan mahasiswa Indonesia, seperti Nazir Pamuntjak, Ahmad Subardjo, Mohammad Hatta, dan AA Maramis. Setelah bertugas di Den Haag dan Berlin, Maeda dipanggil pulang ke Jepang dan menerima tugas baru di Indonesia pada 1942.
Saat berdinas di Jakarta inilah Maeda mendirikan sekolah atau institut politik yang diberi nama Asrama Indonesia Merdeka pada Oktober 1944 bagi para pemuda terpilih. Hampir semua figur nasionalis menjadi pengajar di sekolah ini.

Seperti Soekarno yang mengajarkan politik, Hatta mengajarkan ekonomi, Sanoesi Pane mengajarkan Sejarah Indonesia, Sjahrir mengajarkan sosialisme, Iwa Kusuma Sumantri mengajarkan hukum pidana, dan Ahmad Subardjo mengajarkan hukum internasional.
Pada hari Jumat 17 Agustus 1945 dini hari, kesibukan luar biasa tampak di sebuah rumah berlantai 2 di Jalan Meiji Dori No 1, Jakarta Pusat. Di luar terlihat puluhan pemuda bergerombol dengan wajah serius bercampur tegang. Di dalam rumah, suasana tak kalah tegang.


Menjelang santap sahur hari ke-8 Ramadan itu, Sukarno, Mohammad Hatta, dan Achmad Subardjo di ruang tengah rumah itu tengah merumuskan naskah Proklamasi yang akan menjadikan Indonesia sebagai negara merdeka.
Singkat cerita, ketika draft Proklamasi selesai dibuat pagi itu, masalah muncul. Saat naskah akan diketik, di rumah itu tak ada mesin tik. Untungnya, Satsuki Mishima, anak buah Laksamana Muda Tadashi Maeda, mengetahui di mana bisa meminjam mesin ketik pada dini hari itu.

Mishima pergi menggunakan mobil Jeep kepunyaan Maeda untuk meminjam mesin ketik kepunyaan Kantor Perwakilan Angkatan Laut Jerman (Kriegsmarine) di Indonesia. Teks Proklamasi kemudian diketik Sayuti Melik menggunakan mesin tik itu di dekat dapur kediaman Maeda.
Pagi harinya, naskah hasil ketikan itu dibacakan Sukarno di rumahnya, Jalan Pegangsaan Timur No 56. Pada masa kini, tak hanya rumah presiden Sukarno, rumah Maeda yang kini bernama Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, telah menjadi Museum Naskah Proklamasi.

Setelah Indonesia merdeka, Maeda ditangkap oleh Sekutu pada 1946 dan dipenjarakan di Gang Tengah selama 1 tahun karena tuduhan Belanda yangmengatakan RI itu sebagai bikinan Jepang. Biarpun pemeriksa berturut-turut selama 4 hari menekannya sampai akhirnya mengeluarkan air kencing berdarah, tapi ia tetap tidak mengaku. Umur Maeda waktu itu hampir 36 tahun dan masih bisa tahan.

Setelah itu ia dikembalikan ke Jepang dan ketika tiba di negaranya, Maeda sama sekali tak mendapat penghormatan layaknya pahlawan yang pulang perang. Ia dikecam dan mendapat perlakuan hina di Jepang. Atas jasa Maeda tersebut, pada 1973 dia diundang pemerintah Indonesia untuk menghadiri perayaan Proklamasi 17 Agustus. Dalam kesempatan itu ia sempat bertemu dengan Mohammad Hatta.

Meskipun secara hati nurani, orang-orang Jepang mendukung kemerdekaan Indonesia, namun kepatuhan kepada negara bagi mereka adalah segalanya. Semua akses Maeda dan keluarga ditutup dan ia mendapat kesulitan luar biasa selepas dari dinas militer hingga meninggal dunia dalam kondisi melarat.
Maeda juga merupakan penerima Bintang Jasa Nararya dari pemerintah Indonesia. Bintang jasa ini penghargaan sipil yang tertinggi, tetapi dikeluarkan dan diberikan sesudah Bintang Republik Indonesia kepada anggota korps militer. Bintang ini diberikan bagi mereka yang berjasa secara luar biasa pada bidang militer pula.

Kesediaan Maeda dan keluarga menyediakan rumahnya sebagai tempat rapat yang juga tempat merumuskan naskah proklamasi kemerdekaan merupakan salah satu bukti simpati pribadinya dan juga keluarganya  terhadap kemerdekaan Indonesia.


Mengenang kepergian Maeda, Ahmad Subardjo menulis, “Pada detik-detik terpenting dalam melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Laksamana menunjukkan sifat Samurai Jepang, yang mengorbankan diri dengan rela demi tercapainya cita-cita luhur dari rakyat Indonesia, yakni Indonesia Merdeka”.
 Catatan:
1. Naskah asli dari 

2. Gambar diambil  dari indocropcircles.com dan google


Tidak ada komentar:

Posting Komentar