Rabu, 08 Juli 2020

Detik-Detik Bung Karno dan Bung Hatta Beserta Beberapa Pemimpin Republik lainnya Ditawan Belanda Pada Agresi militer ke 2 (Part I)



Pada hari Minggu 19 Desember 1948 Belanda menyerang Yogyakarta yang kala itu pusat pemerintahan Republik Indonesia. Belanda dengan Panglima Perangnya Jenderal Spoor memang sudah bertekat untuk melenyapkan Republik Indonesia yang diprolamirkan 4 tahun sebelumnya. Dan Belanda sukses dalam serangannya. Pemerintah Republik Indonesia dalam sidaing kabinetnya memutuskan untuk menyerah sesuatu yang sangat tidak disetujui oleh kalangan militer yang bertekat untuk terus mengadakan perlawanan



Berikut ini adalah detik-detik akhir Bung Karno dan  pemimpin lainnya ditawan Belanda? Sekitar pukul 15.15 minggu sorenya Kolone A dan Kalone B pasukan baret hijau KST Belanda dibawah pimpinan  colonel Van Beek telah sampai di depan istana presiden, pusat pemerintahan republic dan juga sekaligus kediaman resmi Bung karno. Saat itu istana dipertahankan Kompi II polisi militer di bawah komando Letnan I Susatio dengan anak buah sekitar seratus orang. Melihat  situasi semakin kritis Letnan II Sukoco Cokroatmojo komandan Peleton II mengusulkan, “Pak tinggalkan saya bersama sebagian anak-anak. Komandan selamatkan Presiden lewat pintu belakang istana …”
Setelah mempelajari situasinya, Susatio setuju kemudian menanyakan Mayor Sugandi ajudan peresiden dan penanggungjawab keamanan presiden. Rupanya Sugandi tidak berani memutuskan dan bersama-sama menghadap presiden.

Di serambi belakang istana, Presiden Sukarno sedang duduk bersama Mentri Luar Negeri Agus Salim, komodor Udara Surya Darma, Sekretaris Negara Ichsan. Suara Tembakan semakin riuh dan sudah mendekati istana. Sementara itu suara pesawat terbang yang terbang rendah membikin suasana bertambah mencekam.

“Ono op Co?” sapa Bung Karno melihat Sukoco menghadap dengan pestol di pinggang kanan dan kelewang panjang di sisi kiri. Sebenarnya tidak tidak dibolehkan siapaun menghadap Bung Karno membawa senjata. Biasanya Mangil meminta senjata diserahkan padanya. Ini mungkin karena keadaan kritis ia tidak melakukannya. Namun pengakuaannya ia sudah bersiap sedia, seandainya ada gerakan yang mencurigakan, letnan Koco lansung ia tembak.

Dengan lantang Letnan Sukoco melapor, “ Situasi semakin kritis, istana sudah hampir dikepung, sedangkan bantuan pasukan tidak mungkin kita harapkan . . .” Kemudian dengan tambah semangat ia melanjutkan kalimatnya, “Bapak sebaiknya menyelamatkan diri ke arah barat, lewat pintu belakang, dikawal Pak Susatio bersma anak-anak. Saya sendiri akan tetap di siani mempertahankan istana.
Bung Karno diam memandang tajam kea rah Sukoco. Sejenak kemudian dia menjawab dengan mengacungkan tangan kanannya ke atas, “ Begini Co, merah putih tidak akan pernah menyerah”. Dengan nada  kalimat berubah datar Bung Karno melanjutkan kalimatnya, “ Tapi kita akan serahkan saja rumah ini,. . . . istana ini”

Sukoco ketika itu  usianya baru 21 tahun (Terakhir dia Mayor Jenderal Purnawirawan ketua Legiun Veteran. “ Air mata saya tanpa sadar meleleh, tapi darah saya justru mendidih mendengar penjelasan Bung Karno. Darah muda saya tentu saja dengan keras menolak. Sudah 4 tahun kita berjuang, kok kemudian malah gampang saja memutuskan untuk menyerah? Ada apa ini?

Waktu itu Sukoco hanya komandan  kompi. Dengan demikian dia belum memperoleh informasi bahwa siding cabinet baru saja memutuskan, Presiden dan seluruh pemimpin public yang masih tinggal di istana akan tetap berada di sana untuk mencoba meneruskan tahap baru perjuangan. Tidak lagi dengan bertempur tetapi akan mencoba sebuah cara lain, jalan diplomasi.
(Bersambung Part II)
Catatan:
1.      Bahan diambil dari  Julius Pour “Doorstoot Naar Djokja” Pertikaian Pemimpin Sipil Militer, Penerbit Kompas Jakarta 2010
2.      Gambar diambil dari Google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar