Senin, 09 November 2015

ULTIMATUM TAK DIGUBRIS MAKA SURABAYA MENJADI KANCAH PERANG PADA 10 NOVEMBER 1945

(Bagian ke 3 dari 4 tulisan )

Jenderal Mansergh mengancam, apabila rakyat Surabaya tidak mematuhi perintahnya secara penuh sampai paling lambat pada 10 November pukul 06.00, maka dia akan menggerakkan seluruh kekuatan yang dimilikinya, dan orang-orang Indonesia yang tidak mematuhi perintahnya harus bertanggungjawab atas pertumpahan darah yang akan timbul.



Perintah Mansergh ini sangat merendahkan dan menghina pimpinan Indonesia. “ Hak apa orang Inggris memerintah orang Surabaya sebagai bagian dari Negara yang berdaulat!” Teriak Bung Tomo sambil menggebrak meja setelah mendapat laporan tentang ultimatum itu.
Bung tomo meneriakkan di corong Radio pemberontak, “ Saudara-saudara  Allahu Akbar! Semboyan kita tetap: MERDEKA ATAU MATI. Dan kita yakin saudara-saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ketangan kita, sebab Allah selalu berada pada pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian”


Allahu akbar…! Allahu akbar…! Allahu akbar…!
“MERDEKA”
Mendengar pidato bung Tomo, orang Surabaya paham  itu isyarat perang. Dan Mayjen Mansergh juga mengambil kesimpulan bakal ada perang besar, sebab sampai batas yang ditentukan tidak ada satu orang pun rakyat Surabaya yang datang menyerahkan senjata.

Akhirnya pada tanggal 10 November pukul 10.12 WIB di langit Surabaya suara pesawat menderu-deru kencang. Inggris mengerahkan pasukan Royal  Air force (RAF) yang merupakan veteran  perang dunia II yang mengebom Berlin.
Mereka mengebom kantor-kantor pemerintahan dan gedung-gedung sekolah. Banyak orang yang mati karena resuntuhan gedung atau yang tertembak mitraliur pesawat. Inggris mengulang kejahatan jerman ketika mengebom London, dengan memborbardir kota Surabaya. Dua dari pesawat Inggris berhasil ditembak jatuh oleh pasukan Indonesia dan salah satu penumpangnya adalah Brigadir jenderal Robert Guy Loder Symonds, terluka parah dan meninggal keesokan harinya.

 Para pejuang  membangun benteng-benteng pasir, menjalin kawat berduri dan bersembunyi di jendela-jendela toko. Bung Tomo lewat radio pemberontakan  mengobarkan semangat pemuda dan rakyat Surabaya dan mengajak mereka bersatu melawan sekutu.
Pertempuran sengit tidak bisa dielakkan, berkat pidato Bung Tomo, rakyat Surabaya mendapat bantuan dari rakyat sekitarnya untuk mempertahankan kedaulatan kota Surabaya.
Presiden Sukarno yang pada awalnya tidak menghendaki perang dengan sekutu, namun kemudian  ia menyerahkan sepenuhnya kepada kebijakan pemerintah daerh Jawa timur..
Pertempuran sengit belansung selama lima hari lima malam. Tentara sekurtu mengalami kerugian yang amat banyak. Ini adalah pertempuran sekutu terdasyat sejak PD II, kata E.C. Mansergh komandan Sekutu.
Setelah sepuluh hari bertempur dengan ribuan prajurit Inggris yang tewas, Inggris berhasil menguasai kota Surabaya. Dan ini adalah pertempuran yang paling berdarah yang dihadapi Inggris pada decade 1940-an. Seluruh kota Surabya hancur lebur, lebih dari 20 ribu orang tewas dan sebagian besar adalah penduduk sipil termasuk wanita dan anak-anak. Pertempuran ini menunjukkan  kesungguhan  bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dan mengusir penjajah.
Seandainya pertempuran ini tidak dihentikan dengan gencatan senjata, tidak mustahil, dalam waktu singkat pasukan sekutu dipukul mundur karena bantuan dari daerah lainnya, Bali, Nusa tenggara, Sulawesi sudah mulai berdatangan. Pemimpin Inggris tahu ini, oleh karena itu mereka cepat meminta gencatan senjata.

Dan untuk selanjutnya Inggris tidak mau memikul resiko yang lebih besar, setelah mengorbankan ribuan prajuritnya dan dua orang Jenderal, Inggris secara berangsur-ansur mulai mengurangi pasukannya dan secara bertahap diganti oleh Pasukan Belanda  yang dalam pertempuran hanya menonton saja. Itulah Inggris dengan sekutunya, merasa pintar tapi mau diperalat oleh Belanda.
Pertempuran sepuluh November sekarang dikenang dan diperingat  sebagai  hari pahlawan.

  
Sumber: Agung Pribadi, 2014. Gara-gara Indonesia. Depok: AsmaNadia Publishing House.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar