Tan Malaka, salah seorang pahlawan kemerdekaan Indonesia, yang jarang di
kenal dan disebut-sebut namanya dalam sejarah. Sosok pejuang beraliran sosialis
kemudian bergeser ke komunis memperjuangkan nasib rakyat kecil yang tertindas.
Meskipun Indonesia di Jajah oleh Belanda dan rakyat Indonesia merasakan
penderitaan yang amat sangat di kuras habis-habisan oleh penjajah, namun sebenarnya Tan Malaka tidak termasuk
orang yang tertindas dan menderita. Karena kecerdasannya, ia mendapat
keistimewaan. Sekolahnya saja dapat bea siswa dari penjajah, sekolah guru
lansung di Belanda. Suatu keistimewahan yang jarang di dapat oleh kelompok
pribumi. Setelah tamat sekolah, ia menjadi guru dengan gaji yang cukup besar bagi ukuran rakyat Indonesia dan Belanda sendiri
saat itu. Dengan kata lain ia termasuk golongan pribumi yang tidak
tertindas oleh penjajah. Namun, hatinya tidak tega melihat penderitaan rakyat
di sekitar tempat ia bekerja. Inilah catatannya tentang penderitaan rakyat.
”Inilah
kelas yang memeras keringat dari pagi sampai malam; kelas yang diberi gaji
cukup hanya untuk mengisi perutnya; kelas yang tinggal di gubuk seperti kambing
di kandang; yang setiap saat dapat dipukul atau dimaki-maki dengan godverdome; kelas yang setiap saat harus melepaskan
istri atau anak perempuan mereka kalau ada seorang kulit putih(Belanda) yang
menyukainya ... Inilah kelas masyarakat yang dikenal dengan kuli kontrak.
Kuli-kuli perkebunan biasanya harus bangun pukul 4 pagi, karena tempat
pekerjaan mereka yang jauh letaknya. Baru pukul 7 atau 8 malam baru boleh
pulang. Bayarannya menurut kontrak hanya berjumlah 40 sen setiap hari.
Makanannya biasanya tidak cukup untuk melakukakan pekerjaan yang berat selama 8
sampai 12 jam setiap hari di bawah terik
panas matahari. Pakaian mereka cepat menjadi compang camping karena sering
bekerja di hutan.
Karena
kekurangan dalam segala-galanya, timbullah di dalam diri mereka suatu nafsu
yang tidak terkendali untuk mencari nasib baik dengan bermain judi; suatu nafsu
yang sengaja dikobarkan oleh perusahaan setelah dilakukan pembayaran. Mereka
yang kalah dalam permainan judi-dan biasanya lebih banyak yang kalah dari pada
yang menang- boleh pinjam dari perusahaan.. Karena utang ini, maka 90% dari
kuli-kuli itu setelah habis masa
kontraknya terpaksa memperbarui kontraknya kembali. Utang itu menimbulkan nafsu
untuk berjudi dan berjudi itu memperbesar utang, dan seterusnya, dan
seterusnya, dan seterusnya”
Melihat kondisi para buruh
di sekitar tempatnya bekerja ini, akhirnya Datuk Ibrahim
Tan Malaka melepaskan pekerjaan dan gajinya yang sudah mapan untuk
berjuang mencapai cita-cita Indonesia merdeka. Penderitaan demi penderitaan
dilaluinya, dan semuanya berakhir dengan tragis, tewas di tangan bangsanya
sendiri. (Sumber: Paharizal,
S. Sos., M.A, Ismantoro Dwi Yuwono, ”Misteri Kematian Tan Malaka)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar