Jumat, 13 Agustus 2021

Mengenal Haji Misbach Tokoh Perintis Komunis Indonesia (Part I)

 


Siapapun berbicara tentang komunitas tentu akan mengaitkan paham ini dengan Atheis yaitu suatu paham yang tidak percaya pada tuhan. Dan ini tertentu sangat bertentangan dengan paham agama yang kalau di Indonesia yang mayoritas islam. Sehingga kaum komunis Indonesia sangat memusuhi ummat islam dan sebaliknya yang benar-benar anti komunis itu di Indonesia ialah orang islam.



Namun tidak banyak yang tahu terutama kaum millineal sekarang ini sebenarnya Partai Komunis Indonesia itu lahir dari organisasi islam yaitu pecahan dari Partai Serikat Islam. Demikian juga pelopor adanya paham komunis itu juga bersala dari ummat islam. Salah seorang bahkan bergelar haji. Yaitu Haji Misbach. Nah dalam artikel kali ini secara beruturut-turut akan kita kupas riwayat hidup tokoh komunis ini.



Bagi Misbach, Islam dan komunisme memiliki kesamaan yakni sama-sama membela kaum yang lemah dan melawan kapitalisme serta kolonialisme. Pada saat itu, dapat dikatakan bahwa komunis adalah ideologoi yang paling keras dalam menghadapi penjajahan Belanda. Karena itu, banyak kelompok termasuk pelajar dan kiai tertarik bergabung dengan komunisme sebagai cara mereka untuk memerangi kolonialisme.

Latar Belakang Haji Misbach


Misbach dilahirkan pada tahun 1876 di Kauman Surakarta yang  dikenal sebagai kampung santri.  Misbach merupakan anak kedua dari Dipowirono, pengusaha batik sukses dan religius.

Saat masih kecil ia biasa dipanggil dengan nama Ahmad. Namun setelah menikah namanya diubah menjadi Darmodiprono, nama itu kemudian diubah lagi setelah menunaikan haji menjadi Misbach, yang kemudian dikenal dengan nama Haji Moehammad Misbach setelah menunaikan haji (Shiraishi, 1997: 173).



Karena lahir di Kauman dan berasal dari keluarga religius, maka Misbach kecil pun dididik dalam tradisi pesantren, sehingga mempunyai kemampuan bahasa Arab dan ilmu agama yang mumpuni. Selain di pesantren, ia juga pernah bersekolah di sekolah bumiputra Ongko Loro di Batangan Surakarta selama delapan bulan.

Sebagai anak dari pengusaha batik , ia pun meneruskan usaha ayahnya. Usaha batik yang dikelolanya berkembang, sehingga ia mampu membuka sebuah rumah batik.

Menjadi Pendakwah Revolusioner



Selain bergelut dalam dunia bisnis batik, Miscbach juga dikenal sebagai seorang mubalig transformatif dan revolusioner. Selain menjadi anggota Sarekat Islam pada 1912, ia juga mendirikan pusat pengajian di Keprabon dan Kampung Sewu.

Misbach mulai terjun sebagai juru dakwah sejak tahun 1914. Ketika itu, ia bersama R.H. Adnan aktif menjadi mentor kursus keagamaan di Majlis al-Ta’lim. Majlis itu terbilang cukup berkembang degnan materi keagamaan yang meliputi tauhid, akhlak, fikih, tasawuf dan kristologi. Saat majlis semakin berkembang, Misbach mendatangkan K. H. Ahmad Dahlan untuk mengisi sebagian materi pengajian (Bakri, 2015: 102). Majelis ini pun akhirnya berubah menjadi sebuah perkumpulan yang dinamai Sidik Amanah Tableg Vatonah (SATV)  yang diketuai oleh Misbach dan diresmikan pada 10 Julis 1918.


Tjipto Mangoenkoesoemo menyebut Misbach sebagai seorang muslim yang teguh. Keteguhan Misbach dalam memeluk agama Islam tidak membuatnya menjadi fanatik. Ia justru dikenal merakyat dan sering berkumpul dengan kawula muda untuk mendengarkan klenengan dan menonton wayang orang.

Hijrah profesi Misbach semakin mantab, karena pada 1914 ia juga memasuki dunia pergerakan saat memutuskan untuk bergabung menjadi anggota Inlandsche Journalisten Bond (IJB). IJB merupakan  organisasi wartawan bumiputra yang bertujuan untuk mewadahi para jurnalis radikal yang kritis terhadap pemerintah. Organisasi ini didirikan oleh Mas Marco Kartodikromo.

Perkenalan Misbach dengan Mas Marco dan para aktivis pergerakan anti kolonial telah menghantarkannya menjadi sosok mubalig pergerakan yang revolusioner. Di organisasi ini, ia banyak belajar jurnalisme dari Mas Marco dan para aktivis pergerakan lainnya.



Berbekal pengalamannya di IJB, Misbach akhirnya memutuskan untuk menerbitkan media massa bercorak Islam yang kritis terhadap permasalahan sosial. Media itu diberi nama Medan Moeslimin yang terbit pada tahun 1915 dan Islam Bergerak pada 1917 (Shiraishi, 1997: 175).

Penerbitan media massa Misbach memiliki ciri unik, karena para jurnalisnya juga harus memiliki pemahaman terhadap ilmu agama dan politik. Hal ini berbanding lurus dengan isu yang diangkat kedua surat kabar tersebut yang terkait dengan isu-isu Islam Transformatif.



 Misbach dan Medan Moeslimin mendapat apresiasi besar dari masyarakat Surakarta masa itu. Medan Moeslimin tidak hanya menjadi media diskusi para ulama dan masyarakat Islam pada umumnya, tetapi juga diminati para priyayi dan bangsawan Surakarta (Bakri, 2015: 195).

Bersambung ke part II

Catatan :

1. Sumber Tulisan https://wawasansejarah.com/biografi-haji-misbach/

2. Gambar diambil dari google.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar