Minggu, 15 Agustus 2021

Mengenal Haji Misbach Tokoh Perintis Komunis Indonesia (Part II)

Melejitnya Pamor Haji Misbach dan Tantangan yang Dihadapi


Pada Part I sudah kita bahas bahwa sebenarnya kaum komunis Indonesia baik secara organisasi maupun peribadi muncul dari kalangan islam. Caontohnya Haji Misbach ini yang pada zamannya yang bergelar haji dan pergi ke Mekah itu hanya orang yang telah sangat mendalami ilmu agama. Namun kenyataannya haji ini menempuh hidup sebagai seorang komunis.

Pada bagian I juga kita sudah bicarakan latar belakang kehidupan sang tokoh dan bagaimana dia menjadi Pendakwah  revolusioner. Pada bagian berikut ini kita akan bahas bagai mana Melejitnya Pamor Haji Misbach dan tantangan yang dihadapinya.



Pamor Misbach semakin melejit sejak ia memimpin kongres al-Islam yang diselenggarakan oleh SATV pada tanggal 13 April 1919 di Surakarta. Kongres itu dihadiri sekitar 1500 peserta dan 100 perempuan yang berasal dari 30 organisasi agama, jurnalis, sekolah, dan perwakilan organisasi buruh.

Selain aktif di SATV, Misbach juga aktif di Insulinde. Bahkan ia secara de facto adalah pemimpin dari Insulinde Surakarta (McVey: 39). Pada akhir 1918 dan 1919, Insulinde menjadi organisasi populer di Surakarta, organisasi bercorak revolusioner ini menggeser SI yang pamornya memudar. Dengan aktifnya Misbach ke Insulinde, maka pemikiran kirinya pun semakin menguat dan pamornya meningkat.



Pada masa ini memang tidak jarang ditemukan tokoh dengan keanggotaan ganda layaknya Misbach. Tercatat ia aktif di Sarekat Islam, SATV, Insulinde, hingga akhirnya nanti bergabung dengan PKI (Gie, 2005: 6).

Aktivitas Misbach di Insulinde menuai kontroversi. Masalah itu muncul karena Insulinde merupakan organisasi yang didominasi oleh orang Kristen, sehingga Misbach dianggap sebagai agen Kristen. Meskipun demikian, ia tetap meneruskan usahanya untuk melawan penindasan kapitalisme melalui aksi-aksi radikal seperti pemogokan dan demonstrasi.



Serangan terhadap Misbach terus datang, kali ini menimpa media Islam Bergerak. Serangan tersebut berasal dari Darmo Kondo yang menyebut Misbach sebagai ancaman bagi Jawa dan Islam, karena ingin menghapus sistem feodal yang dalam perspektif Islam tertentu sebagai bentuk khilafah yang wajib dipertahankan (Bakri, 2015: 108).

Meskipun mendapat berbagai serangan, Misbach terus meneruskan usahanya untuk membela kaum krama dalam wadah insulinde.



Di tengah kesibukannya di Insulinde, Misbach juga memerankan peran penggeran lain yaitu sebagai wakil ketua Perkumpulan Kaum Buruh dan Tani (PKBT) Surakarta.

Misbach sempat digadang-gadang sebagai calon wakil ketua SI Surakarta yang diusulkan untuk diaktifkan kembali. Namun pencalonan itu gagal, karena pada 7 Mei 1919 Misbach justru tertangkap karena dituduh sebagai provokator pemogokan dan penyebar benih kebencian terhadap pemerintah.



SATV dan Muhammadiyah memprotes penangkapan Misbach. Protes juga muncul dari perhimpunan Insulinde, tetapi Misbach tetap ditahan dengan tuduhan penghasutan. Nampaknya tuduhan tersebut memang mengada-ngada, karena pada 22 Oktober 1919 Misbach dibebaskan setelah pengadilan tidak menemukan bukti yang kuat.

Setelah bebas dari penahanan, Misbach pun melanjtkan perjuangan membela kaum tani di pedesaan Surakarta. Namun beberapa bulan berselang, Misbach kembali dituduh sebagai provokator pemogokan dan ditangkap petani pada 16 Mei 1920 (Arifin, 2019 dkk: 62).



Saat Misbach menjalani penahanan untuk kedua kalinya, pemerintah kolonial mengeluarkan kebijakan untuk menekan perlawanan. Pada 21 Mei 1920, Residen Surakarta, Harloff, mengeluarkan kebijakan khusus yang mengatur secara ketat acara vergadering (rapat/pertemuan) umum tanpa adanya izin resmi pemerintah.

Kebijakan residen ini memperoleh sambutan positif dari pemerintah di Batavia dan kaum ningrat Surakarta. kebijakan tersebut dinilai dapat menciptakan ketenangan di wilayah itu. Keluarnya kebijakan itu, turut diikuti dengan pengerahan serdadu untuk mengawasi pergerakan.



Haji Misbach dibebaskan setelah dua tahun dipenjara. Kebebasannya disambut suka cita oleh kaum pergerakan di Surakarta.

Setelah bebas, ia mendapati telah terjadi perubahan konstelasi politik di Surakarta. Sarekat Hindia (Insulinde) Surakarta telah bubar dan tidak ada aktivitas berarti setelah ideolog revolusioner mereka, Tjipto Mangoenkoesoemo pergi ke Bandung. SATV Surakarta juga sudah berubah menjadi Muhammadiyah Surakarta. Dengan kata lain, pada tahun1922 Misbach telah kehilangan dua kendaraan penting untuk menggerakkan perlawanan.



Misbach sempat diminta oleh Residen Surakarta, van Der Marel untuk menghentikan aktivitas politiknya. Namun himbauan itu tidak ia gubris dan tetap melanjutkan perjuangannya.

Posisi Misbach di Sarekat Islam pada saat itu masih netral. Kenetralan itu dibuktikan dengan bertemu Semaoen di Semarang dan mengunjungi Tjokroaminoto. Ia juga masih aktif sebagai pembicara dalam rapat-rapat SI lokal.



Namun di samping usahanya untuk tetap netral, terdapat momen yang mengubah jalan politiknya. Momen itu saat ia mengisi rapat umum SI di Kebumen pada 30 September sampai 2 Oktober 1922. Karena gaya bicaranya dianggap terlalu radikal, Tjokroaminoto membuat nota agar Misbach menurunkan nada bicaranya (Bakri, 2015: 117). Semenjak saat itu hubungan Misbach dan CSI merenggang

Catatan :

1. Sumber Tulisan https://wawasansejarah.com/biografi-haji-misbach/

2. Gambar diambil dari google.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar